Jumat, 09 Desember 2011

Inilah Aku ; Insan

Tak ada yang berani menawar
Hanya mampu memohon
Karena Engkau yang teragung
Namun pemurah!
Insan hanya pengemis
Yang dilimpahi limpah cintaMu
Insan hanya merajuk,
Walau rajukannya kadang tak sampai padaMu
Insan hanya penghiba,
Yang  tanpa tahu diri terus meminta
Inilah insan yang hanya sesekali menegadahkan tangan dan menundukan muka
Mengharap kasihMu mencumbu
Menggenapkan diri dengan kesyukuran kecil sekecil debu
Untuk selalu menyertai kesetiaan yang pernah tercabik hanya untukMu

Rabu, 16 November 2011

Kenali 10 Kesalahan Berpikir dalam Diri Kita


Ketika membaca buku The Secret of Happy Children, saya tergelitik membagi sedikit informasi tentang satu dari seratus cara agar anak kita bahagia.

Kadang sebagai orang tua, kita lebih berkonsentrasi dalam pendidikan dan prestasi anak kita secara formal dan material. Kita sering lupa bahwa sebenarnya yang paling penting dalam hidup adalah bagaimana kita membuat anak kita ‘bahagia’.

Sebelum kita mengintervensi anak-anak kita, layaknyalah kita benahi dulu pola pikir kita dalam mendidik anak. Kesalahan sikap kita dalam mendidik berpangkal pada pola pikir yang keliru. Karena itu penting bagi kita mengenali apa saja pola pikir yang melekat dalam diri kita.

Jika kita mengenali suatu hal adalah keliru, maka menurut para psikolog itu akan membantu kita dalam menanganinya. Dr. Timothy J Sharp sengaja mandaftar 10 kesalahan berfikir paling umum yang sering terjadi dalam kehidupan kita.
  1. Over generalisasi : Menarik kesimpulan umum berdasarkan satu kejadian atau sedikit bukti.Misal : Anakku berteriak di supermarket. Dia selalu saja rewel
  2. Filtering : Berkonsentrasi hanya pada hal-hal negatif dan mengabaikan hal-hal positif.Misal : Anakku hanya benar 6 dari 10 soal ulangan matematikanya. Bagaimana mungkin dia bisa keliru 4 soal.
  3. All or nothing : Memendang sesuatu dengan cara yang ekstrem, tanpa ada tengah-tengah.Misal : Anakku selalu nakal. Tidak ada alasan untuk memberinya hadiah.
  4. Personalisasi : Berpikir bahwa semua prilaku orang atau apa yang terjadi merupakan reaksi orang terhadap sikap kita. Atau selalu menganggap diri sendiri bertanggung jawab atas semua hal yang terjadi.Misal : Anakku selalu saja berkelahi. Aku memang orang tua tidak becus mendidik anak.
  5. Catastrophising : Memprediksi terlalu buruk.Misal : Anakku tak boleh main panjat-panjatan. Nanti dia bisa jatuh dan terluka.
  6. Logika Emosi : Menilai perasaan sebagai fakta.Misal : Mendidik anak rasanya sangat berat. Sepertinya sudah tak ada harapan bagiku.
  7. Membaca pikiran : Membuat asumsi tentang pikiran dan prilaku orang tanpa melihat bukti sebenarnya.Misal : Aku dan anakku sering bertengkar. Pastilah dia tidak menyayangiku.
  8. Meramal: Mengasumsikan prediksi sebagai hasilMisal : Anakku sepertinya akan menjadi anak yang cengeng
  9. Jebakan “keharusan : Menggunakan pernyataan ‘harus”, menciptakan harapan yang kadang kala tidak realistis.Misal : Anakku harus menjadi bintang kelas seperti aku.
  10. Membesar-besarkan/ meremehkan : Membesar-besarkan informasi negatif dan meremehkan informasi positifMisal : Permintaan maaf anakku tak sepadan dengan prilaku brutalnya kemarin.

Kita semua pastilah pernah berbuat keliru. Begitu juga mungkin, secara sadar atau tidak sadar salah satu kesalahan berpikir di atas kadang menjadi pola pikir kita. Mari kita identifikasi diri sendiri lalu berintrospeksi ria. Ingatlah bahwa anak-anak kita adalah orang yang paling layak kita buat ‘bahagia’… ^_^

Jumat, 04 November 2011

Prediksi Cinta


Cinta itu definisi,
Semua orang perlu tahu apa maknanya!

Cinta itu teori,
Sulit…, sulit sekali membuktikannya!

Cinta itu misteri,
Ia sering tak tersentuh prediksi!

Selasa, 01 November 2011

M.U.A.L

Pacuan nafsu
Bilangan uang
Ketukan jabatan

Lilit melilit menggiurkan
Liur, tetes menetes menandakan
Cakar mencakar menundukan
Mereka yang berebutan

Muntah meludah menjijikan
Satu dua ingin merubah
Tampar menampar membalas kekalahan
Meninju angin,
Tak sampai-sampai!

Sementara,
Sepenuh dunia terlelap
Masa bodoh saja!
Lelah?
Kalah?
Atau masalah?

Sabtu, 15 Oktober 2011

Tiga Keajaiban Hari Ini

-->
Menjadi seorang ibu  sungguh membuat seorang wanita begitu berarti. Itulah yang kurasakan. Setidaknya ketika aku begitu bahagia dengan hal-hal kecil namun menarik mengenai anakku. Hal-hal biasa yang menjadi sebuah keajaiban.

Dan hari ini aku mendapat tiga keajaiban itu…

Keajaiban 1
Ketika tadi sore kami akan pergi, kuambilkan sepatunya lalu kuberikan padanya. Aku meninggalkannya sesaat untuk mencari sandalku. Ketika kembali, betapa takjubnya aku melihat dia telah memakai sepatu dengan sempurna.
Subhanallah, dede pake sepatu sendiri yah? Dede pinter ih…!” pujiku padanya.
“Iya, dede pinteran…,” katanya sambil nyengir kegirangan.
Keajaiban: Ini kali pertama ia memakai sepatu dengan sempurna di usianya yang ke-27 bulan. ^_^

Keajaiban 2
Saat aku sedang duduk-duduk sambil menemaninya bermain, Ia mendendangkan kata-kata yang tak kumengerti.
“Ya Tobah…, ya tobah…” katanya terus menerus ia lantunkan sambil berputar-putar.
Aku berpikir, berusaha mengenali kata-katanya. Ketika aku memutar lagu di hp-ku, dan ia mengikutinya persis seperti yang ia dendangkan itu, baru aku mengerti bahwa ia sedang bernyanyi lagunya Sulis, ‘Ya Toyibah’
Keajaiban berulang : Aku sering kecolongan akan perbendaharaan lagunya. Ternyata ia demikian cepat memamah lirik dan nada.  ^_^

Keajaiban 3
Saat kami tidur-tiduran selepas maghrib, tiba-tiba ia melafalkan lafadz yang membuatku memandangnya berbinar-binar.
Alif Laammiim.. Dzalikal kitabu laa roiba fiih…”
Sadar aku memandangnya takjub. Ia berhenti dan tersenyum-senyum.
“Apa, De? Coba ulangi!”
Tapi ia malah tertawa-tawa, melihat reaksiku yang kegirangan mendengarnya melafalkan ayat pembuka surat Al-Baqoroh itu.
Keajaiban : Ia menghafal apa yang aku hafal. Semoga ketika sudah besar, kau mampu menghafal Al-Qur’an jauh lebih baik dari ummi, sayang … ^_^

Oh, sungguh banyak sekali hal-hal kecil yang membahagiakan seorang ibu. Semoga sampai ajalku datang, kau tetap selalu membahagiakanku, Gaza, anakku… ^_^

Laa Yahtasib

October 30th, 2007

Beliau memelukku erat, lalu mencium pipiku berulang-ulang.
“Duh… pinter, bageur, ko bisa sampai ke rumah ibu…”
***
Aku masih ingat saat beliau memarahi kami karena hapalan Qur’an Hadits yang jelek, atau saat beliau menyindir teman-temanku yang memakai baju ketat-ketat, atau saat dengan penuh syahdu beliau memberi pelajaran hidup. Beliau guruku, ibuku, orang tuaku …
***
Beliau memarahiku karena a’idul fitri kemarin aku tak kesempatan bersilaturahim ke rumahnya. Masih dengan mata yang basah, seperti biasa beliau menceritakan kisahnya kali ini. Tentang sekolah kami yang kini bermurid makin ‘nakal’, tentang dunia kerjanya yang penuh intrik dan persaingan, dan tentang keluarganya.

Beliau baru kehilangan rumahnya, bukan kena gusur atau kebakaran, namun mengalah untuk sebuah kata “perdamaian” dalam warisan. Ada rasa sakit yang meradang, bukan karena kehilangan rumah, namun sakit melihat dunia yang makin tamak. Aku dibawanya ke gaya bahasa yang dulu pernah akrab di telingaku. Obrolan yang renyah tentang arti hidup di campur dengan irisan ayat-ayat Al-Qur’an yang kudus penuh pemaknaan.

“Derita itu tak berlangsung lama, anakku… tidak lama!” beliau kembali berkisah dan memegang tanganku erat.

“Anak-anak ibu semua pulang dari perantauan. Begitu datang mereka segera memeluk ibu dan berbisik di tengah kerapuhan hati ibu , ”Laa yukalifullahu illa wus’ahaa’, Ma….”

Subhanallah…, apa lagi yang lebih indah daripada memiliki anak-anak sholeh yang mampu menguatkan kita…,” ujarnya lirih.

Segera mereka mencarikan rumah baru buat sang ibu… Tinggalah kini beliau di rumah barunya. Tak kalah bagus dengan rumahnya yang dulu. Tak satupun ada barang dan hiasan di rumah itu kecuali dibeli dan di tata anak-anaknya tercinta. Malam-malan selanjutnya beliau bersaksi betapa besarnya kenikmatan melihat anak-anaknya yang dulu beliau bangunkan untuk sholat malam kini berlomba-lomba membangunkannya untuk sholat malam.

Beliau sujud bersyukur bahagia, betapa beliau makin menyadari kedalaman makna “Inna ma’al usri yusro…”  kedalaman makna “lain syakartum la ajidanakum….”

Hari-hari yang kini dilaluinya adalah hari-hari penuh kesyukuran. Betapa beliau terus menerus menunjukan pada kami rasa sayang Allah yang melimpah, yang memberikan rizki “laa yahtasib…, laa yahtasib…!!”


 (Ditulis ulang 15-10-2011, Setelah bersapa dengan beliau lewat telepon)

Jumat, 14 Oktober 2011

Senyum Tulus Pengampunan

Malam mulai larut. Gaza baru saja tertidur setelah lelah menggambar dan kuputarkan video-vidio lagu anak favoritnya. Selalu saja, aku menemukan damai yang meneduhkan saat melihatnya terlelap. Sebelumnya, aku kewalahan karena terus-terusan dimintai menggambar. Kali itu, tema gambarnya dalah mobil box dan mobil truk. Lelah duduk di depan laptop, aku beralih menggambar di kertas.

“Ih…, ummi pinteran,” kata Gaza dengan penuh antusias memujiku.
Aku tersenyum. Oh, aku tersanjung anakku.
“Sini, dede yang gambar mobil”
Ia cepat-cepat mengambil balpoint dari tanganku. Aku membiarkannya mencoret-coret kertas. Coretan tangannya sudah tegas, walaupun belum berbentuk. Hanya garis-garis yang menjalin benang kusut dan lingkaran-lingkaran yang tak sempurna. Jika yang ia buat menyerupai bentuk yang ia inginkan, dengan antusias ia menunjukannya padaku.
“Ummi liat, dede pinteran kan?” katanya sambil mengangguk-angguk.
“O.., iya. Dede pinteran” Aku mengamininya.
Namun lama kelamaan ia kesal karena belum mampu membuat bentuk mobil yang dia inginkan.
“Ummi…., gimana sih caranya?”
Aku menoleh ke arahnya penuh takjub. Subhanallah, ini kalimat pertamanya bertanya tentang ‘cara’. Lalu aku menuntun tangannya membentuk mobil-mobilan. Tak terkira wajahnya makin cerah ceria karena senang.

“Ummi…” Gaza memangilku.
Aku menoleh dan menjawabnya. Aku kira ia terbangun. Namun ternyata hanya mengigau. Aku menatapnya membayangkan apa yang tengah dia mimpikan. Aku bersyukur, namaku dibawa dalam mimpinya. Mudah-mudahan ia tak mengingat hal-hal jelek yang aku berikan padanya. Mudah-mudahan hanya hal baik yang dibawa  mengelilingi alam bawah sadarnya.

Aku teringat saat kemarin aku ‘ngambek’ dan cemberut atau pura-pura menangis karena tingkahnya. Suatu saat aku pernah sangat kesal sampai mencubit pipinya. Hal yang segera aku sesali beberapa detik kemudian. Lalu ia pun minta maaf dan menghulurkan tangannya padaku.
“Ummi, dede minta maaf,” katanya sambil menangis memegangi pipi.
Subhanallah, ia meminta maaf duluan. Padahal aku juga sudah mencubit pipinya. Aku masih cemberut. Namun ia tak berhenti merajuk.
“Dede cium…” katanya sambil mencim pipiku dengan hidungnya.
Aku masih cemberut saja, namun dia terus berusaha merayuku.
“Dede sayang..” katanya sambil membelai kepalaku.
Aku masih cemberut, sedang ia masih memnggil-manggilku, menunggu permintaan maafnya diterima diiringi isak tangisnya.
“Ummi…,”  katanya dengan nada mendayu.
Akhirnya hatiku luluh. Aku merasa keterlaluan jika tidak melumerkan hati dan memberikan senyum tulusku padanya. Aku telah berhasil mengajarkannya meminta maaf, kini saatnya aku mengajarkannya memberi maaf. Bukankah hal yang satu ini sering menjadi sesuatu yang sulit dilakukan. Sebaiknya aku menberinya contoh dari sekarang.
"Ummi juga minta maaf ya,sayang..."
Aku memeluknya penuh cinta dan penyesalan.

Akhirnya itu sering terjadi antara kami. Jika salah satu di antara kami ‘ngambek’, maka hal tersebut takkan berlangsung lama. Akan segera terganti oleh huluran permintaan maaf dan senyum tulus pengampunan. Semoga senyumkulah yang diingat  dalam alam bawah sadarnya, bukan cubitanku.

Semoga engkau kan menjadi anak yang lembut hati, anakku tersayang. Tidurlah, kasih ummi memelukmu selalu.


{14 Oktober 2011, setelah dede tertidur}

Senin, 26 September 2011

Wanita Tak Boleh Poliandri, Pria Silahkan Poligami

Aku berangkat dari rumah dengan hati yang datar. Sedikit bad mood  dengan beberapa hal  kurang baik yang melandaku tadi pagi. Tapi alhamdulillah, hal itu tak cukup membuatku menangis atau marah. Aku hanya sedikit sensitif saja. Kalau menuruti kehandak hati, mungkin diri ini ingin terus tiduran atau terus-terusan ngemil dan makan. Itu kebiasaan buruk yang biasa kulakukan jika sedang tak enak hati. Tapi tentu, aku tak sampai hati membolos mengajar demi kemalasan. Itu H.A.R.A.M. ! ^_^

Datang ke sekolah, aku melihat murid-murid kelas X yang minggu kemarin nilai ulangannya di bawah rata-rata. Rasanya ingin aku mengomeli mereka. Tapi tidak-tidak. Aku saja mungkin yang terlalu tinggi berekspektasi terhadap mereka. Aku pun menuju kantor dan melihat beberapa ustadz. Tak ada seorangpun ustadzah yang bisa asyik kuajak ngobrol. Hah, bengong yang hanya sebentar  menunggu giliran ngajar menjadi terasa lama sekali. Alhamdulillah, jam ketiga pun datang. Waktunya aku masuk kelas. Seperti janjiku, kuberikan soal-soal ulangan di kelas Y. Ulangan harian Bab Relasi dan Fungsi.

Setelah selesai, aku langsung memeriksa hasil ulangan di kantor. Hups…, sedikit kecewa dengan jawaban-jawaban mereka. Rasanya pas latihan mereka pada mengerti apa yang kuterangkan. Soal-soal juga bisa mereka kerjakan. Tapi kenapa ketika ulangan harian mereka tak menunjukan “kemampuan” mereka seperti kemarin. Aku lalu melanjutkan menyusuri jawaban mereka satu persatu.

Tiba-tiba sebaris jawaban yang ditulis seorang muridku dalam kertas ulangannya membuat hatiku melonjak-lonjak. Bibirku perlahan melebar tersenyum. Tak terbendung, tawaku pun pecah. Biarkan, biarkan aku tertawa sepuas hati kali ini. Wajahku pun memanas.
“Bukan fungsi karena domainnya poliandri”, begitu bunyi tulisannya yang kuceklis tanda betul.

***

Anak-anakku... ^_^
“Nah, anak-anak. Perhatiakan bahwa relasi bisa menjadi fungsi dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi”.
Aku pun menggambar beberapa diagram panah sebagai ilustrasi.
“Coba, kemarin kalian sudah mencatat. Apa saja syarat-syarat relasi bisa disebut fungsi”
“Jika setiap anggota himpunan asal mempunyai tepat satu kawan di anggota himpunan yang lain”.
Beberapa anak menimpali sambil membaca catatan.
“Nah…, di sana ada dua kata yang ibu garis bawahi. Pertama kata ‘setiap’ dan keduan kata ‘tepat satu kawan’. Artinya relasi bisa jadi fungsi kalau anggota pada daerah asalnya semuanya harus punya kawan dan kawannya itu harus satu saja”.
Aku mencermati roman mereka. Rupanya masih banyak murid-muridku yang melipat kening tanda belum mengerti.
“Oke, perhatikan diagram yang sudah ibu buat. Diagram pertama anggota himpunan asalnya semuanya punya kawan?”
“Punya….”, mereka menjawab bersamaan.
“Kawannya satu-satu tidak.”
“Tidak itu ada yang dua, Bu…”
“Bagus. Kalau kawannya dua. Berarti dia …..?”
“Bukan fungsi…”
“Iya, pinter…”
“Kalau diagram kedua?”
“Fungsi, Bu…?”
“Kenapa?” aku bertanya.
“Karena semua anggota  himpunan asal punya kawan dan kawannya cuma satu”
“Iya, pinter”
“Kalau yang ketiga?
“Bukan…”
“Kenapa?
“Karena ada anggota himpunan asal yang tak punya kawan, Bu”
“Iya, pinter, Bageur…”.

Anak-anak sahut menyahut dengan antusias menjawab pertanyaan-pertanyaanku.Aku pun makin antusias menerangkan.
“Kalau yang terakhir?
“Fungsi…”, sebagian murid menjawab namun sebagian lain menjawab sebaliknya, “Bukan, Bu…”
Sesaat kelas menjadi agak ramai dengan perdebatan mereka. Aku tersenyum.
“Oke, yang bilang ini fungsi alasannya kenapa?”
“Karena semua anggota himpunan asal punya kawan dan kawannya satu, Bu” Jawab beberapa murid.
“Lalu yang bilang bukan fungsi kenapa?”
“Karena itu, Bu… Daerah kawannya punya banyak teman”, jawab sebagian murid yang lain.
“Oke..., jawaban  yang tepat adalah diagram ini menggambarkan sebuah fungsi yah…!”
“Hore…,” sebagian anak yang merasa betul dengan jawabannya bersorak-sorai.
“Karena anak-anak... yang disyaratkan punya satu kawan saja kan domainnya bukan kodomainnya. Jadi domainnya hanya boleh punya satu pasangan tetapi kodomainnya boleh punya lebih dari satu pasangan.”
Aku mengedarkan pandangan. Beberapa murid masih ada yang terlihat belum faham. Maka aku ulangi penjelasan dengan sedikit contoh.
“Kalau ibu boleh ilustrasikan. Domain itu seperti perempuan. Kita, perempuan hanya boleh menikah dengan satu laki-laki. Kita tidak boleh poliandri”
Anak-anak terkekeh.
“Dan kodomain itu seperti laki-laki, mereka boleh punya pasangan lebih dari satu,” kataku sambil tersenyum.
Kelas menjadi sedikit riuh dengan tawa renyah. Sampai di akhir Bab ketika latihan, kata poligami dan poliandri masih sering kami pakai untuk menyatakan argumen tentang fungsi.

Maka, saatulangan harian mereka aku sodori beberapa diagram panah, kutanyakan apakah itu fungsi atau bukan dan kutanyakan argumennya, aku pun hanya bisa tertawa, dan membenarkan jawaban mereka. Ternyata ilustrasi seperti itu lumayan ampuh dan membekas di ingatan mereka. Lumayan lah... Itung-itung hiburan. Bad mood-ku seketika hilang terobati. Hah…, jadi guru memang bisa membuat kita jadi awet muda.
Kuambil lagi jawaban ulangan muridku yang lain, masih tersenyum lebar dan tertawa ringan kuberi tanda benar pada jawaban yang satu ini,
Bukan fungsi karena titik di A ada yang selingkuh”.

{Terima kasih ya Allah, masih menganugrahiku nikmat senyum … ^_^ }

Sabtu, 24 September 2011

Kuserahkan Tangis

Aku menangisi kebahagiaan
Di atas pengorbanan

Aku menangisi kerinduan
Di atas ketakutan

Jika, tak ada lagi untukku, cinta...!
Dan aku hidup hanya karena tanggungan kewajiban,
indah-indahnya kenangan

Sungguh tak ada damai
Jika tak ada serah

Aku menangisi kerinduan
Yang timbul tenggelam…

Rabu, 21 September 2011

Isyarat Allah dalam Proses Belajar Mengajar

Jika kita perhatikan wahyu-wahyu awal yang turun pada Rosullulah, yaitu surat Al-Alaq ayat 1-5,  surat Al Muddatstsir ayat 1-7 dan surat Ash-shu’aro ayat 214-215, ternyata ketiganya berkaitan dengan dunia pendidikan.

Pertama surat Al-alaq.

{}اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
{}خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ
{}اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
 {} الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
{}عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Artinya :
[96.1] Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,
[96.2] Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
[96.3] Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia,
[96.4] Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena.
[96.5] Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Dalam surat Al-alaq ini, kita semua diperintahkan untuk belajar. Kata ‘Iqro mengindikasikan perintah belajar. Bagaimana cara belajar? Perhatikan bahwa dalam surah ini kata ‘iqro-nya diulang. Iqro bismiroobika ladzi kholaq, …., iqro warrobukal akrom. Pengulangan kata ini memberi makna bahwa cara belajar itu harus diulang alias mesti sering. Ini mengandung arti apabila kita membaca sering, maka yang dibaca akan sulit untuk dilupakan. Jika diterapkan pada murid,  maknanya adalah murid harus sering belajar. Murid harus sering atau rajin datang ke sekolah mencari ilmu.

Pada wahyu itu pun Allah mengisyaratkan adanya proses mengajar. Di sana ada kalimat aladzi ‘alama, (yang mengajarkan). Bagaimana cara mengajar menurut wahyu ini? Harus sering! Karena di sana kata ‘alama diulang juga.  Aladzi ‘alama bilqolam, ‘alamal insana maa lam ya’lam.

Ikror (pengulangan)  kata qiroah (membaca) memberi isyarat jika kita menjadi guru, kita harus memberikan motivasi kepada murid agar rajin datang, rajin belajar. Ikror kata ta’lim (mengajar) memberi isyarat jika kita menjadi guru, kita harus rajin datang untuk mengajar.

Itulah proses belajar mengajar islami. Diulang-ulang, harus rajin. Murid rajin, guru rajin! Kalau murid rajin guru kedul (malas) maka proses tidak akan efektif. Begitu pula jika guru rajin murid tidak ada, juga tidak akan efektif. Dua-duanya harus rajin. Itu petunjuk Allah agar proses belajar mengajar  berhasil.

Lalu apa yang mesti dikuasai murid? Jika kita menjadi seorang guru, apa yang mesti lebih awal diupayakan agar dimiiki oleh murid?

Yang harus lebih awal dikuasai oleh murid adalah maharatul qiro’ah (keterampilan membaca). Membaca itu modal dasar untuk membuka ilmu. Jadikanlah murid kita pandai membaca, suka membaca. Setelah pandai membaca, murid juga harus memiliki  maharotul kitabah (keterampilan menulis). Urutan ini diisyaratkan oleh Allah dalam surat Al-alaq yang diawali dengan kata ‘iqro (bacalah) lalu diiringi dengan kalimat bil qolam (dengan pena). Artinya, keterampilan awal adalah membaca lalu keterampilan berikutnya adalah menulis. Orang yang bisa menulis itu pasti bisa membaca. Tetapi orang yang bisa membaca, belum tentu bisa menulis. Ini karena keterampian menulis lebih sulit dari pada keterampilan membaca. Dorong murid kita untuk rajin dalam menulis.

Demikian juga guru harus rajin menulis. Guru yang rajin menulis pastilah panjang umurnya. Tapi guru jarang menulis, pasti pendek umurnya. A.Hasan  itu telah wafat. Namun ketika ada masalah orang masih bisa bertanya pada A.Hasan lewat tulisannya. Artinya beliau panjang umurnya!  Tapi orang yang hanya pandai mengatakan dengan kata-kata, dengan lisan, tanpa ada tulisan, jika dia wafat, maka hilang pula ilmunya. Karena itu dorong, dorong diri kita sebagai guru untuk menulis.

Menulis itu memang bukan sesuatu yang bisa sim salabim. Perlu waktu dan ketekunan. Bagi guru, awalilah  belajar menulis itu minimal dari  bahan yang akan kita sampaikan. Tulislah rangkumannya.  Apabila bahan satu kali mengajar tersebut ditulis, bahan  berikutnya ditulis, bahan berikutnya ditulis lagi,  bayangkanlah dalam satu tahun, berapa banyak tulisan yang telah kita buat? Tiap tahun tulisan itu kita perbaiki lagi, lalu  karya kita itu disimpan di lemari agar dibaca orang. Siapapun nanti bisa mengganti kita sebagai guru mata pelajaran jika kita tidak ada, karena ilmu kita tetap ada. Apa yang kita tulis juga  bisa diteruskan oleh orang lain.

Insya Allah jka dua mahaaroh ini dimiliki, mahaarotul qiro’ah dan maharotul kitabah ilmu apapun yang tidak kita ketahui (maa lam ya’lam) akan dibuka oleh kedua kunci tersebut. Kita membaca, dari  hasil baca kita nukil, lalu kita pindahkan pengetahuan dalam bentuk tulisan, maka  menjelmalah ia menjadi  sebuah ilmu yang bermanfaat bagi orang lain. Nah, itulah isyarat-isyarat  wahyu pertama yang Allah perintahkan kepada ummat dari segi kaca mata tarbiyah pendidikan.

Terus terang diakui, bahwa di lingkungan jam’iyah Persatuan Islam, nampaknya keterampilan menulis itu tidak sebaik keterampilan menulis pada organisasi lain. Kita tahu, bahwa Kamus Al-Munawir begitu tebal, ditulis oleh pesantren Krampyak, NU. Padahal  sebenarnya potensi menulis  kita juga tinggi. Selama ini kita memang lebih banyak terjun dalam bidang dakwah  billisan. Namun, dakwah bil kitabah juga nampanknya perlu ditingkatkan. Karena itu saat ini dalam dunia pendidikan, guru didorong untuk membuat RPP. Minimal itu dapat kita pakai untuk latihan menulis.

Wahyu kedua surat  Al Muddatstsir ayat 1-7.

 {} يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ
{} قُمْ فَأَنذِرْ
{} وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ
{}  وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
{} وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ  
{} وَلَا تَمْنُن تَسْتَكْثِرُ
{}وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ
Artinya :
[74.1]   Hai orang yang berselimut,
[74.2]   bangunlah, lalu berilah peringatan!
[74.3]   dan Tuhanmu agungkanlah,
[74.4]   dan pakaianmu bersihkanlah,
[74.5]   dan perbuatan dosa, tinggalkanlah,
[74.6]   dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.
[74.7]   Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.

Wahyu kedua ini, kalau kita perhatikan berkaitan dengan perintah memberi peringatan. Orang menyebutnya dakwah, kalau dilihat dari sudut dakwah. Tapi kalau dilihat dari sudut kita sebagai guru, ini merupakan perintah untuk memberi pengajaran kepada orang lain.

Yaa ayyuhal muddatstsir,  wahai orang yang berselimut. Yang berselimut itu gambaran orang diam. Kum (bangunlah), fa’andzir (berikanlah orang lain pelajaran). Ini menunjukan perintah, “Jadilah kamu mundzir, jadilah kamu pemberi pelajaran”. Mundzir dalam bahasa pendidikan ya mudaris, mualim, murrobi, berarti jadilah guru!
Begitu hebat ayat Al-Quran. Wahyu pertama turun banyak menekankan perintah belajar. Setelah ilmu didapatkan, pada wahyu kedua kita diperintahlah jadilah guru.

Bagaimana  etika guru? Ini disebutkan dalam ayat selanjutnya.
Warrobaka fakabir. Agungkan Allah, besarkan. Guru harus bertauhid, tidak boleh sombong. Jangan ada guru sombong, takabur. Bagaimana contoh guru sombong? Salah satu indikasinya ia selalu menilai murid dengan standar kepintaran dirinya. Misal yang dites murid anak tsanawiyah tapi ia mengukur dengan pengetahuan dia sebagai sarjana. Jadilah merah terus nilainya. Itu contoh guru yang sombong, tidak memberi modal untuk murid untuk berkembang.  Jadilah guru yang yang membertikan motivasi dan dorongan. Kita tidak boleh hanya menilai murid dari satu domain saja. Jangan hanya dari segi  ma’arifi (kecerdasan) saja. Perhatikan pula segi iti’al (afektif) dan haroki (perilaku). Hal ini  karena kecerdasan hanya proses awal untuk melahirkan sisi-sisi afektif dan prilaku murid. Nah, karena itu, jadilah guru yang tidak sombong, lembut, ramah, pengasih dan pemaaf.

Etika selanjutnya adalah watsiyaabaka fa thohhir . Allah memberikan isyarat bahwa yang memberi peringatan harus membersihkan pakaiannya. Artinya, bagi seorang guru, haruslah berpakaian bersih dan rapi, memberi contoh etika penampilan yang baik untuk muridnya.

Etika berikutnya, warrujza fahjur , hindari perbuatan keji. Perbuatan buruk yang dilakukan guru, aibnya lebih besar dari yang lain. Ini karena guru adalah model panutan yang harus memberi suri teladan perilaku baik bagi murid juga lingkungan di sekitarnya.

Selanjutnya, walaa tamnun tastaktsir, jangan memberi dengan mengharap balasan yang lebih banyak. Sebagai guru kita tidak boleh meminta banyak balsan, misalnya masalah honor. Kalau kita mengharap jadi guru karena honor, terutama kita (di pesantren) maka kita rugi. Rugi, karena honor  tidak besar, pahala kosong. Pendidikan dalam konsep islam adalah investasi akhirat. Niat kita jadi guru haruslah niat ibadah. Jika ada honor kita terima, namun  niat pokok ibadah jangan hilang. Jika niat ibadah hilang nilai amal jariyah kita hilang.  Karena itu konsep islam berbeda dengan konsep barat. Dalam konsep islam, para guru yang bekerja itu istilahnya ‘mewakafkan diri’.

Etika guru terakhir dari surat ini adalah walirobika fashbir, harus bersabar. Jelas menjadi guru harus memiliki sifat sabar. Sabar dalam menghadapi anak-anak, dalam pengembangan ilmu dan dalam mengendalikan mutu. Jika tidak sabar maka sekolah pasti bubar.

Wahyu berikutnya, surat Ash-shu’aro ayat 214-215

{} وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
{} وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya:
[26.214] Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,
[26.215] dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.

Waandzir asirotakaal akrobin, memerintahkan kita untuk memperbaiki lingkungan terdekat terlebih dahulu. Lalu wahfidz janaahaka limanittaba’aka, rendahkan dirimu pada orang yang mengikutimu. Dalam dunia pendidikan siapa yang mengikuti dan diikuti jelas. Pada wahyu ini berarti guru diperintahkan merendah  diri pada muridnya. Kalau  diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, guru harus lebih awal dalam memberi salam, menyapa, memaafkan. Dengan begini akan lahir At-tarbiyah biqudwah atau pendidikan dengan tauladan. Bukankah Rasulullah memberikan contoh dengan lebih awal mengucapkan salam. Dalam berjabat tangan, tidak pernah beliau melepas tangannya sebelum orang lain yang melepasnya.

Kalau kita perhatikan tiga wahyu beriringan dalam Al-Qur’an tadi, kita dapat lihat bahwa  ketiganya berkaitan erat dengan pendidikan. Ini menunjukan bahwa islam adalah agama pendidikan. Rasullullah menyebarkan islam lewat pendidikan. Islam pun berkembang lewat pendidikan. 13 tahun pertama Rasullullah pun menjadikan rumah,darul arqom sebagai lembaga pendidikan.

(Potongan tausiyah secara lisan Ust. Dedeng Rasyidin, Pengurus PP PERSIS, saat pelantikan mudirul ‘am  PPI 138 Cikijing. Ditulis kembali dari rekaman audionya sebagai tadzkiroh, khususnya bagi saya pribadi. Semoga bermanfaat)

Sabtu, 10 September 2011

Never Ending Patient

Katakanlah :"wahai hamba-hamba yang beriman, bertakwalah pada Tuhanmu". Orang-orang yang berbuat baik di dunia akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. {Q.S. Az-Zumar,39:10}


Kesabaran bukanlah nama sebuah kejadian.
Ia adalah evolusi keberadaan sebuah kesadaran yang menyertai setiap tindakan.
Kesabaran bukanlah hal yang ada jika diungkapkan.
Ia akan hadir jika disembunyikan dibalik keikhlasan tertinggi seorang hamba.
Kesabaran bukan hanya menerima suatu keadaan.
Ia pun harus mammpu memberi dengan dihisai mulianya ketulusan.
Begitu luhurnya sebuah kesabaran hingga para nabi pun tak selalu berjubahkan kesabaran.
Betapa kudusnya kesabaran hingga malaikat pun tak selalu mampu menjadikannya sayap-sayap kuat,
dalam setiap kepakan dzikirnya.
Lalu bagaimanakah ia akan mnyentuh hamba-hamba yang dho’if…?
Yang selalu berharap kesabaran membalut dalamnya dosa dan keputusasaan,
timbul tenggelam dalam keputusan, abu-abu dan penuh teka-teki.
Wahai kesabaran…
Seberapa sucikah engkau?
Apakah sang legam tak mampu membaur bersama putihmu dalam pengharapan?
Wahai keasabaran…
Temani aku dalam penghambaan.
Dalam detak-detak jantungku yang dikejar-kejar ketakutan,
dibayangi kerinduan atau bahkan fananya kebahagiaan.
Wahai kesabaran…
Engkau bukanlah burung yang harus ku kejar untuk kumilili,
namun warna yang harus kulukis dalam kanvas hidupku jika aku menghendaki.
Wahai jiwa… Lukislah keasabaran terindah untukku.

***


Seiring perjalanan saat bertemu dengan kerasnya perjalanan hidup, ada realita yang membatasi dengan harapan, ada rintangan yang kadang membuat terjatuh dan kesakitan, ada musibah yang kadang menusuk begitu dalam. Dalam perjalanan itulah saya belajar memaknai kesabaran. Kembali merenungkan makna keberuntungan seorang muslim dalam setiap kondisi. "Bila mendapat kebaikan ia bersyukur, bila mendapat keburukan , ia bersabar". Lalu kondisi seperti apalagi yang dapat membuat seorang muslim terpuruk dalam suatu keadaan ???

Berbicara kesabaran sebenarnya bukan hanya saat kita ditimpa musibah saja. Kasabaran juga dapat diimplmentasikan secara umum dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Kadang kala kesabaran kita diuji dalam hal ibadah, ukhuwah, penunaian amanah dan proses-proses dakwah. Kadang kala juga dunia begitu menggoda dengan menarik-narik kita untuk ikut berpesta pora menjalankan kemaksiatan padaNya. Disinilah kesabaran kita diuji. Dari sini pula diketahui bahwa kesabaran ternyata berbanding lurus dengan komitmen kita terhadap Islam.

Saat dada begitu berat terasa mengahadapi pahitnya keadaan yang menimpa, biasanya kepala dingin alias akal sehat tak lagi berbicara. Sebenarnya jika dipikir-pikir, kalau musibah akan datang maka sabar atau tak sabar, musibah tetap saja akan datang. Kita hanya tinggal memilih sikap untuk menghadapi kenyataan, mau sabar atau tidak! Kesabaran adalah indikator kekuatan atau ketahanan mental seseorang. Dengan tetap bersabar seseorang akan menganggap dirinya beruntung. Hal ini berimplikasi jiwanya mendapatkan energi positif untuk meneruskan hidupnya lebih baik lagi. Jadi kesabaran seperti ini tidak mengajarkan kita menyerah dengan keadaan. Namun mengajarkan kita bagaimana bertahan dalam goncangan badai, bukan menyerah untuk tenggelam. Setelah itu membenahi diri untuk kembali berjuang !!!
Barulah kita akan merasakan, betapa indahnya kesabaran.

Kalau bukan karena kesabaran tidak mungkin tata surya begitu rapi beredar… Buat diri yang lagi diujung tanduk kesabaran. Never ending patient.


August 29th, 2007
(Ditulis ulang, Sept 10th 2011, menempa kesabaran kami yang sedang diuji)

Jumat, 09 September 2011

Di Ujung Cinta

Suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita tidur saling memunggungi
tapi jiwa berpeluk-peluk
senyum mendekap senyum

suatu saat alam sejarah cinta kita
raga tak lagi saling membutuhkan
hanya jiwa kita sudah melekat dan menyatukan
rindu mengelus rindu

suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita hanya mengisi waktu dengan cerita
mengenang dan hanya itu
yang kita punya

suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita mengenang masa depan kebersamaan
kemana cinta akan berakhir
disaat tak ada akhir.

Itu kata Anis Matta, dalam karyanya Akhir Sejarah Cinta Kita. Sangat, sangat mewakili apa yang kata orang bilang, “Ketika sudah lama menikah bukan lagi cinta yang kita punya, tinggal ada kasih sayang yang tak kurang hebatnya menyatukan dua jiwa. Bukan hilang mungkin, namun kadarnya berkurang digantikan sang kasih sayang. Ya, aku menyadarinya. Aku dan suamiku!
Kami sering berbincang tentang ‘kefanaan, tidak kekalnya cinta’. Kami sering berbincang bagaimana jika suatu saat, ia menduakanku dengan perempuan lain. Kami juga pernah berbincang bagaimana jika suatu saat, aku mampu berpaling ke lain hati. Kami sering berbincang bagaimana kami saling mengungkapkan kasih sayang jika kulit telah keriput. Dan kami sering berbincang bagaimana jika nanti kami terpisah. Aku pergi lebih dulu menghadap ‘Kekasihku’ yang lebih aku cintai, atau dia meninggalkanku dipanggil ‘Kekasihnya’ yang lebih ia cintai.

Bukan, bukan karena kami tak saling cinta. Bukan pula karena kami hanya memelihara setitik cinta. Insya Allah, cinta kami melimpah ruah saat ini. Namun kami bukanlah malaikat yang bertabiat selalu setia, jiwa kami terbagi dua antara akhirat dan dunia. Karenanya kami memahami betul bahwa hati selalu ‘berbolak-balik’. Sebentar senang sebentar lagi sedih. Sebentar cinta sebentar lagi benci. Karena itu banyak orang bilang benci dan cinta jaraknya begitu tipis.

Memadu dua jiwa tak hanya cukup dibekali cinta. Harus ada sebuah visi yang lebih jauh, lebih hakiki. Aku kadang-kadang bingung sendiri jika ditanya apa alasanku mencintainya. Padahal ia membeberkanku segala kurang dan jeleknya. Akhir kesimpulan setelah lama kucari-cari, adalah karena ‘ia suamiku’. Ya, betul ia adalah suamiku, karena itu aku mencintainya. Jika ia bukan suamiku, jika pun aku mencintainya, maka tak layak kusimpan cinta yang membara seperti yang kurasa. Aku akan melupakannya. Suami  punya hak untuk dicintai dan disayangi istrinya, begitu pun sebaliknya. Karena itu aku tak malu-malu mengakui, jika suamiku bukan dia, maka insya Allah aku akan mencintai suamiku ‘yang bukan dia’ itu seperti ini juga.

Aku kadang menjadi seorang istri yang melankolis, kadang mendramatisir besarnya cinta. Namun sungguh di atas itu semua, aku faham bahwa tak ada yang langgeng kecuali Dia. Aku mau menggombal, namun gombalan yang realistis dan tak begitu memuja kerlip dunia. Gombalan yang mampu menghangatkan cinta yang kadang membeku karena ‘lupa’. Karena itu, aku memohon pada Sang Pemilik Cinta Abadi untuk terus menjaga cinta dan kasih sayang kami berdua agar semakin kokoh. Tak tergoncang oleh riak-riak kecil, tak roboh oleh rintang-rintang besar. Aku tahu, kelak gairah cinta kami akan memudar, namun masih ada kasih sayang dan ketenangan yang menggantikan.

suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita mengenang masa depan kebersamaan
kemana cinta akan berakhir
disaat tak ada akhir.

Kami telah punya jawabannya. Di mana cinta akan berakhir. Di saat tak ada akhir. Kami ingin berjumpa sebagai keluarga di serambi surga-Nya. Tentu jika Ia berkehendak melimpahkan pengampunan atas dosa-dosa kami yang hina. Insya Allah


 09 September 2011, 8:39 am
(Setelah mencuci baju, mungpung anankku main sama tetehnya)

Kamis, 08 September 2011

Aku dan Buku (Part 3)

Aku memandangi tumpukan buku di kardus dekat rak kecil itu. Buku-buku lama setengah lusuh seperti merajuk merayuku agar kembali mengambil manfaat dari mereka. Sudah, sungguh sudah kubaca. Namun tunggu dulu! Apa, apa yang aku ingat? Apa  saja yang pernah mereka katakan padaku? Oh, sungguh payah ingatanku ini. Payah pula pertemananku denga buku. Jarang sekali aku bertegur sapa lagi dengan mereka semenjak terakhir kubaca. Kebanyakan hanya kusuruh berjejer di rak buku kecil layaknya barang sekali pakai. Bukankah buku-buku itu ibarat guru? Guru yang akan memberi ilmu terus menerus jika dibaca berulang-ulang. Tak ada ampas dari buku bekas, pun dibaca ribuan kali. Mereka terus merayuku, merajuk tak malu-malu. Mereka cemburu pada buku-buku baruku. Aih, ternyata kamu cemburu… ^_^

Aku bersyukur saat ini dapat menyisihkan uang untuk membeli buku. Sudah hampir setengah tahun semenjak keuangan kami mulai stabil, suamiku dengan senang hati mengirimku oleh-oleh buku jika pulang ke pangkuanku. Aku tak menginginkan oleh-oleh lain darinya. Aku pun diizinkannya membeli buku yang kumau dari uang yang ia berikannya padaku tiap bulan. Aku bahagia sungguh bahagia. Di tengah, upaya kami menabung untuk membangun ekonomi keluarga, aku masih diberi kesempatan untuk mendapatkan kenikmatan membeli buku yang kusuka.

Awal menikah, aku baru tahu keuangan suamiku tak begitu baik. Namun ia punya satu modal yang dengannya aku tak menghawatirkan kehidupan kami. Ia mempunyai tanggung jawab dan mampu bekerja keras (ups, tepatnya bekerja cerdas!). Apalagi ia mempunyai keahlian yang tak banyak orang memilikinya.  Ia seorang programmer yang bisa dibilang handal. Suamiku orang yang anti melamar kerja jadi PNS. Karakternya yang kreatif, ‘kurang sistematis’ dan ‘kurang suka’ diatur membuatnya benar-benar tak cocok jadi seorang karyawan dengan waktu, gaji dan tantangan kerja yang ‘gitu-gitu aja’. Awalnya ia berkonsentrasi pada bisnis warnet dan website. Namun setelah bertemu dengan patner yang tepat dalam membangun usaha, ia akhirnya membuat sebuah core banking untuk perbankan micro (semacam BPR). Dalam dua tahun setengah ini perusahaan yang mereka jalankan sudah berkembang signifikan.

Suamiku sangat senang ketika aku makin suka memamah buku. Ia ingin istrinya terus meng-upgrade pengetahuannya. Suamiku juga senang dan mendukung minatku yang makin besar ke dunia tulis menulis. Ia memfasilitasiku, meninggalkan laptopnya yang dulu untukku, membekaliku modem untuk kemudahanku online dan berhubungan dengan dunia luar. Ia mengizinkanku ikut aktif di lingkar pena dan tentu saja tak ketinggalan, ia memberiku izin membelanjakan uangnya untuk buku. Ketika ia sedang di toko buku, ia sering meneleponku untuk bertanya tentang pesanan bukuku atau maukah aku dibelikannya buku yang ia pilih.

Buku-buku bacaanku kali ini agak berbeda dengan konsumsiku sewaktu kuliah. Dulu, aku lebih suka membeli buku-buku keagamaan dan sosial politik. Kini, pilihan bacaanku lebih banyak novel, terutama novel yang berbau sejarah dan budaya. Mungkin ini karena pengaruh kebutuhan dan lingkungan. Kebutuhanku dulu seputar pengetahuanku sebagai seorang mahasiswa yang lumayan aktif dalam salah satu pergerakan mahasiswa islam dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) kampus. Kini sebagai seorang ibu, bacaanku lebih ringan dan menyenangkan.

Menulis. Menjadi seorang penulis buku adalah keinginku selanjutnya. Tahukah kamu, sebenarnya kebiasaanku menulis dimulai sejak SD. Sudah pernah kuceritakan bahwa aku suka menyalin dan merangkum materi di buku cetak ke buku catatan. Tapi yang ini belum kuceritakan. Kisahku bahwa dari mulai kelas empat SD aku sudah mulai gombal-gombalan berkirim surat cinta dengan ‘cinta monyetku’. Hemmm…, setiap hari bertemu tapi sering berkirim surat, lucu sekali aku (masih inget ga ya, dia, hehe…).  Namun sayang, setelah surat-surat cintaku itu ketahuan kakakku, aku malu luar biasa. Kubakar sudah koleksi surat cintaku itu. Dulu, aku juga punya sahabat pena yang kini tak tahu dimana rimbanya. Kesenanganku dalam berkirim surat tulisan tangan  masih kubawa sampai awal-awal kuliah.

Ada lagi kebiasaanku menulis diari yang sudah kumulai saat Tsanawiyah. Namun sayang pula, diariku selalu berakhir tragis. Kadang kusobek, kadang kubakar. Entah kenapa, aku selalu tak nyaman ketika membaca ulang kisah hidupku begitu nyata. Saat aku menyukai sesuatu atau saat aku membenci sesuatu. Aku merasa canggung menyebut sebuah nama dalam diariku. Terasa terlalu vulgar bagiku. Ada juga rasa khawatir jika diariku itu dibaca orang dan aku menjadi malu seperti ketika kakakku mendapatkan surat-surat cintaku. Akhirnya saat kuliah, aku menulis curahan hatiku dengan gaya lain. Aku menulis semacam prosa atau puisi. Curhatku berupa simbol-simbol kata yang tak mudah dimengerti kebanyakan orang. Saat aku marah, saat aku senang, saat aku melakukan sesuatu yang kubenci, saat aku rindu atau mengharapkan seseorang, atau saat semangatku membara untuk memberi. Kuungkapkan semuanya dalam bahasa kiasan yang sepertinya hanya aku yang mengerti.

Aku mulai menulis untuk publik saat bersama teman-teman menggagas sebuah buletin untuk unit kerohanian islam di kampus kami. Amani namanya, masih lekat rasanya di hati. Buletin ini masih ada sampai aku lulus, masih terus diwariskan. Entah sekarang, bagai mana kabarnya. Selanjutnya aku dan teman-temanku juga menggagas buletin untuk BEM di kampus kami. Pijar, namanya. Tapi Pijar tak seawet Amani. Sayang dokumentasiku tak begitu baik. Hanya beberapa yang tersisa dari Amani dan Pijar yang kini masih bisa kubaca ulang. Di luar itu, aku menulis hanya sesuai moment dan kebutuhan. Menulis artikel untuk kegiatan, lomba atau sekedar tugas. Aku memang pernah memenangkan lomba essai di lembaga keislaman tingkat kampus dan pernah juga menang karya tulis Aktuaria (padahal aktuariaku dapet C. He…) Namun saat itu aku belum berfikir menjadi seorang penulis. Menulis hanya sebuah kebutuhan insidental.

Semangat menulisku memang baru menggebu saat aku ikut aktif di FLP Majalengka. Walaupun baru dan belum menghasilkan banyak karya, namun kami yang ada di dalamnya sudah ber-azzam kuat untuk terus produktif menghasilkan karya. Kami saling menyemangati dan saling mendukung. Meski begitu, aku tak mau terburu-buru. Let I do it slowly but surely. Aku masih harus mengurus beberapa urusan rumah. Aku masih harus banyak bermain dengan anakku yang ada sedang dalam golden age-nya. Aku juga masih ingin memberikan yang terbaik untuk murid-muridku dalam bidang studi matematika. Ya, aku tak mau ada yang dikorbankan karena hobi dan impianku ini. Aku ingin semuanya lengkap walau tak mungkin sempurna.

Aku ingin menuangkan semua yang ada di dalam benakku. Aku ingin memberi manfaat dari apa yang kutulis dan aku ingin anak cucuku nanti dapat membaca karyaku nanti.  Namun tentu sebelum membuat buku aku harus banyak melahap buku. Kata seseorang yang menjadi salah satu inspirasiku, “Hanya orang gila yang berfikir ia akan mampu membuat buku tanpa banyak membaca buku”.

Memang koleksi bukuku kini masih sangat sedikit. Namun aku sangat senang bisa menambah ilmu, bisa menabung ilmu, bisa membagi ilmu dan bisa mewariskan ilmu  lewat buku. Suatu hari nanti di rak bukuku akan ada karyaku sendiri. Dan aku bisa tersenyum memandangnya.

08 Seotember 2011, 5:17 Pm
(Mungpung anakku bermain sama abahnya)

Rabu, 07 September 2011

Aku dan Buku (Part 2)

Ribuan buku yang di pajang di rak-rak toko buku itu dengan congkak berkacak pinggang. Mereka mencibirku, “Halah kamu, De. Paling kesini cuma lihat-lihat saja,kan? Raba kantongmu itu! Mana ada uang buat memboyong kami pulang.” Aku menunduk lesu. Batinku mengiyakan. Sebagai seorang mahasiswa dengan uang saku pas-pasan aku memang pelit berbelanja buku.

Aku bukan orang kaya yang berada, aku juga bukan orang miskin yang tak punya. Saat aku kuliah, ayahku sudah tak lagi menjabat sebagai kepala desa yang selama tiga periode berturut-turut didudukinya. Ibuku seorang ibu rumah tangga biasa. Pemasukan mereka andalkan dari hasil panen enam bulan sekali yang kadang habis sebelum tiga bulan. Dulu, saat pabrik penggilingan padi kami masih bekerja, setiap harinya ibuku mendapat pemasukan lumayan untuk hidup sehari-hari. Namun setelah sang pengolah pabrik kepercayaan meninggal dunia, pabrik sepi. Kurang dikelola secara baik dan tentunya kalah bersaing dengan pabrik lain yang memberikan pelayanan ekstra.

Ayahku yang kini menikmati waktu tua merawat kolam dan kebun, kadang kala dapat pemasukan dari hasil penjualan ikan, buah atau pun pepohonan di kebun kami. Sebenarnya ayahku memiliki banyak tanah yang untuk ukuranku jika diolah dengan baik akan menjadi sumber penghasilan yang ‘subhanallah’, lebih dari cukup untuk menutup semua pengeluaran hidup. Namun sayang, tanah tersebut tidak dikelola dengan baik. Menurutku malah, ongkos yang dikeluarkan untuk merawat tanah (kolam dan kebun) tidak sebanding dengan penghasilan yang di dapat.

 Walaupun sudah tak punya penghasilan tetap, namun tekad mereka untuk mengkuliahkan aku dan kakak-kakakku tetap bulat. Untungnya kakakku yang lain sudah lumayan sukses dan mandiri dan tentu saja menyokong kebutuhan kuliahku dan kakakku yang ke-6. Saat itu memang tinggal kami berdua yang kuliah. Kakakku kuliah di Yogya, dan aku kuliah di Purwokerto. Sebagai seorang adik yang pemalu dan ga enakan, aku tak pernah meminta uang secara langsung pada kakak-kakakku. Praktis, aku meminta biaya hidup hanya pada ibuku. Walaupun begitu, ibuku yang seringkali dompetnya tak berpenghuni meminta kakakku mentransfer uang untuk biaya hidupku.

Tahu secara persis bagaimana kondisi keuangan orang tuaku, maka aku tak pernah berbelanja semaunya dengan uang kiriman itu. Aku tahu, bagaimana ibuku dengan pusing memutar otak. Walaupun dengan  colek sana, colek sini, ia selalu menyediakan uang jika aku pinta. Makanya aku tak meminta uang sebelum aku tak memegang uang sama sekali di kantongku. Aku bahkan bisa mengingat bahwa selama empat setengah tahun kuliah, aku hanya membeli sebuah rok coklat, sebuah kaos panjang putih, tiga buah kerudung hitam dan dua buah tas berwarna coklat. Barang-barang lain yang kupakai adalah hasil warisan atau hadiah dari kakak-kakak dan saudaraku. Untunglah aku adalah orang yang cuek masalah penampilan.

Buku, buku adalah satu-satunya yang ingin aku dapatkan, jika aku punya kelebihan uang. Namun tahukah kamu, buku yang kudapatkan pastilah buku-buku tipis saja, sesuai dengan harga kantongku tentunya. Ingin sekali rasanya, aku meminta uang untuk sekedar membeli buku-buku tebal yang seringkali banyak disarankan orang. Namun aku adalah orang yang sangat sensitif, tak tega pada ibuku. Aku ingat ibuku pernah memarahiku karena aku ketahuan berpuasa daud di awal semester satu dan dua saat kuliah. Bukan karena tidak boleh, ibuku khawatir itu adalah caraku untuk menghemat pengeluaran. “Kalau bekal kurang, bilang sama Mimih,” katanya. Namun bukan itu tentu saja alasan aku berpuasa. Dan tidak semudah itu tentunya menyimpan telapak tangan dibawah untuk meminta tambahan uang. Sungguh, aku tak tega! Aku sempat iri pada kakakku yang mampu mengkoleksi banyak buku. Aih, dari mana ia bisa menyisihkan banyak uang seperti itu? Apa karena ia tinggal di Yogya, banyak toko buku sangat murah? Apa karena ia dekat dengan kakak keduaku di Klaten dan dapat tambahan uang? Padahal aku tahu, aku lebih mengirit membelanjakan uang dari pada dia. Tapi aku menepuk diri, mungkin akulah yang tak pandai menyisihkan uang lebih.

Untunglah, untung. Di Purwokerto aku memiliki teman-teman yang punya banyak koleksi buku. Aku juga lumayan rajin mencari artikel, jurnal di internet yang sedikit mampu mengatasi kehausanku akan membaca buku. Aku juga sadari, karena irama hidupku yang sibuk berorganisasi waktu itu membuatku sedikit melupakan buku. Kalau mau disebutkan, tentu di atas semua keterbatasan masih banyak yang bisa kumanfaatkan. Perpustakaan universitas misalnya. Walaupun agak tidak berselera melihat buku-buku kucel agak berdebu, namun bukankah pada dasarnya mereka tetap mutiara ilmu. Dasar, sungguh dasar! Akulah yang terlalu. Aku memang pernah merasa tenggelam di lorong-lorong antara rak buku di perpustakaan itu. Membayangkan betapa maboknya aku jika semua ilmu yang ada di buku itu aku santap.  Tapi aku akui, saat kuliah aku sangat jarang sekali ke perpus sana. Aku lebih asyik berdiskusi dalam rapat dan meminjam buku teman seadanya.

Namun di hati hati kecilku tetap saja. Membeli buku saat itu, seperti keinginan orang-orang yang memperhatikan penampilan, ingin membeli baju baru yang modis, tapi tak punya uang. Kasihan sungguh kasihan.

Aku meraba kantongku dan menunduk lesu di depan toko buku. Batinku berikrar, suatu hari, aku akan memboyong mereka, satu demi satu. Memindahkan mereka ke rak buku di rumahku.

07 September 2011
(Menunggu anakku bangun pagi, tak biasanya siang begini... ^_^)

Selasa, 06 September 2011

Aku dan Buku (Part 1)

Sudut kamarku itu memancing perhatian. Beberapa buku di atas lemari melambai-lambai menagih haknya untuk dibaca. Kadang-kadang mereka juga menjulurkan lidah, mencibir dan mencemoohku, “Dasar payah kamu, De. Kapan kamu santap kami? Gimana mau nambah referensi kalau kamu payah gitu dalam membaca.”  Fuih… Betul-betul malu aku malu pada diriku sendiri. Aku boleh banyak beralasan ini dan itu. Namun dengan mendaftar alasan-alasanku, aku malah makin terpojokan bahwa tak ada alasan untuk menyia-nyiakan hidangan selezat bacaan-bacaan itu. Aku tergugu. Tunggulah tunggu, aku hanya menunggu waktu tak mungkin aku mencampakanmu.

Tahukah kamu, dulu…, dulu saat aku masih SD, aku suka buku. Buku-buku pelajaran tentunya, karena di tempat seperti desaku tak ada referensi lain selain buku-buku cetak yang didapatkan di sekolah. Aku senang membaca buku-buku  yang banyak gambarnya itu. Sampai sekarang aku bahkan masih teringat sebuah buku pendidikan agama islam yang menerangkan tentang masalah pembatal sahnya sholat. Dalam bab itu, materi tersebut diilustrasikan dengan gambar beberapa orang yang tengah sholat. Yang pertama seorang wanita yang tengah sholat namun tangannya kelihatan sampai lengan atas, yang kedua sholat, namun tampak sedang mengobrol dengan teman disampingnya dan yang ketiga seorang laki-laki berkopiah yang sholat sambil mengulum es krim di mulutnya. Ck...ck..., sungguh gambar yang kocak jika aku mengingatnya sekarang. Namun dulu, itu adalah materi yang menarik untukku, sungguh menarik hati.

Aku suka membaca dan menulis. Setelah buku itu kubaca, kadang-kadang buku-buku cetak itu aku ringkas di buku catatanku. Ini kebiasaan yang ternyata aku bawa sampai Aliyah, yang ternyata juga mampu mengirit pengeluaranku untuk membeli buku. Tak hanya sampai menulis catatan punyaku, akupun senang, benar-benar senang dan dengan senang hati dan tanpa beban jika teman-temanku memintaku merangkumkan sebuah materi di buku catatan mereka. Aku bersyukur telah dimanfaatkan. Mungkin karena kebiasaanku ini juga, aku lebih mudah menangkap dan mengingat pelajaran sekolah.

Masih ketika SD, satu-satunya variasi bacaan yang pernah kukenal adalah perpustakan mini –bahkan sangat mni- milik sekolahku dulu. Begitu lekat dalam ingatanku saat aku membaca buku tentang tata surya. Buku itu tentu sangat menyedot perhatianku karena dari dulu aku begitu suka dengan yang namanya ‘bintang’. Saat itulah aku tahu, dan sampai saat ini pengetahuanku tak pernah luput dari ingatanku, bahwa semua bintang seperti makhluk hidup yang lain. Mereka lahir, tumbuh berkembang dan suatu hari akan mati. Matahari contohnya adalah bintang yang masih terus berkembang. Ia akan terus membesar bahkan akan menelan orbit bumi. Waw…, tentu bumi akan tamat saat matahari membesar seperti itu. Makin lama, setelah matahari makin besar, ia akan kehabisan energinya dan akhirnya menciut menjadi bintang mati. Yang tersisa adalah masanya yang berat dan kelak akan menyedot banyak benda di luar angkasasana. Aku bahkan mengira bahwa yang orang namakan sebagai ‘black hole’ atau lubang hitam di ruang angkasa adalah bintang mati.  Itulah pengetahuan yang aku dapatkan di kelas 3 SD. Begitu melekat dalam ingatanku. Aku tak habis pkir, jika saja ada perpustakaan yang lebih besar, mungkin lebih banyak kenangan masa kecilku dengan buku-buku itu.

Beranjak ke Madrasah Tsanawiyah, makin banyak koleksi buku yang kubaca, karena perpustakaan di sekolahku itu lumayan lengkap. Namun karena kaget dengan sistem belajar yang berbeda dari SD yang rasanya cuma ‘main-main’ saja dengan di Tsanawiyah yang lumayan serius, maka aku lebih fokus dengan buku-buku pelajaran sekolah. Selain itu, aku lebih menyibukan diri dengan kegiatan-kegiatan ekstra yang lumayan menyedot waktu dan perhatian. Satu-satunya bacaan di luar buku pelajaran yang aku santap saat itu adalah majalah remaja ‘An-Nida’ milik kakakku yang kala itu sudah sekolah di sebuah SMA di kota Majalengka. Otomatiis aksesnya mendapatkan buku lebih mudah. Ketika pulang ke rumah, ia selalu membawa majalah-majalah tersebut. Dan aku menikmati majalah gratis tersebut dengan senang hati.

Beranjak Aliyah, ritme bacaanku tak jauh beda dengan saat Tsanawiyah. Namun kini aku mulai membuka diri dengan bacaan-bacaan yang lumayan serius. Misalnya aku kadang mengintip bacaan bapakku, majalah Risalah, Bina Dakwah dan beberapa majalah komunitas Persatuan Islam yang lain. Lalu aku pun mulai agak bosan dengan majalah remaja dan mulai memilih majalah Sabili yang terkenal dengan isu-isu radikalnya. Kebetulan waktu itu ada agen yang menawariku berlangganan majalah. Waktu ditawari majalah An-Nida yang sebenarnya masih cocok untuk anak seusiaku, aku menolak dan meminta majalah Sabili saja. Saat itu aku menyisihkan uang jajanku untuk membelinya. Maklumlah maklum, aku tak pernah mempunyai uang lebih untuk anggaran yang lain kecuali kebutuhan sekolah dan jajan seadanya.

Suatu ketika, saat aku tahu bahwa seorang saudara (yang kelak ternyata jadi kakak iparku) mempunyai koleksi buku yang sangat banyak, akupun sangat girang dan bersemangat meminjam buku-buku yang sesuai dengan inters-ku. Apalagi adiknya adalah teman ngaji dan adik kelasku di Aliyah, jadi meminjam buku padanya amatlah mudah. Satu lagi, sumber pinjaman bukuku berasal dari seorang guru ngaji yang ternyata hanya tinggal beberapa tahun saja di tempatku dengan berbagai alasan. Dari sanalah aku berkenalah dengan buku-buku agak tebal dan berbobot. Saat itu pula permulaanku mengenal gerakan-gerakan islam, salah satunya adalah ‘Ikhwanul Muslimin’. Buku-buku memoar Hasan Al-Bana misalnya banyak menginspirasiku. Walau aku tak tahu persis apa yang paling kuingat dari buku itu seperti aku mengingat tentang tata surya di SD dulu. Yang lebih penting dari buku itu, adalah spirit perbaikan dalam diriku. Spirit untuk terus menjadi lebih baik.

Sudut kamarku itu memancing perhatian lagi. Beberapa buku di atas lemari melambai-lambai menagih haknya untuk dibaca. Mereka makin parah mencibir dan mencemoohku, “Dasar payah kamu, De. Kapan kau santap kami.“ Fuih… Betul-betul malu aku malu pada diriku sendiri. Aku tergugu. Tunggulah tunggu, aku hanya menunnggu waktu tak mungkin aku mencampakanmu.

6 September 2011, 01.05 p.m.
(Ditulis dadakan saat anakku tidur siang dan aku belum cukup lelah untuk menamaninya tidur)

Kamis, 30 Juni 2011

I'm following you, 'From Beirut to Jerusalem'... !

Kami berdua puluh dua orang, bekerja non stop selama tujuh puluh dua jam tanpa makan, minum, maupun tidur untuk menyelamatkan segelintir nyawa. Sementara di luar di kamp-kamp, ribuan penduduk sedang sekarat. Seandainya saya mengetahui, saya akan berlari ke jalan dan melakukan sesuatu untuk menghentikannya. {Dr.Ang Swee Chai}
***
Aku berjalan diantara puing-puing kamp Sabra dan Shatila. Aku menyaksikan rumah-rumah yang hancur. Mayat-mayat berserakan dengan kondisi mengenaskan dan berbau busuk. Banyak dari mayat itu yang tak bisa dikenali karena kondisinya tidak utuh terpotong sana-sini. Mereka telah di usir dari rumah mereka di Palestina, lalu merekapun dibantai dipengungsian mereka. Sisa penghuni berlalu lalang dengan wajah layu, seraya mencari-cari mayat-mayat saudara mereka. Setiap gundukan tanah dan puing-puing bangunan adalah kuburan masal. Kehancuran yang memilukan dan menyisakankan  kehidupan yang tak pantas didapatkan seorang manusia. Hidup di reruntuhan, tidak mendapat bahan makanan yang layak, tak cukup air bersih, dan tak ada jaminan keselamatan. Mereka hidup disisa-sisa keangkuhan dan kekejaman. Mereka hidup dengan bekas-bekas luka menganga.

Aku menyaksikan semua kehancuran itu dengan mataku sendiri melalui jendela dunia yang dikirimkan Dr.Ang Swee Chai lewat bukunya “From Beirut to Jerusalem”. Menulis buku ini bukanlah pekerjaan yang mudah untuk Dr. Swee karena menghidupkan kenangan-kenangannya yang menyedihkkan Demikian pula, membaca buku ini juga bukan hal yang mudah karena menoreh luka yang tak kalah menyakitkan.

Buku ini tak seperti buku-buku perjuangan warga Palestina yang sering kubaca, yang kebanyakan mengambil kaca mata warga Palestina dan melihat dari sudut sentimen keagamaan sebagai muslim. Dr. Swee memberiku kacamata yang lain yang sedikit banyak membelalakan mataku tentang perjuangan mereka yang hampir luput dari perhatianku. Perjuangan para relawan medis membantu para warga Palestina baik di kamp-kamp pengungsian atau pun di daerah pendudukan. Kegigihan mereka saat membangun puing-puing rumah sakit, bekerja banting tulang memenuhi kebutuhan pasien dan melakukan pertolongan tanpa pamrih pada korban. Mereka adalah orang-orang luar biasa. ‘Baik hati’  bukanlah kata yang cukup menggambarkan kepribadian mereka! Mereka mempunyai mental baja, keberanian yang kokoh dan semangat yang menyala-nyala.

Dr. Swee mewarisi semangat kedua orang tuanya yang merupakan anggota pergerakan perlawanan Jepang di Malaya (saat ini Singapura). Ia juga dibekali didikan yang disiplin dan cerdas. Ia meyakini bahwa ilmu yang dimilikinya tidaklah netral. Sains yang ia pelajari harus bermanfaat, harus dipakai untuk mengurangi beban orang-orang yang menderita dan miskin. Semenjak SMA ia telah berfikir tentang kemiskinan, kelaparan, hunian tak layak, penyakit dan masalah buta huruf. Teman-temannya menilainya aneh dan sok filosofis. Ia mendapat gelar dokter di University of Singapure dan gelar master di Inggris. Di Sekolah Kedokteran itulah Dr.Swee menjadi seorang pemeluk Kristen. Melalui FRCS ia menjadi relawan pertama kali ke Lebanon. Pada tahun 1982, ia berangkat ke Libanon karena tiga alasan. Pertama karena warga Libanon dan Palestina disana telah disakiti, kedua karena ia seorang Kristen yang mengembang misi “belas kasih” dan ketiga karena ia seorang dokter.

Semua berawal dari berita TV yang ia lihat bersama suaminya Francis tentang pendudukan Israel ke Libanon. Tiap malam pesawat Israel menjatuhkan bom ke petak-petak pemukiman sipil. Banyak orang tewas, banyak dari mereka adalah anak-anak. Blokade di lakukan Israel di mana-mana termasuk di kota Beirut. Bantuan medis dihalang-halangi, pasokan air, listrik dan makanan diputus. Koran-koran mengabarkan bahwa ratusan ribu kehilangan tempat tinggal dan empat belas ribu orang tewas karena penyerbuan ini. Kejadian ini menyulut emosi Dr. Swee dan tidak mengerti mengapa Israel melakukan hal ini.

Sebelumnya pandangan Dr.Swee adalah pandangan yang biasa dimiliki oleh orang non-muslim kebanyakan. Sebagai seorang Kristen, gereja mengajarinya bahwa bangsa Israel adalah bangsa pilihan Tuhan. Berkumplnya orang-orang Yahudi diseluruh dunia di Negeri Israel adalah pemenuhan janji Tuhan yang terdapat dalam Kitab Injil. Ia juga bersimpati pada orang-orang Yahudi ketika terjadi pembantaian Yahudi di tangan Nazi. Dr.Swee memihak Israel dan menilai bahwa PLO (Palestine Liberation Organisation) adalah sekelompok orang Arab teroris, tukang bejak pesawat, tukang pasang bom dan membenci orang-orang Yahudi. Namun dengan kejadian yang ia saksikan, terketuklah jiwanya untuk menolong rakyat Libanon dan rakyat Palestina.

Sabra dan Shatila adalah nama dari sebuah pemukiman di pinggiran selatan Beirut Barat. Sabra dan Shatila merupakan rumah bagi warga Lebanon sekaligus warga Palestina yang terusir dari negerinya. Israel menyerang Lebanon dengan dalih bahwa PLO menggunakan Lebanon selatan untuk menyerang Israel Kesepakatan gencatan senjata akhirnya disepakati pada akhir Agustus. Isinya adalah PLO setuju untuk meninggalkan Lebanon dan menyerahkannya pada pengawasan internasional. Sebaliknya Israel setuju untuk tidak menyerang Beirut dan menjamin keamanan warga sipil Palestina yang tinggal di kamp-kamp pengungsi. Pada awal September dilakukan evakuasi para pejuang PLO dari Beirut. Mereka meninggalkan keluarga mereka, istri, anak orang tua dan saudara-saudara mereka di pengingsian dengan harapan ada jaminan keselamatan bagi keluarga yang ditinggalkan.

Beberapa hari kemudian, Israel melanggar perjanjian. Mereka mengerahkan tentara di sekitar kamp-kamp pengungsi. Ironisnya pengawas internasional tidak meminta Israel mundur seperti saat mereka mengawasi evakuasi PLO. Israel menuduh bahwa masih banyak pejuang PLO yang berada di Beirut. Pada kenyataannya ini hanya dijadikan alasan untuk membantai warga sipil di kamp pengungsian. Pada tanggal 15-18 September pembantaian terjadi. Sekelompok besar suku Kata’eb dan Haddad (milisi falangis yang merupakan milisi kristen Libanon) dengan dukungan logistik dari Israel menduduki dan membantai orang-orang di pengungsian.

Militer Israel mengepung, menyegel kamp-kamp itu dan mendirikan pos-pos pengintaian di atap gedung-gedung tinggi di sekitarnya pada 15 September. Selama dua malam berikutnya, sementara milisi Falangis membantai para penghuni kamp pengungsian itu, militer Israel menjaga pintu-pintu keluar dan terus-menerus menembakkan cahaya suar di malam hari. Pasukan-pasukan Falangis memaksa mereka yang masih tersisa untuk keluar dari kamp untuk mengintrogasi dan membunuhi mereka. Bahkan terjadi pembantaian masal di sebuah stadion. Wartawan-wartawan asing yang setelah kejadian diizinkan masuk ke kamp menemukan ratusan jenazah yang berserakan di seluruh kamp. Sekitar 2.400 orang menjadi korban kebiadaban pembantaian tersebut.

Ketika penyerangan terjadi, Dr.Swee terus menerus menolong korban-korban yang datang ke rumah sakit selama tiga hari non stop. Tanggal 18 September ia digiring meninggalkan rumah sakit Gaza tempatnya bertugas. Saat itu ia baru sadar akan dahsyatnya kehancuran yang terjadi. Para relawan medis yang di introgasi di gedung PBB lalu mengirim mereka ke kedutaan AS dan menyuruh mereka pulang. Sementara sebagian teman-temannya masuk ke gedung Kedubes AS, Dr. Swee dan temannya Paul Morris mencari wartawan untuk mengetahui sebenarnya apa yang terjadi.

Sebagai dokter yang disibukan dengan pekerjaan-pekerjaan medis, ia tidak terlalu faham akan peta perpolitikan yang mengendalikan segala situasi yang terjadi. Ia sadar ketika menyaksikan bukti-bukti yang didapatkan pers tentang tumpukan-tumpukan mayat yang terpotong-potong atau mayat yang dipenuhi bekas luka penganiyayaan. Mayat anak-anak dan orang tua renta dan mayat-mayat perempuan tanpa busana. Untuk pertama kalinya dia menangis menyadari apa yang terjadi. Pada awalnya ia terlalu sibuk hingga tak sempat memikirkan apapun selain menyelamatkan segelintir nyawa di rumah sakit. Ia menyadari bahwa yang terjadi bukanlah pertempuran, namun pembantaian. Pejuang PLO telah ditipu agar mereka meninggalkan keluarga mereka untuk kemudian dibantai.

Pemerintah Israel menyatakan bahwa tentara pertahanan mereka, IDF tidak bertanggungjawab atas kejadian-kejadian di Sabra dan Shatila. Pembantaian dilakukan oleh milisi Falangis. Namun demikian, ketika berita tentang pembantaian itu menyebar ke seluruh dunia, kontroversi itu makin berkembang. Demonstrasi besar-besaran terjadi di Tel Aviv. Pada tanggal 28 September, pemerintah Israel memutuskan untuk membentuk sebuah Komisi Penyelidik. Pada saat Dr.Swee memberikan kesaksian di sidang tersebut, ia sangat kecewa. Ia mengatakan bahwa hanya segelintir orang yang benar-benar perduli dengan orang-orang di kamp pengungsian Palestina. Israel pengadakan sidang tersebut hanya untuk membuktikan kepada dunia bahwa sistem demokrasi mereka sangat hebat sehingga memberi kesempatan rakyat Palestina untuk mengemukakan pendapat. Di depan hakim, Dr. Swee mungkin tak lebih dari simpatisan PLO. Mereka beranggapan bahwa orang-orang Palestina adalah ras yang lebih rendah dari manusia. Kesaksian Dr.Swee dinyatakan bertentangan dengan kesaksian para pejabat IDF.

Kepada pers Dr.Swee dengan kesal berkata “Kami berdua puluh dua orang, bekerja non stop selama tujuh puluh dua jam tanpa makan, minum, maupun tidur untuk menyelamatkan segelintir nyawa. Sementara di luar sana di kamp-kamp, ribuan penduduk sedang sekarat. Seandainya saya mengetahui, saya akan berlari ke jalan dan melakukan sesuatu untuk menghentikannya”. Dr.Swee menyampaikan pesannya ke seluruh dunia, bahwa setiap manusia berhak hidup merdeka tanpa ancaman dan hidup layak layaknya manusia. Itu yang dia perjuangkan bahkan ketika ia pulang ke Inggris dan mendirikan MAP (Mediacal Aid For Palestinians). Organisasi yang sampai saat ini berkonsentrasi terhadap bantuan-bantuan medis untuk pengungsi palestina. Dedikasinya ini mengantarkannya mendapat penghargaan Bintang Palestina yang diberikan PLO padanya.

Sebenarnya pembantaian ini hanyalah satu dari begitu banyak pembantaian rakyat Palestina sejak tragedi Deir Yassin tahun 1948. Namun cukuplah gambaran Dr.Swee atas kondisi rakyat Palestina di kamp Sabra dan Shatila ini memberikan gambaran umum tentang kehidupan warga Palestina di kamp pengungsian. Israel menguusir warga Palestina dari negerinya dan menduddukinya. Israel berharap bangsa Palestina yang digiring ke luar Palestina dapat melebur dengan Negara yang menampung merea, sehingga mengikuti jejak komunitas-komunitas lain yang tek terhitung jumlahnya yang telah terhapus sejaran dan peta dunia. Namun para pengungsi Palestina enggan melakukannya. Mereka selalu ingin pulang ke rumah mereka. Dipengungsian mereka membangun komunits. Warga Paestina yang mengungsi sejak terusir dari tanah airnya telah terbiasa dengan kemiskinan, perang, penindasan dan pembunuhan. Keluarga mereka banyak yang meninggal, sedangkan sisanya tercerai-berai. Mereka sering berpindah-pindah tempat tanpa kepastian dengan tetap memegang harapan bahwa suatu hari mereka bisa pulang ke rumah mereka di Palestina.

Tahun 1985 kamp Sabra dihancurkan. Kamp Shatila melakukan perlawanan. Kamp tersebut dikepung dan menerima serangan besar-besaran dengan bom dan roket. Isolasi terhadap kamp dijalankan. Kondisi warga di kamp sangat memprihatinkan. Saat kondisi demikian darurat, para ulama mengizinkan warga di kamp Shatila memakan jasad manusia. Warga Shatila menyeru pada dunia bahwa mereka takkan menyerah dengan kelaparan. Mereka memang dibolehkan memakan jasad manusia, namun siapakah yang mampu memakan jasad orang-orang yang dicintai, anak, istri, ayah, ibu dan saudara-saudara mereka sendiri. Penduduk kamp Shatila menyongsong kematian mereka secara terhormat dan bermartabat. Tak satupun usaha Israel, baik pembantaian, pengepungan dan embargo makanan yang meruntuhkan semangat mereka.


Selasa, 28 Juni 2011

Emprees Orchid: Perempuan dan Intrik Politik

Oleh-oleh dari suamiku kali ini dua novel yang menggoda selera baca. Salah satunya adalah Emprees Orchid, sebuah novel Anchee Min tentang kisah hidup selir Kaisar Hsien Feng di era Dinasti Ch’ing, ChinaSuatu novel luar biasa tentang perempuan yang luar biasa. Seorang wanita yang berkarakter kuat, penuh gairah, seorang ibu yang penuh perhatian sekaligus seorang politikus yang hebat dan cerdas. 

Pertama membuka novel ini, aku disuguhi sebuah peta tentang gambaran umum kota terlarang. Imajinasiku tentang gambaran istana kekaisaran dari membaca buku lengkap sudah saat aku searching foto-foto dan vidio kota terlarang  di internet. Menakjubkan! Kota Terlarang terletak di tengah-tengah kota kuno Beijing dengan luas sekitar 720.000 meter persegi, 800 bangunan dan lebih dari 8.000 ruangan (Wikipedia). Tidak seperti sekarang yang menjadi objek wisata, dulu tempat ini adalah kota yang ekslusif dimana tak setiap orang dengan mudah keluar masuk. Tempat ini kugambarkan sebagai simbol peradaban, budaya, keindahan,  keagungan, kekuasaan, sekaligus pula penjara. ^_^

Anggrek  yang setelah masa kejayaannya dikenal sebagai Tzu Hsu, memulai titik balik takdirnya saat ia memberanikan diri mengikuti seleksi calon selir kaisar Hsien Feng. Jeratan penderitaan selepas ayahnya, mantan gubernur Wuhu, di propinsi Anhwei meninggal  datang bertubi-tubi. Walaupun awalnya tak begitu yakin, namun keinginannya untuk terbebas dari kesulitan ekonomi membuatya berani mencoba mengubah nasib. Berbekal darah biru Manchu dan kebulatan tekadnya, mulailah ia mencari peluang menjadi salah satu dari tujuh isrti resmi kaisar diantara sekitar lima ribu gadis yang mendaftar. Setelah mengikuti bermacam seleksi yang panjang, akhirnya Anggrek yang dipanggil dengan nama klan keluarga Yehonala berhasil menjadi salah satu istri resmi kaisar. Walaupun bukan menjadi istri utama kaisar, Anggrek merasa beruntung menjadi bagian dari keluarga kaisar, mendapat kehormatan dan memiliki jaminan materi untuknya dan keluarganya. Namun rasa beruntungnya tak bertahan lama setelah ia menyadari begitu beratnya hidup sebagai seorang istri kaisar.

Hidup sebagai satu dari sekitar tiga ribu perempuan yang diperuntukan untuk kaisar tentulah menyakitkan. Setiap hari di dera kesepian, penantian dan kecemasan. Jika kaisar tak meliriknya, bisa saja ia tak mendapat kesempatan barang semalam pun dengan sang suami. Begitu sulit mencari perhatian karena untuk bertemu kaisar pun melalui prosedur yang rumit dan panjang. Terlebih lagi dia betul-betul seorang diri memulai hidup di istana. Hidupnya di batasi di puri. Ia sadar melakukan sedikit kesalahan bisa vital akibatnya. Nyawa jaminannya. Untunglah takdir mempertemukannya dengan kasim yang menjadi pelayannya. Pelayan yang begitu setia, cerdas dan memiliki banyak koneksi, An-te-hai namanya. An-te-hai-lah yang banyak membuka jalan baginya menjadi seorang permaisuri yang di perhitungkan. Mulai dari bagaimana sebaiknya ia bersikap, bagaimana menarik perhatian kaisar dan bagaimana menjalankan intrik-intrik politik pada lawan-lawannya. Tanpa sosok An-te-hai, menurutku cerita tentang putri Yehonala akan sangat berbeda.

Kaisar Hsien Feng hanya memiliki dua anak dari istri resminya. Putri Yehonala adalah satu-satunya istri yang memberi anak laki-laki yang diberi nama Tung Chih sebagai pewaris tahta ayahnya. Sedangkan putri Jung didapatkannya dari istrinya putri Yun.  Putri Yun berakhir di tiang gantungan karena diduga melakukan guna-guna terhadap putra kaisar, Tung Chih.

Peran Nuharoo sebagai istri utama kaisar Hsien Feng  sangat mempengaruhi. Ia memiliki kedudukan lebih tinggi dari putri Yehonala. Ia bahkan pernah hampir mambunuh putri Yehonala beserta bayi yang dikandungnya dalam sebuah hukuman yang dijalankannya. Yehonala telah menjadi sebab meninggalnya seorang pelayan kesayangan Nuharoo yang dihadiahkan padanya. Untunglah hukuman terhadap Yehonala dibatalkan kaisar. Yehonala memerintahkan sang pelayan untuk di hukum cambuk.  Hukuman tersebut dia lakukan karena pelayan tersebut dinilai memata-matai semua kegiatan Yehonala termasuk keterlibatan dirinya dalam urusan kenegaraan yang dipercayakan kaisar Hsien Feng padanya. Tradisi dalam kerajaan, bahwa perempuan tak layak mengurusi urusan Negara. Minat mereka haruslah perhiasan-perhiasan, sulaman, dan urusan rumah tangga. Maka jika keterlibatannya dalam urusan negara diketahui publik, padahal kedudukan Yehonala belum kuat, maka posisi bahkan nyawanya bisa saja terancam.

Karakter putri Yehonala yang cerdas dan keras merupakan faktor pendukung dalam keberhasilannya menjadi seorang permaisuri. Putri Noharo tidak memiliki karakter seperti Yehonala. Sebagai putri bangsawan yang mengetahi persis tata cara hidup sebagai permaisuri, ia diajari peran perempuan yang tak banyak ikut campur urusan kenegaraan. Sebagai penganut Budha yang taat, ia lebih menginginkan kehidupan yang tenang, karena itu Nuharoo lebih pasif dalam urusan politik. Awalnya ketika perebutan perhatian diantara sesama istri  kaisar Hsein Feng Nuharoo memang banyak bermain. Namun ketika kondisi Negara memanas karena serangan tentara sekutu ke China, sedangkan kesehatan kaisar Hsein Feng makin menurun, Nuharoo malah menunjukan antipatinya terhadap urusan kenegaraan dan membiarakan hal tersebut diurusi Yehonala. Latar belakangnya sebagai putri gubernur dan karakter Yehonala yang kuat membuatnya siap untuk terlibat dalam wilayah politik kekaisaran. Kondisi inilah yang memperkuat posisi Yehonala.

Selain itu, hal yang paling menunjang keberhasilan Yehonala menjadi seorang permaisuri yang berpengaruh di dinasti Ch’ing  adalah sifatnya yang gigih dalam belajar. Saat kaisar Hsien Feng sakit dan hampir tak mampu mengerjakan tugas-tugas kenegaraannya. Di kamar tidur, Yehonala menggantikan tugasnya dengan melahap arsip-arsip kenegaraan yang sedemikian berat dan rumit. Ia rela belajar dengan tekun sampai mampu merumuskan keputusan-keputusan cerdas terhadap suatu masalah yang melanda negaranya. Hal ini dia lakukan sembunyi-sembunyi sampai akhirnya bocor pula hingga melahirkan berbagai polemik. Pada kenyataannya, semua keputusan dalam hidupnya ia ambil bukan semata-mata karena ambisi atas kekuasaan. Semua itu karena ia mempertahankan diri didalam lingkungan istana. Ia sadar tanpa pengaruh, ia akan dengan mudah disingkirkan. Untungnya Kaisar sudah terlanjur percaya padanya.

Saat kondisi Negara makin gawat karena serangan tentara sekutu ke kota terlarang, hampir seluruh warga kekaisaran lari ke istana Jehol. Karena kesehatan yang makin memburuk, kaisar meninggal di Jehol.  Semula lawan politik yehonala, ketua dewan agung Su Shun telah mempengaruhi kaisar agar saat meninggal membawa serta Yehonala. Artinya ia akan dipaksa meninggal menemani kaisar. Namun dengan usaha yang dilakukannya dengan meminta bantuan pada adik  ipar sekaligus suami dari adiknya, ia lolos dari jebakan ini.

Kaisar meninggalkan wasiat bahwa sepeninggalnya, putra mahkota yang mewarisi tahtanya di dampingi dewan wali yang terdiri dari delapan orang  diketuai Su Shun yang dalam memutuskan sesuatu harus dengan persetujuan dua ibu suri yaitu Nuharoo dan Yehonala. Dalam kenyatananya Su shun banyak melakukan hal sesuai dengan kehendaknya tanpa sepengetahuan dua ibu suri. Bahkan ada upaya-upaya mengabaikan peran dan menjatuhkan posisi permaisuri, terutama Yehonala. Yehonala berkesimpulan bahwa Su shun memanfaatkan posisinya yang kuat untuk mengganti peran kaisar pewaris tahta yang masih kecil. Karena itu Nuharoo dan Yehonala bersepakat untuk memeranginya dengan meminta bantuan orang-orang yang dapat dipercaya seperti adik kaisar pangeran Kung dan komandan pengawal kekaisaran Yung Lu. Kelak, Yehonala terjebak dalam cinta yang menyiksa terhapad Yung Lu.

Suatu ketika saat seisi istana kembali dari Jehol ke kota terlarang Su shun melakukan percobaan pembunuhan pada Yehonala. Pembunuhan ini dapat digagalkan Yung Lu. Ketika kembali ke kota terlarang yang rusak karena penjarahan tentara sekutu Inggris, pihak Yehonala akhirnya berhasil menyingkirkan Su shun dengan memberinya hukuman pancung atas nama kaisar.

Anchee Min akhirnya menggodaku melahap The Last Empress yang menggambarkan masa-masa kepemimpinan Yehonala setelah menjanda selama empat puluh enam tahun. 


Kota terlarang, Sisa peninggalan dinasti Ming dan Ch'ing
Forbiden city lewat Gogle Earth

Visitourchina.com

Minggu, 05 Juni 2011

Menghidupi Hati dengan Mati

Biarkan sepi
Menemani detik detik
Yang terus berdetak untuk
Mengganti

Biarkan kelam
Mewarnai ruang-ruang
Yang memiliki hampa untuk
Mengisi

Biarkan senyap
Menyulami dinding-dinding
Yang memiliki pori untuk
Merasuki

Biarkan bisu
Menghiasi hari-hari
Yang terus kuhitung untuk
Mengakhiri

Biarkan hidup
Menghidupi mati

Dan
Biarkan mati
Menghidupi hati