Kamis, 30 Juni 2011

I'm following you, 'From Beirut to Jerusalem'... !

Kami berdua puluh dua orang, bekerja non stop selama tujuh puluh dua jam tanpa makan, minum, maupun tidur untuk menyelamatkan segelintir nyawa. Sementara di luar di kamp-kamp, ribuan penduduk sedang sekarat. Seandainya saya mengetahui, saya akan berlari ke jalan dan melakukan sesuatu untuk menghentikannya. {Dr.Ang Swee Chai}
***
Aku berjalan diantara puing-puing kamp Sabra dan Shatila. Aku menyaksikan rumah-rumah yang hancur. Mayat-mayat berserakan dengan kondisi mengenaskan dan berbau busuk. Banyak dari mayat itu yang tak bisa dikenali karena kondisinya tidak utuh terpotong sana-sini. Mereka telah di usir dari rumah mereka di Palestina, lalu merekapun dibantai dipengungsian mereka. Sisa penghuni berlalu lalang dengan wajah layu, seraya mencari-cari mayat-mayat saudara mereka. Setiap gundukan tanah dan puing-puing bangunan adalah kuburan masal. Kehancuran yang memilukan dan menyisakankan  kehidupan yang tak pantas didapatkan seorang manusia. Hidup di reruntuhan, tidak mendapat bahan makanan yang layak, tak cukup air bersih, dan tak ada jaminan keselamatan. Mereka hidup disisa-sisa keangkuhan dan kekejaman. Mereka hidup dengan bekas-bekas luka menganga.

Aku menyaksikan semua kehancuran itu dengan mataku sendiri melalui jendela dunia yang dikirimkan Dr.Ang Swee Chai lewat bukunya “From Beirut to Jerusalem”. Menulis buku ini bukanlah pekerjaan yang mudah untuk Dr. Swee karena menghidupkan kenangan-kenangannya yang menyedihkkan Demikian pula, membaca buku ini juga bukan hal yang mudah karena menoreh luka yang tak kalah menyakitkan.

Buku ini tak seperti buku-buku perjuangan warga Palestina yang sering kubaca, yang kebanyakan mengambil kaca mata warga Palestina dan melihat dari sudut sentimen keagamaan sebagai muslim. Dr. Swee memberiku kacamata yang lain yang sedikit banyak membelalakan mataku tentang perjuangan mereka yang hampir luput dari perhatianku. Perjuangan para relawan medis membantu para warga Palestina baik di kamp-kamp pengungsian atau pun di daerah pendudukan. Kegigihan mereka saat membangun puing-puing rumah sakit, bekerja banting tulang memenuhi kebutuhan pasien dan melakukan pertolongan tanpa pamrih pada korban. Mereka adalah orang-orang luar biasa. ‘Baik hati’  bukanlah kata yang cukup menggambarkan kepribadian mereka! Mereka mempunyai mental baja, keberanian yang kokoh dan semangat yang menyala-nyala.

Dr. Swee mewarisi semangat kedua orang tuanya yang merupakan anggota pergerakan perlawanan Jepang di Malaya (saat ini Singapura). Ia juga dibekali didikan yang disiplin dan cerdas. Ia meyakini bahwa ilmu yang dimilikinya tidaklah netral. Sains yang ia pelajari harus bermanfaat, harus dipakai untuk mengurangi beban orang-orang yang menderita dan miskin. Semenjak SMA ia telah berfikir tentang kemiskinan, kelaparan, hunian tak layak, penyakit dan masalah buta huruf. Teman-temannya menilainya aneh dan sok filosofis. Ia mendapat gelar dokter di University of Singapure dan gelar master di Inggris. Di Sekolah Kedokteran itulah Dr.Swee menjadi seorang pemeluk Kristen. Melalui FRCS ia menjadi relawan pertama kali ke Lebanon. Pada tahun 1982, ia berangkat ke Libanon karena tiga alasan. Pertama karena warga Libanon dan Palestina disana telah disakiti, kedua karena ia seorang Kristen yang mengembang misi “belas kasih” dan ketiga karena ia seorang dokter.

Semua berawal dari berita TV yang ia lihat bersama suaminya Francis tentang pendudukan Israel ke Libanon. Tiap malam pesawat Israel menjatuhkan bom ke petak-petak pemukiman sipil. Banyak orang tewas, banyak dari mereka adalah anak-anak. Blokade di lakukan Israel di mana-mana termasuk di kota Beirut. Bantuan medis dihalang-halangi, pasokan air, listrik dan makanan diputus. Koran-koran mengabarkan bahwa ratusan ribu kehilangan tempat tinggal dan empat belas ribu orang tewas karena penyerbuan ini. Kejadian ini menyulut emosi Dr. Swee dan tidak mengerti mengapa Israel melakukan hal ini.

Sebelumnya pandangan Dr.Swee adalah pandangan yang biasa dimiliki oleh orang non-muslim kebanyakan. Sebagai seorang Kristen, gereja mengajarinya bahwa bangsa Israel adalah bangsa pilihan Tuhan. Berkumplnya orang-orang Yahudi diseluruh dunia di Negeri Israel adalah pemenuhan janji Tuhan yang terdapat dalam Kitab Injil. Ia juga bersimpati pada orang-orang Yahudi ketika terjadi pembantaian Yahudi di tangan Nazi. Dr.Swee memihak Israel dan menilai bahwa PLO (Palestine Liberation Organisation) adalah sekelompok orang Arab teroris, tukang bejak pesawat, tukang pasang bom dan membenci orang-orang Yahudi. Namun dengan kejadian yang ia saksikan, terketuklah jiwanya untuk menolong rakyat Libanon dan rakyat Palestina.

Sabra dan Shatila adalah nama dari sebuah pemukiman di pinggiran selatan Beirut Barat. Sabra dan Shatila merupakan rumah bagi warga Lebanon sekaligus warga Palestina yang terusir dari negerinya. Israel menyerang Lebanon dengan dalih bahwa PLO menggunakan Lebanon selatan untuk menyerang Israel Kesepakatan gencatan senjata akhirnya disepakati pada akhir Agustus. Isinya adalah PLO setuju untuk meninggalkan Lebanon dan menyerahkannya pada pengawasan internasional. Sebaliknya Israel setuju untuk tidak menyerang Beirut dan menjamin keamanan warga sipil Palestina yang tinggal di kamp-kamp pengungsi. Pada awal September dilakukan evakuasi para pejuang PLO dari Beirut. Mereka meninggalkan keluarga mereka, istri, anak orang tua dan saudara-saudara mereka di pengingsian dengan harapan ada jaminan keselamatan bagi keluarga yang ditinggalkan.

Beberapa hari kemudian, Israel melanggar perjanjian. Mereka mengerahkan tentara di sekitar kamp-kamp pengungsi. Ironisnya pengawas internasional tidak meminta Israel mundur seperti saat mereka mengawasi evakuasi PLO. Israel menuduh bahwa masih banyak pejuang PLO yang berada di Beirut. Pada kenyataannya ini hanya dijadikan alasan untuk membantai warga sipil di kamp pengungsian. Pada tanggal 15-18 September pembantaian terjadi. Sekelompok besar suku Kata’eb dan Haddad (milisi falangis yang merupakan milisi kristen Libanon) dengan dukungan logistik dari Israel menduduki dan membantai orang-orang di pengungsian.

Militer Israel mengepung, menyegel kamp-kamp itu dan mendirikan pos-pos pengintaian di atap gedung-gedung tinggi di sekitarnya pada 15 September. Selama dua malam berikutnya, sementara milisi Falangis membantai para penghuni kamp pengungsian itu, militer Israel menjaga pintu-pintu keluar dan terus-menerus menembakkan cahaya suar di malam hari. Pasukan-pasukan Falangis memaksa mereka yang masih tersisa untuk keluar dari kamp untuk mengintrogasi dan membunuhi mereka. Bahkan terjadi pembantaian masal di sebuah stadion. Wartawan-wartawan asing yang setelah kejadian diizinkan masuk ke kamp menemukan ratusan jenazah yang berserakan di seluruh kamp. Sekitar 2.400 orang menjadi korban kebiadaban pembantaian tersebut.

Ketika penyerangan terjadi, Dr.Swee terus menerus menolong korban-korban yang datang ke rumah sakit selama tiga hari non stop. Tanggal 18 September ia digiring meninggalkan rumah sakit Gaza tempatnya bertugas. Saat itu ia baru sadar akan dahsyatnya kehancuran yang terjadi. Para relawan medis yang di introgasi di gedung PBB lalu mengirim mereka ke kedutaan AS dan menyuruh mereka pulang. Sementara sebagian teman-temannya masuk ke gedung Kedubes AS, Dr. Swee dan temannya Paul Morris mencari wartawan untuk mengetahui sebenarnya apa yang terjadi.

Sebagai dokter yang disibukan dengan pekerjaan-pekerjaan medis, ia tidak terlalu faham akan peta perpolitikan yang mengendalikan segala situasi yang terjadi. Ia sadar ketika menyaksikan bukti-bukti yang didapatkan pers tentang tumpukan-tumpukan mayat yang terpotong-potong atau mayat yang dipenuhi bekas luka penganiyayaan. Mayat anak-anak dan orang tua renta dan mayat-mayat perempuan tanpa busana. Untuk pertama kalinya dia menangis menyadari apa yang terjadi. Pada awalnya ia terlalu sibuk hingga tak sempat memikirkan apapun selain menyelamatkan segelintir nyawa di rumah sakit. Ia menyadari bahwa yang terjadi bukanlah pertempuran, namun pembantaian. Pejuang PLO telah ditipu agar mereka meninggalkan keluarga mereka untuk kemudian dibantai.

Pemerintah Israel menyatakan bahwa tentara pertahanan mereka, IDF tidak bertanggungjawab atas kejadian-kejadian di Sabra dan Shatila. Pembantaian dilakukan oleh milisi Falangis. Namun demikian, ketika berita tentang pembantaian itu menyebar ke seluruh dunia, kontroversi itu makin berkembang. Demonstrasi besar-besaran terjadi di Tel Aviv. Pada tanggal 28 September, pemerintah Israel memutuskan untuk membentuk sebuah Komisi Penyelidik. Pada saat Dr.Swee memberikan kesaksian di sidang tersebut, ia sangat kecewa. Ia mengatakan bahwa hanya segelintir orang yang benar-benar perduli dengan orang-orang di kamp pengungsian Palestina. Israel pengadakan sidang tersebut hanya untuk membuktikan kepada dunia bahwa sistem demokrasi mereka sangat hebat sehingga memberi kesempatan rakyat Palestina untuk mengemukakan pendapat. Di depan hakim, Dr. Swee mungkin tak lebih dari simpatisan PLO. Mereka beranggapan bahwa orang-orang Palestina adalah ras yang lebih rendah dari manusia. Kesaksian Dr.Swee dinyatakan bertentangan dengan kesaksian para pejabat IDF.

Kepada pers Dr.Swee dengan kesal berkata “Kami berdua puluh dua orang, bekerja non stop selama tujuh puluh dua jam tanpa makan, minum, maupun tidur untuk menyelamatkan segelintir nyawa. Sementara di luar sana di kamp-kamp, ribuan penduduk sedang sekarat. Seandainya saya mengetahui, saya akan berlari ke jalan dan melakukan sesuatu untuk menghentikannya”. Dr.Swee menyampaikan pesannya ke seluruh dunia, bahwa setiap manusia berhak hidup merdeka tanpa ancaman dan hidup layak layaknya manusia. Itu yang dia perjuangkan bahkan ketika ia pulang ke Inggris dan mendirikan MAP (Mediacal Aid For Palestinians). Organisasi yang sampai saat ini berkonsentrasi terhadap bantuan-bantuan medis untuk pengungsi palestina. Dedikasinya ini mengantarkannya mendapat penghargaan Bintang Palestina yang diberikan PLO padanya.

Sebenarnya pembantaian ini hanyalah satu dari begitu banyak pembantaian rakyat Palestina sejak tragedi Deir Yassin tahun 1948. Namun cukuplah gambaran Dr.Swee atas kondisi rakyat Palestina di kamp Sabra dan Shatila ini memberikan gambaran umum tentang kehidupan warga Palestina di kamp pengungsian. Israel menguusir warga Palestina dari negerinya dan menduddukinya. Israel berharap bangsa Palestina yang digiring ke luar Palestina dapat melebur dengan Negara yang menampung merea, sehingga mengikuti jejak komunitas-komunitas lain yang tek terhitung jumlahnya yang telah terhapus sejaran dan peta dunia. Namun para pengungsi Palestina enggan melakukannya. Mereka selalu ingin pulang ke rumah mereka. Dipengungsian mereka membangun komunits. Warga Paestina yang mengungsi sejak terusir dari tanah airnya telah terbiasa dengan kemiskinan, perang, penindasan dan pembunuhan. Keluarga mereka banyak yang meninggal, sedangkan sisanya tercerai-berai. Mereka sering berpindah-pindah tempat tanpa kepastian dengan tetap memegang harapan bahwa suatu hari mereka bisa pulang ke rumah mereka di Palestina.

Tahun 1985 kamp Sabra dihancurkan. Kamp Shatila melakukan perlawanan. Kamp tersebut dikepung dan menerima serangan besar-besaran dengan bom dan roket. Isolasi terhadap kamp dijalankan. Kondisi warga di kamp sangat memprihatinkan. Saat kondisi demikian darurat, para ulama mengizinkan warga di kamp Shatila memakan jasad manusia. Warga Shatila menyeru pada dunia bahwa mereka takkan menyerah dengan kelaparan. Mereka memang dibolehkan memakan jasad manusia, namun siapakah yang mampu memakan jasad orang-orang yang dicintai, anak, istri, ayah, ibu dan saudara-saudara mereka sendiri. Penduduk kamp Shatila menyongsong kematian mereka secara terhormat dan bermartabat. Tak satupun usaha Israel, baik pembantaian, pengepungan dan embargo makanan yang meruntuhkan semangat mereka.


Selasa, 28 Juni 2011

Emprees Orchid: Perempuan dan Intrik Politik

Oleh-oleh dari suamiku kali ini dua novel yang menggoda selera baca. Salah satunya adalah Emprees Orchid, sebuah novel Anchee Min tentang kisah hidup selir Kaisar Hsien Feng di era Dinasti Ch’ing, ChinaSuatu novel luar biasa tentang perempuan yang luar biasa. Seorang wanita yang berkarakter kuat, penuh gairah, seorang ibu yang penuh perhatian sekaligus seorang politikus yang hebat dan cerdas. 

Pertama membuka novel ini, aku disuguhi sebuah peta tentang gambaran umum kota terlarang. Imajinasiku tentang gambaran istana kekaisaran dari membaca buku lengkap sudah saat aku searching foto-foto dan vidio kota terlarang  di internet. Menakjubkan! Kota Terlarang terletak di tengah-tengah kota kuno Beijing dengan luas sekitar 720.000 meter persegi, 800 bangunan dan lebih dari 8.000 ruangan (Wikipedia). Tidak seperti sekarang yang menjadi objek wisata, dulu tempat ini adalah kota yang ekslusif dimana tak setiap orang dengan mudah keluar masuk. Tempat ini kugambarkan sebagai simbol peradaban, budaya, keindahan,  keagungan, kekuasaan, sekaligus pula penjara. ^_^

Anggrek  yang setelah masa kejayaannya dikenal sebagai Tzu Hsu, memulai titik balik takdirnya saat ia memberanikan diri mengikuti seleksi calon selir kaisar Hsien Feng. Jeratan penderitaan selepas ayahnya, mantan gubernur Wuhu, di propinsi Anhwei meninggal  datang bertubi-tubi. Walaupun awalnya tak begitu yakin, namun keinginannya untuk terbebas dari kesulitan ekonomi membuatya berani mencoba mengubah nasib. Berbekal darah biru Manchu dan kebulatan tekadnya, mulailah ia mencari peluang menjadi salah satu dari tujuh isrti resmi kaisar diantara sekitar lima ribu gadis yang mendaftar. Setelah mengikuti bermacam seleksi yang panjang, akhirnya Anggrek yang dipanggil dengan nama klan keluarga Yehonala berhasil menjadi salah satu istri resmi kaisar. Walaupun bukan menjadi istri utama kaisar, Anggrek merasa beruntung menjadi bagian dari keluarga kaisar, mendapat kehormatan dan memiliki jaminan materi untuknya dan keluarganya. Namun rasa beruntungnya tak bertahan lama setelah ia menyadari begitu beratnya hidup sebagai seorang istri kaisar.

Hidup sebagai satu dari sekitar tiga ribu perempuan yang diperuntukan untuk kaisar tentulah menyakitkan. Setiap hari di dera kesepian, penantian dan kecemasan. Jika kaisar tak meliriknya, bisa saja ia tak mendapat kesempatan barang semalam pun dengan sang suami. Begitu sulit mencari perhatian karena untuk bertemu kaisar pun melalui prosedur yang rumit dan panjang. Terlebih lagi dia betul-betul seorang diri memulai hidup di istana. Hidupnya di batasi di puri. Ia sadar melakukan sedikit kesalahan bisa vital akibatnya. Nyawa jaminannya. Untunglah takdir mempertemukannya dengan kasim yang menjadi pelayannya. Pelayan yang begitu setia, cerdas dan memiliki banyak koneksi, An-te-hai namanya. An-te-hai-lah yang banyak membuka jalan baginya menjadi seorang permaisuri yang di perhitungkan. Mulai dari bagaimana sebaiknya ia bersikap, bagaimana menarik perhatian kaisar dan bagaimana menjalankan intrik-intrik politik pada lawan-lawannya. Tanpa sosok An-te-hai, menurutku cerita tentang putri Yehonala akan sangat berbeda.

Kaisar Hsien Feng hanya memiliki dua anak dari istri resminya. Putri Yehonala adalah satu-satunya istri yang memberi anak laki-laki yang diberi nama Tung Chih sebagai pewaris tahta ayahnya. Sedangkan putri Jung didapatkannya dari istrinya putri Yun.  Putri Yun berakhir di tiang gantungan karena diduga melakukan guna-guna terhadap putra kaisar, Tung Chih.

Peran Nuharoo sebagai istri utama kaisar Hsien Feng  sangat mempengaruhi. Ia memiliki kedudukan lebih tinggi dari putri Yehonala. Ia bahkan pernah hampir mambunuh putri Yehonala beserta bayi yang dikandungnya dalam sebuah hukuman yang dijalankannya. Yehonala telah menjadi sebab meninggalnya seorang pelayan kesayangan Nuharoo yang dihadiahkan padanya. Untunglah hukuman terhadap Yehonala dibatalkan kaisar. Yehonala memerintahkan sang pelayan untuk di hukum cambuk.  Hukuman tersebut dia lakukan karena pelayan tersebut dinilai memata-matai semua kegiatan Yehonala termasuk keterlibatan dirinya dalam urusan kenegaraan yang dipercayakan kaisar Hsien Feng padanya. Tradisi dalam kerajaan, bahwa perempuan tak layak mengurusi urusan Negara. Minat mereka haruslah perhiasan-perhiasan, sulaman, dan urusan rumah tangga. Maka jika keterlibatannya dalam urusan negara diketahui publik, padahal kedudukan Yehonala belum kuat, maka posisi bahkan nyawanya bisa saja terancam.

Karakter putri Yehonala yang cerdas dan keras merupakan faktor pendukung dalam keberhasilannya menjadi seorang permaisuri. Putri Noharo tidak memiliki karakter seperti Yehonala. Sebagai putri bangsawan yang mengetahi persis tata cara hidup sebagai permaisuri, ia diajari peran perempuan yang tak banyak ikut campur urusan kenegaraan. Sebagai penganut Budha yang taat, ia lebih menginginkan kehidupan yang tenang, karena itu Nuharoo lebih pasif dalam urusan politik. Awalnya ketika perebutan perhatian diantara sesama istri  kaisar Hsein Feng Nuharoo memang banyak bermain. Namun ketika kondisi Negara memanas karena serangan tentara sekutu ke China, sedangkan kesehatan kaisar Hsein Feng makin menurun, Nuharoo malah menunjukan antipatinya terhadap urusan kenegaraan dan membiarakan hal tersebut diurusi Yehonala. Latar belakangnya sebagai putri gubernur dan karakter Yehonala yang kuat membuatnya siap untuk terlibat dalam wilayah politik kekaisaran. Kondisi inilah yang memperkuat posisi Yehonala.

Selain itu, hal yang paling menunjang keberhasilan Yehonala menjadi seorang permaisuri yang berpengaruh di dinasti Ch’ing  adalah sifatnya yang gigih dalam belajar. Saat kaisar Hsien Feng sakit dan hampir tak mampu mengerjakan tugas-tugas kenegaraannya. Di kamar tidur, Yehonala menggantikan tugasnya dengan melahap arsip-arsip kenegaraan yang sedemikian berat dan rumit. Ia rela belajar dengan tekun sampai mampu merumuskan keputusan-keputusan cerdas terhadap suatu masalah yang melanda negaranya. Hal ini dia lakukan sembunyi-sembunyi sampai akhirnya bocor pula hingga melahirkan berbagai polemik. Pada kenyataannya, semua keputusan dalam hidupnya ia ambil bukan semata-mata karena ambisi atas kekuasaan. Semua itu karena ia mempertahankan diri didalam lingkungan istana. Ia sadar tanpa pengaruh, ia akan dengan mudah disingkirkan. Untungnya Kaisar sudah terlanjur percaya padanya.

Saat kondisi Negara makin gawat karena serangan tentara sekutu ke kota terlarang, hampir seluruh warga kekaisaran lari ke istana Jehol. Karena kesehatan yang makin memburuk, kaisar meninggal di Jehol.  Semula lawan politik yehonala, ketua dewan agung Su Shun telah mempengaruhi kaisar agar saat meninggal membawa serta Yehonala. Artinya ia akan dipaksa meninggal menemani kaisar. Namun dengan usaha yang dilakukannya dengan meminta bantuan pada adik  ipar sekaligus suami dari adiknya, ia lolos dari jebakan ini.

Kaisar meninggalkan wasiat bahwa sepeninggalnya, putra mahkota yang mewarisi tahtanya di dampingi dewan wali yang terdiri dari delapan orang  diketuai Su Shun yang dalam memutuskan sesuatu harus dengan persetujuan dua ibu suri yaitu Nuharoo dan Yehonala. Dalam kenyatananya Su shun banyak melakukan hal sesuai dengan kehendaknya tanpa sepengetahuan dua ibu suri. Bahkan ada upaya-upaya mengabaikan peran dan menjatuhkan posisi permaisuri, terutama Yehonala. Yehonala berkesimpulan bahwa Su shun memanfaatkan posisinya yang kuat untuk mengganti peran kaisar pewaris tahta yang masih kecil. Karena itu Nuharoo dan Yehonala bersepakat untuk memeranginya dengan meminta bantuan orang-orang yang dapat dipercaya seperti adik kaisar pangeran Kung dan komandan pengawal kekaisaran Yung Lu. Kelak, Yehonala terjebak dalam cinta yang menyiksa terhapad Yung Lu.

Suatu ketika saat seisi istana kembali dari Jehol ke kota terlarang Su shun melakukan percobaan pembunuhan pada Yehonala. Pembunuhan ini dapat digagalkan Yung Lu. Ketika kembali ke kota terlarang yang rusak karena penjarahan tentara sekutu Inggris, pihak Yehonala akhirnya berhasil menyingkirkan Su shun dengan memberinya hukuman pancung atas nama kaisar.

Anchee Min akhirnya menggodaku melahap The Last Empress yang menggambarkan masa-masa kepemimpinan Yehonala setelah menjanda selama empat puluh enam tahun. 


Kota terlarang, Sisa peninggalan dinasti Ming dan Ch'ing
Forbiden city lewat Gogle Earth

Visitourchina.com

Minggu, 05 Juni 2011

Menghidupi Hati dengan Mati

Biarkan sepi
Menemani detik detik
Yang terus berdetak untuk
Mengganti

Biarkan kelam
Mewarnai ruang-ruang
Yang memiliki hampa untuk
Mengisi

Biarkan senyap
Menyulami dinding-dinding
Yang memiliki pori untuk
Merasuki

Biarkan bisu
Menghiasi hari-hari
Yang terus kuhitung untuk
Mengakhiri

Biarkan hidup
Menghidupi mati

Dan
Biarkan mati
Menghidupi hati