Selasa, 15 Maret 2011

Brothers – A Muslim Country Kid-

Once upon a time there was a kid
Lived peacefully in country-side
Dad was beside him all the time
Taught him many things about life
And Mum gave him love all the time

Dad taught him to read the Quran
Mum showed him the way to be kind
They told him don’t be blind
When you face the lies of life
In your heart must have iman
Remember Allah all the time
To survive the test of life successfully

The life we’re living now
Would only last for a while
Akhirat is the destiny
The given chance is only once
For that you must promise us
That you would never let us down
Even ‘though we both are gone





{Nostalgia lagu lama, namun baru relevan sekarang untukku ^_^}

Minggu, 13 Maret 2011

Ruh Novel Penangsang : Mencari Kebenaran

Ada kiriman yang diantarkan pa Jatma, kepala Blok kami sore itu. Paket kiriman di desa kami memang selalu tak dikirim langsung ke rumah. Mentok disimpan di balai desa saja. Karena sudah beberapa hari kutunggu, maka dengan antusias aku segera mengambil bungkusan kiriman itu. Kupastikan isinya adalah sebuah buku, 
 Setelah kulihat, maka melebarlah senyumku. Buku tersebut adalah sebuah novel yang dikirimkan langsung pengarangnya untukku. Aku sangat senang saat tak sengaja mendapat kesempatan berkomunikasi dengannya fia Fb. Hal itu menjadi jalanku mendapatkan novel “Penangsang” yang tadinya kukira novel karya Ahmad Tohari, salah satu budayawan yang aku kagumi. Aku sempat kaget setelah tahu bahwa pengarangnya adalah "NasSirun PurwOkartun", seorang seniman yang tadinya kukenal hanya sebagai kartunis.
Kubuka sampul luarnya, dan menyembullah sebuah wajah kartun yang tengah nyengir dan dengan otomatis membuatku nyengir juga. Seperti permintaanku, ia menabur tanda tangannya di cover dalam untukku. Ia tuliskan sebuah pesan singkat yang dalam makna :
Untuk Ade,
“Pada sejarah kita berkaca, agar langkah makin tertata.”
 Dari wajah nyengir avatar dirinya pula ia membuat semacam callout yang isinya :
“Banyak baca, jadi serba tahu. Tak suka baca, jadi sok tahu!”
Subhanallah.., aku sungguh senang mendapat respon yang baik dan cepat dari pa NasS. Lebih dari itu, kebahagiaanku mendapat novel tersebut adalah karena novel Penangsang bukanlah novel biasa. Ia novel yang lahir dari hasil perenungan dan pergolakan jiwa pa NasS. Pertanyaan-pertanyaan dalam benaknya satu persatu ia jawab sendiri dengan riset yang fakual. Novel yang bercerita tentang tokoh Haryo Penangsang di dalam kemelut permasalahan perebutan tahta Demak Bintaro ini membuatku belajar banyak.
Sungguh, aku adalah salah satu dari benyak orang yang “mual” terhadap sejarah. Ini berawal karena ketidaknyamananku dalam belajar salah satu mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Umum tersebut. Sistem belajar sejarah dari guru-guru yang seragam yaitu membuat sejarah sebagai pelajaran hapalan. Ini membuatku tidak respek terhadap pelajaran tersebut. Aku sangat malas menghapal nama orang, tanggal lahir, tempat kejadian dan lain-lain yang identik dengan pelajaran sejarah.
Namun seorang “guru kehidupan” membuatku sadar bahwa begitu penting untuk mengetahui sejarah yang sesungguhnya. Jika kita tidak mempunyai keinginan untuk mempelajari sejarah lebih dalam, maka yang akan kita ketahui adalah sejarah versi penguasa yang belum tentu benar atau salahnya. Maka mau tidak mau, suka atau tidak suka kita harus belajar sejarah. Maka dari saat itulah aku mulai memaksa diri menyukai sejarah. Namun tidak semudah membalikan telapak tangan merubah ke-enggananku terhadap sejarah. Akhirnya aku mengakalinya dengan sedikit-sedikit belajar sejarah lewat novel-novel sejarah. Mempelajari yang tidak kusukai lewat sesuatu yang aku suka. Dan membaca novel Penangsang membuatku lupa bahwa aku sempat tak suka sejarah.
Sebenarnya novel Penangsang mengingatkanku akan novel Sang Pencerah. Novel tentang kehidupan K.H. Ahmad Dahlan dan perjuangannya mendirikan Muhammadiyah yang ditulis Akmal Nasery Basral. Novel ini mengadopsi skenario film Sang Pencerah karya Hanung Bramantyo. Namun suasana yang digambarkan oleh pa NasS jauh lebih detail. Ini salah satu hal yang membuat novel Penagsang menarik untukku.
Alur novel karya pa NasS lumayan rumit. Alurnya acak membuat yang tak teliti pasti kebingungan. Alurnya juga berjalan lambat, namun dari alur cerita  yang lambat itu terdeskripsikan uraian sejarah dalam interval waktu yang sangat panjang. Yang lebih menarik dan hebat adalah fakta-fakta sejarah  yang dihadirkan sepanjang cerita. Membuat novel ini buatku sekali lagi adalah novel tak biasa.
Sejujurnya, aku buta akan sejarah yang disajikan pa NasS dalam Novelnya. Karena itu aku juga tak bisa membandingkan hasil observasi sejarahnya dengan cerita yang selama ini diketahui secara umum. Yang aku tahu hanyalah bahwa Joko Tingkir adalah tokoh protagonist. Namun pa NasS menempatkannya sebagai tokoh antagonist. Sebenarnya pertentangan antara Joko Tingkir dan Penangsang belum terlalu dimunculkan dalam Novel pertama. Mungkin konflik antara keduanya baru muncul pada Novel kedua.
Bagiku, ada beberapa poin yang sangat berkesan dalam novel Penangsang,
1.      Pa NasS menggambarkan tokoh-tokohnya dengan tidak berlebihan. Tokoh protagonist bukanlah tokoh yang lepas dari kelemahan dan sifat-sifat jelek. Demikian juga sebaliknya.
2.      Babad Jawa tidak sepenuhnya dapat dijadikan menjadi sumber sejarah yang akurat. Hal ini karena babad jawa  penuh dengan kiasan-kiasan yang tidak boleh begitu saja ditafsirkan secara tekstual. Misalnya tentang kehebatan Joko Tingkir dan kejahatan musuh-musuhnya yang digambarkan begitu berlebihan dan tidak masuk akal. 
3.      Penggambarannya tentang kehidupan walisongo sebagai Waliyyul Amri (Dewan Wali). Ini juga menggambarkan bahwa penyebaran islam pada awal-awal penyebaranya di Jawa tak sekedar membutuhkan seorang tokoh agama yang hanya menguasai ilmu agama, namun juga merupakan para ulama yang tinggi ilmu tata negaranya bahkan merupakan panglima yang lihai dalam siasat dalam medan perang. Sebagai ulama mereka juga tidak lepas dari intrik politik karena ada di lingkaran kekuasaan kesultanan.
4.      Menarik jika mencermati awal perubahan bentuk tata negara yang menjadi konsep Kesultanan Demak dengan bentuk kerajaan yang dianut sebelumnya, dimana tahta diturunkan menurut garis keturunan. Konsep baru ini memberikan kewenangan untuk memutuskan siapa yang menjadi sultan demak ada ditangan Waliyyul Amri. Sebuah perubahan konsep yang didasarkan pada ketaatan syari’at yang pada substansinya adalah menyerahkan kepemimpinan pada orang yang mampu memakmurkan rakyat dan  menyebarkan nilai-nilai ajaran islam. Walaupun (mungkin) untuk alasan legitimasi, adat kerajaan akirnya membatasi bahwa yang menjadi sultan tetaplah harus turunan Raden Patah. 
5.      Konsep yang disepakati kebaikannya tidak serta merta melahirkan pandangan yang sama dalam eksekusi di lapangan. Ini terlihat dari perbedaan pemikiran Sunan Kalijogo dan Sunan Kudus. Keduanya memikirkan penyebaran ajaran islam di tanah Jawa. Namun Sunan Kalijogo yang menginginkan penyebaran islam lebih disesuaikan dengan adat masyarakat jawa, sedangkan Sunan Kudus yang lebih memilih menyebarkan islam secara murni.
6.      Hubungan antara ulama dan pemerintah (umara) yang tidak sejalan adalah cikal bakal keruntuhan suatu negara. Keputusan ulama harusnya menjadi bahan pertimbangan kebijakan-kebijakan pemerintah. Artinya nilai-nilai agama harus ditegakan oleh negara agar negara mampu mensejahterakan rakyatnya.
Terlepas dari semua fakta sejarah yang dengan berani diungkap di novelnya, dan telah menjadi pembahasan masyarakat umum sampai ahli sejarah, aku lebih mengagumi novel ini dari ruh pembuatannya. Walaupun ditulis hanya dalam waktu 4 bulan, namun perlu perenungan panjang bertahun-tahun dan penelitian yang melelahkan dalam membuat novel ini akhirnya “hidup”
Pa NasS membuat novel Penangsang diawali rasa gelisah dan penasaran. Pertama, kegelisahan melihat fakta yang ada bahwa Keraton Solo, Kesultanan Jogja, Pura Pakualaman, dan Pura Mangkunegaran yang konon merupakan turunan Kesultanan Demak, hanya menyisakan sinkretisme.  Kedua, kegelisahannya tentang cerita para ulama walisongo yang penuh dengan kemistikan. Ini bertolak belakang dengan semangat awal pendirian Kesultanan Demak yang merupakan sebuah kekhalifahan Islam yang didirikan oleh murid-murid Sunan Ampel untuk menyebarkan Islam di Tanah Jawa dengan jalur kekuasaan. Semangat ini menurutku adalah semangat yang subhanallah mulia. Betapa tidak, disaat kebanyakan orang hanya menikmati sisa peninggalan sejarah, namun pa NasS dengan gigihnya mencari kebenaran tentang sejarah dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
Walaupun sudah diberi gambaran dalam catatan-catatannya tentang kelanjutan kisah di novelnya, namun rasa penasaran akan kelanjutan novel ini tak terbendung. Semoga novel lanjutannya cepat terbit. Dan tidak seperti novel pertamanya yang telat kubaca, maka aku akan menjadi salah satu dari jajaran pembaca pertama untuk novel keduanya. Semoga… ^_^

Selasa, 08 Maret 2011

Pencuri - pencuri

Para pencuri bersembunyi dibalik dasi
Walau kami menangis, bahkan mencaci

Para pencuri bersembunyi dibalik safari
Diikuti tarian erotis dunia yang menggoda hati

Para pencuri bersembunyi dibalik kursi
Ruh-ruh yang terdesak pengap ambisi
Menginjak, menyeret, menduduki

Para pencuri tak kunjung menghirup bau jeruji bui
Karena mereka punya peradilan sendiri

Para pencuri berhura-hura menikmati hidup yang hampir mati
Memakai baju-baju kebesaran yang terlalu ‘besar’ untuk jiwa kerdil tak tersupir

Para pencuri tak kunjung malu hati
Mengeras dibalik tembok zaman yang memisahkan idealita dan asa kosong

Para pencuri tak henti mencuri lagi !
Saling meyuapi mulut dengan kertas-kertas bernominal yang tak berarti
Lama-lama jadilah mencuri adalah hobi

Lihat, lihatlah…
Para pencuri itu tak mampu kami hakimi
Merekalah yang menghakimi kehidupan kami
Para pencuri itu takkan bisa mati ditangan kami
Karena ternyata mereka adalah raja-raja kami !

Sabtu, 05 Maret 2011

Jumat, 04 Maret 2011

Purwokerto-Cikijing = Rp.2.500,-

Aku menatap kondektur gugup, mencoba membaca roman mukanya yang kelihatan kesal. “Dimana hilangnya?” katanya datar. Aku tertunduk dan tak terasa mengalirkan air mata. Perasaan campur aduk antara malu, kesal dan khawatir. Malu pada kondektur, sopir dan para penumpang yang “menonton”. Kesal pada diri sendiri, bertanya-tanya di mana dompet berada kini dan khawatir sang sopir tega menurunkanku di jalan begitu saja. Apalagi hari sudah mulai petang dan perjalananku dari Purwokerto ke Cikijing masih sangat panjang. Kondektur berlalu begitu saja dan aku berdo’a sepanjang jalan. Alhamdulillah, sang kondektur dan sopir berbaik hati, mereka tidak menagih ongkos sampai aku turun dari bus di terminal Ciamis.
Sampai di terminal, aku termenung. Tidak mungkin meneruskan perjalanan ke rumah dengan uang hanya beberapa ribu di saku. Akhirnya kuputuskan menelepon rumah di sebuah wartel. Namun malang, tak ada keluarga yang bisa menjemput ke Ciamis. Mereka menyarankan agar aku naik bus jurusan Ciamis-Cikijing, dan kakakku akan menunggu di sana sembari memegang uang untuk membayar ongkos.
Aku setuju dengan rencana tersebut, walaupun tidak terlalu yakin akan bertemu dengan kakak di Cikijing dengan segera. Bus takkan mungkin mau berhenti lama hanya untuk menunggu kakakku membayar ongkos. Aku tidak yakin sang sopir akan membawa penumpang yang tidak punya uang. 
Bukan hanya itu saja masalahnya, uangku habis dipakai menelepon, tak  bersisa lagi untuk naik ojeg dari terminal ke pangkalan bus. Maklum, di Ciamis, pada sore hari bus tidak masuk terminal. Namun Allah mengasihaniku dengan membimbing seorang bapak tukang ojek mendengar obrolanku sewaktu menelepon. Tanpa basa-basi bapak yang sudah lumayan berumur itu menolong dengan mengantar ke pangkalan bus, ia bahkan mengantarkanku sampai ke pintu bus. Aku berterima kasih padanya dan hanya bisa membalas kebaikannya dengan do'a.
Aku pun masuk bus dan langsung meminta ijin sekaligus memohon maaf pada sopir dan kondektur. “Pa, maaf, dompet saya hilang, saya minta numpang ke Cikijing, ongkosnya belakangan kalau nanti turun. Insya Allah kakak menunggu disana”. Kataku ragu-ragu. Namun sebaliknya, tanpa ragu mereka dengan simpati mengijinkan. Aku jadi menyesal sempat  berburuk sangka pada mereka. 
Aku pun duduk di dekat seorang bapak. Dengan tiba-tiba ia menyodorkan uang untuk mengongkosiku. Rupanya ia mendengar perkataanku pada kondektur tadi. Aku sangat terharu dan mataku berkaca-kaca. "Tak apa, de. Sesama manusia kan harus tolong menolong. Mumpung saya lagi ada. Kalau ga ada, saya juga kan ga bisa nolong", ucapnya sambil tersenyum. Aku membalas senyumannya dan berterima kasih padanya. Lalu sepanjang jalan, kami berbincang ringan. Ah..., sekali lagi batin ini berucap Alhamdulillah, Subhanallah… 
Sesampainya di Cikijing, betul saja dugaanku. Kakak tak ada saat aku turun dari bus. Aku menunggunya beberapa waktu sampai dia datang membawa motor. Aku makin bersyukur untunglah tadi ada yang mengongkosi.
Atas ijin Allah sampailah aku di rumah, perasaan haru menyeruak di dada. Aku pun bersyukur pada Allah. Berapa kali pertolongan-Nya dikirimkan lewat hamba-hamba yang baik hati. Aku makin yakin akan kekuasaan-Nya, bahwa Allah akan selalu menolong hamba-Nya, apalagi pada hamba yang berniat baik. Ya…, niat baikku yang sederhana ; pulang saat liburan kuliah dengan membawa oleh-oleh tak seberapa yang kujinjing di sebuah kardus : ‘ Dua pot bunga krisan untuk ibuku’.
Akhirnya dengan ajaib aku bisa melakukan perjalanan dari Purwokerto ke Cikijing dengan ongkos hanya dua ribu lima ratus rupiah (ongkos dari kosan sampai terminal Purwokerto)... ^_^ 
Subhanallah...