Jika kita perhatikan wahyu-wahyu awal yang turun pada Rosullulah, yaitu surat Al-Alaq ayat 1-5, surat Al Muddatstsir ayat 1-7 dan surat Ash-shu’aro ayat 214-215, ternyata ketiganya berkaitan dengan dunia pendidikan.
Pertama surat Al-alaq.
{}اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
{}خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ
{}اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
{} الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
{}عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Artinya :
[96.1] Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,
[96.2] Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
[96.3] Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia,
[96.4] Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena.
[96.5] Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Dalam surat Al-alaq ini, kita semua diperintahkan untuk belajar. Kata
‘Iqro mengindikasikan perintah belajar. Bagaimana cara belajar? Perhatikan bahwa dalam surah ini kata
‘iqro-nya diulang.
Iqro bismiroobika ladzi kholaq, …., iqro warrobukal akrom. Pengulangan kata ini memberi makna bahwa cara belajar itu harus diulang alias mesti sering. Ini mengandung arti apabila kita membaca sering, maka yang dibaca akan sulit untuk dilupakan. Jika diterapkan pada murid, maknanya adalah murid harus sering belajar. Murid harus sering atau rajin datang ke sekolah mencari ilmu.
Pada wahyu itu pun Allah mengisyaratkan adanya proses mengajar. Di sana ada kalimat
aladzi ‘alama, (yang mengajarkan). Bagaimana cara mengajar menurut wahyu ini? Harus sering! Karena di sana kata
‘alama diulang juga.
Aladzi ‘alama bilqolam, ‘alamal insana maa lam ya’lam.
Ikror (pengulangan)
kata
qiroah (membaca) memberi isyarat jika kita menjadi guru, kita harus memberikan motivasi kepada murid agar rajin datang, rajin belajar.
Ikror kata
ta’lim (mengajar) memberi isyarat jika kita menjadi guru, kita harus rajin datang untuk mengajar.
Itulah proses belajar mengajar islami. Diulang-ulang, harus rajin. Murid rajin, guru rajin! Kalau murid rajin guru
kedul (malas) maka proses tidak akan efektif. Begitu pula jika guru rajin murid tidak ada, juga tidak akan efektif. Dua-duanya harus rajin. Itu petunjuk Allah agar proses belajar mengajar berhasil.
Lalu apa yang mesti dikuasai murid? Jika kita menjadi seorang guru, apa yang mesti lebih awal diupayakan agar dimiiki oleh murid?
Yang harus lebih awal dikuasai oleh murid adalah
maharatul qiro’ah (keterampilan membaca). Membaca itu modal dasar untuk membuka ilmu. Jadikanlah murid kita pandai membaca, suka membaca. Setelah pandai membaca, murid juga harus memiliki
maharotul kitabah (keterampilan menulis). Urutan ini diisyaratkan oleh Allah dalam surat Al-alaq yang diawali dengan kata
‘iqro (bacalah) lalu diiringi dengan kalimat
bil qolam (dengan pena). Artinya, keterampilan awal adalah membaca lalu keterampilan berikutnya adalah menulis. Orang yang bisa menulis itu pasti bisa membaca. Tetapi orang yang bisa membaca, belum tentu bisa menulis. Ini karena keterampian menulis lebih sulit dari pada keterampilan membaca. Dorong murid kita untuk rajin dalam menulis.
Demikian juga guru harus rajin menulis. Guru yang rajin menulis pastilah panjang umurnya. Tapi guru jarang menulis, pasti pendek umurnya. A.Hasan itu telah wafat. Namun ketika ada masalah orang masih bisa bertanya pada A.Hasan lewat tulisannya. Artinya beliau panjang umurnya! Tapi orang yang hanya pandai mengatakan dengan kata-kata, dengan lisan, tanpa ada tulisan, jika dia wafat, maka hilang pula ilmunya. Karena itu dorong, dorong diri kita sebagai guru
untuk menulis.
Menulis itu memang bukan sesuatu yang bisa
sim salabim. Perlu waktu dan ketekunan. Bagi guru, awalilah belajar menulis itu minimal dari bahan yang akan kita sampaikan. Tulislah rangkumannya. Apabila bahan satu kali mengajar tersebut ditulis, bahan berikutnya ditulis, bahan berikutnya ditulis lagi, bayangkanlah dalam satu tahun, berapa banyak tulisan yang telah kita buat? Tiap tahun tulisan itu kita perbaiki lagi, lalu karya kita itu disimpan di lemari agar dibaca orang. Siapapun nanti bisa mengganti kita sebagai guru mata pelajaran jika kita tidak ada, karena ilmu kita tetap ada. Apa yang kita tulis juga bisa diteruskan oleh orang lain.
Insya Allah jka dua
mahaaroh ini dimiliki
, mahaarotul qiro’ah dan
maharotul kitabah ilmu apapun yang tidak kita ketahui (
maa lam ya’lam) akan dibuka oleh kedua kunci tersebut. Kita membaca, dari hasil baca kita nukil, lalu kita pindahkan pengetahuan dalam bentuk tulisan, maka menjelmalah ia menjadi sebuah ilmu yang bermanfaat bagi orang lain. Nah, itulah isyarat-isyarat wahyu pertama yang Allah perintahkan kepada ummat dari segi kaca mata tarbiyah pendidikan.
Terus terang diakui, bahwa di lingkungan
jam’iyah Persatuan Islam, nampaknya keterampilan menulis itu tidak sebaik keterampilan menulis pada organisasi lain. Kita tahu, bahwa Kamus Al-Munawir begitu tebal, ditulis oleh pesantren Krampyak, NU. Padahal sebenarnya potensi menulis kita juga tinggi. Selama ini kita memang lebih banyak terjun dalam bidang dakwah
billisan. Namun, dakwah
bil kitabah juga nampanknya perlu ditingkatkan. Karena itu saat ini dalam dunia pendidikan, guru didorong untuk membuat RPP. Minimal itu dapat kita pakai untuk latihan menulis.
Wahyu kedua surat Al Muddatstsir ayat 1-7.
{} يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ
{} قُمْ فَأَنذِرْ
{} وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ
{}
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
{} وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ
{} وَلَا تَمْنُن تَسْتَكْثِرُ
{}وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ
Artinya :
[74.1] Hai orang yang berselimut,
[74.2] bangunlah, lalu berilah peringatan!
[74.3] dan Tuhanmu agungkanlah,
[74.4] dan pakaianmu bersihkanlah,
[74.5] dan perbuatan dosa, tinggalkanlah,
[74.6] dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.
[74.7] Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.
Wahyu kedua ini, kalau kita perhatikan berkaitan dengan perintah memberi peringatan. Orang menyebutnya dakwah, kalau dilihat dari sudut dakwah. Tapi kalau dilihat dari sudut kita sebagai guru, ini merupakan perintah untuk memberi pengajaran kepada orang lain.
Yaa ayyuhal muddatstsir, wahai orang yang berselimut. Yang berselimut itu gambaran orang diam.
Kum (bangunlah),
fa’andzir (berikanlah orang lain pelajaran). Ini menunjukan perintah, “Jadilah kamu
mundzir, jadilah kamu pemberi pelajaran”.
Mundzir dalam bahasa pendidikan ya
mudaris, mualim, murrobi, berarti jadilah guru!
Begitu hebat ayat Al-Quran. Wahyu pertama turun banyak menekankan perintah belajar. Setelah ilmu didapatkan, pada wahyu kedua kita diperintahlah jadilah guru.
Bagaimana etika guru? Ini disebutkan dalam ayat selanjutnya.
Warrobaka fakabir. Agungkan Allah, besarkan. Guru harus bertauhid, tidak boleh sombong. Jangan ada guru sombong, takabur. Bagaimana contoh guru sombong? Salah satu indikasinya ia selalu menilai murid dengan standar kepintaran dirinya. Misal yang dites murid anak
tsanawiyah tapi ia mengukur dengan pengetahuan dia sebagai sarjana. Jadilah merah terus nilainya. Itu contoh guru yang sombong, tidak memberi modal untuk murid untuk berkembang. Jadilah guru yang yang membertikan motivasi dan dorongan. Kita tidak boleh hanya menilai murid dari satu domain saja. Jangan hanya dari segi
ma’arifi (kecerdasan) saja. Perhatikan pula segi
iti’al (afektif) dan
haroki (perilaku). Hal ini karena kecerdasan hanya proses awal untuk melahirkan sisi-sisi afektif dan prilaku murid. Nah, karena itu, jadilah guru yang tidak sombong, lembut, ramah, pengasih dan pemaaf.
Etika selanjutnya adalah
watsiyaabaka fa thohhir . Allah memberikan isyarat bahwa yang memberi peringatan harus membersihkan pakaiannya. Artinya, bagi seorang guru, haruslah berpakaian bersih dan rapi, memberi contoh etika penampilan yang baik untuk muridnya.
Etika berikutnya,
warrujza fahjur , hindari perbuatan keji. Perbuatan buruk yang dilakukan guru, aibnya lebih besar dari yang lain. Ini karena guru adalah model panutan yang harus memberi suri teladan perilaku baik bagi murid juga lingkungan di sekitarnya.
Selanjutnya,
walaa tamnun tastaktsir, jangan memberi dengan mengharap balasan yang lebih banyak. Sebagai guru kita tidak boleh meminta banyak balsan, misalnya masalah honor. Kalau kita mengharap jadi guru karena honor, terutama kita (di pesantren) maka kita rugi. Rugi, karena honor tidak besar, pahala kosong. Pendidikan dalam konsep islam adalah investasi akhirat. Niat kita jadi guru haruslah niat ibadah. Jika ada honor kita terima, namun niat pokok ibadah jangan hilang. Jika niat ibadah hilang nilai amal jariyah kita hilang. Karena itu konsep islam berbeda dengan konsep barat. Dalam konsep islam, para guru yang bekerja itu istilahnya ‘mewakafkan diri’.
Etika guru terakhir dari surat ini adalah
walirobika fashbir, harus bersabar. Jelas menjadi guru harus memiliki sifat sabar. Sabar dalam menghadapi anak-anak, dalam pengembangan ilmu dan dalam mengendalikan mutu. Jika tidak sabar maka sekolah pasti bubar.
Wahyu berikutnya, surat Ash-shu’aro ayat 214-215
{} وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
{} وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya:
[26.214] Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,
[26.215] dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.
Waandzir asirotakaal akrobin, memerintahkan kita untuk memperbaiki lingkungan terdekat terlebih dahulu. Lalu
wahfidz janaahaka limanittaba’aka, rendahkan dirimu pada orang yang mengikutimu. Dalam dunia pendidikan siapa yang mengikuti dan diikuti jelas. Pada wahyu ini berarti guru diperintahkan merendah diri pada muridnya. Kalau diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, guru harus lebih awal dalam memberi salam, menyapa, memaafkan. Dengan begini akan
lahir At-tarbiyah biqudwah atau pendidikan dengan tauladan. Bukankah Rasulullah memberikan contoh dengan lebih awal mengucapkan salam. Dalam berjabat tangan, tidak pernah beliau melepas tangannya sebelum orang lain yang melepasnya.
Kalau kita perhatikan tiga wahyu beriringan dalam Al-Qur’an tadi, kita dapat lihat bahwa ketiganya berkaitan erat dengan pendidikan. Ini menunjukan bahwa islam adalah agama pendidikan. Rasullullah menyebarkan islam lewat pendidikan. Islam pun berkembang lewat pendidikan. 13 tahun pertama Rasullullah pun menjadikan rumah,
darul arqom sebagai lembaga pendidikan.
(Potongan tausiyah secara lisan
Ust.
Dedeng Rasyidin, Pengurus PP PERSIS, saat pelantikan
mudirul ‘am PPI 138 Cikijing. Ditulis kembali dari rekaman audionya sebagai
tadzkiroh, khususnya bagi saya pribadi. Semoga bermanfaat)