Senin, 23 Mei 2011

Berjuta Mutiara

Aku berdiri mematung, meyakinkan bahwa yang kulihat adalah kenyataan. Sungguhkah itu dirimu yang terbaring kaku. Sungguhkah itu dirimu yang kemarin masih bercanda-canda denganku. Dirimu yang membimbingku penuh kesabaran kejalan hidayah ini.
Saat itu aku terseok-seok mencari hakikat penciptaan yang mungkin membuat sebagian gila karena memikirkannya. Akupun tadinya memandang sebelah mata karena tak tahu seberapa berharganya dia. Mutiara itu kini milikku. Lihatlah aku yang dulu dijerat kesepian yang tak terhiburkan meski oleh ramainya manusia di bawah kerlipan lampu diskotik. Kini, dalam gelap malampun teranggnya hati ini membuatku hidup seperti  mentari. Lihatlah aku yang dulu perlu bertumpuk-tumpuk kertas bernominal untuk menebus obat-obat untuk bisa membuatku nyaman walau sekejap saja. Kini aku cukup menghamparkan sajadah dan menyatukan wajahku dengan tanah. Lalu luluhlah segala resah di jiwa. Lihatlah aku yang kini tak kuasa menyimpan manisnya iman sendiri saja. Sampai-sampai aku tak nyaman jika hanya duduk-duduk tanpa membagi-bagikannya pada setiap orang. Lihatlah aku kini yang menikmati jalan dakwah yang penuh duri, lihatlah aku…
Aku memungiti kesadaranku yang berjatuhan. Menyadari takdir yang telah menjadi kenyataan adalah sesuatu yang tak bisa diubah. Hanya saja rasa bersalah itu kembali mengoyak rasa ikhlasku untuk melepaskannya. Kakiku terasa makin ngambang. Akhirnya akupun tumbang…
 ....

Rabu, 04 Mei 2011

Pemberantasan Kemiskinan

......
Ah…, aku hanya bisa menghela nafas panjang melihat rentetan realita ini. Penggusuran adalah hal yang biasa di negeri kami yang kaya ini. Berbagai alasan telah disahkan pemerintah untuk melegalkan penggusuran yang tentunya tak pernah memihak pemilik baju rombeng seperti kami. Aku sadar betapa jijiknya mereka dengan pemukiman kumuh. Betapa rindunya  mereka pada bantaran kali yang bersih dari rumah-rumah reyot yang setiap hari melempar sampah rumah tangga ke sungai. Betapa resahnya para pemimpin kota saat mendapat kritikan pedas yang mengomentari betapa acak-acakannya kota mereka karena pengemis, pengamen dan para pedagang kaki lima yang berlomba-lomba mengais rejeki ditengah keramaian kota. Namun sama sekali tidak ada orang yang menginginkan kemiskinan saat ia lahir di dunia. Mereka hanya berusaha bertahan hidup. Melawan kerasnya zaman yang penuh dengan kecemburuan sosial  karena sifat individual yang kian menghiasi watak anak adam.
Penguasa tidak mau menilai diri. Mereka tidak kemudian ikut merasa bersalah mengapa orang-orang pinggiran seperti kami ada. Selalu saja kami disalahkan karena menerima takdir menjadi orang miskin. Sebaliknya, kami merasa menjadi korban amanah yang terabaikan. Salah urus atau bahkan tak pernah diurus! Seharusnya mereka berfikir bagaimana mengatur, membina mengurus rakyat kecil agar harkat dan martabatnya terangkat. Bukan kemudian membasimi kami layaknya tikus. Pembasmian kemiskinan ala mereka mungkin dapat dilakukan dengan mudah dengan cara membasmi kami selaku orang-orang miskin. Itu cara yang mudah dibandingkan harus pusing-pusing mengurus rakyat miskin dengan program-program yang jelas dan terarah. 
.....

Positif

          .....
Akupun pulang dengan membawa tugas baru. Janjiku pada Wandi untuk turut mencarikan solusi untuk masalah Imah. Selain masih buram tentang solusi terbaik, pikiranku juga diwarnai teka-teki dua takdir yang kontradiksi. Takdir memang menunjukan keterbatasan manusia. Apa yang diinginkan manusia walaupun telah diupayakan seoptimal mungkin tak akan terwujud jika terbentur dengan takdir yang telah digariskan. Begitu pula hal yang tak pernah diinginkan bisa muncul dengan tiba-tiba begitu saja. Model skenario seperti itu yang sedang terjadi pada Wandi dan pembantunya Imah.
Wandi dan istrinya begitu mendambakan kehadiran buah hati dari awal pernikahan mereka. Sampai sekarang setelah lima tahun lewat usia pernikahannya, sang anak yang diharapkan belum juga datang. Mereka telah melakukan pemeriksaan medis mendalam dan dokter tidak menemukan kelainan organ reproduksi pada keduanya. Mereka pun sudah melakukan berbagai usaha yang disarankan banyak pihak. Namun entah kenapa Santi tak juga hamil. Terakhir kudengar mereka tengah merencanakan proses bayi tabung. Begitu besar perjuangan mereka demi mendapatkan seorang anak. Sedangkan Imah yang belum menikah, karena tragedi yang dialaminya dalam semalam dititipi janin yang ‘tidak diharapkan’ dalam rahimnya. Sebuah prahara yang tak terduga sebelumnya. 
...........