Sabtu, 15 Oktober 2011

Tiga Keajaiban Hari Ini

-->
Menjadi seorang ibu  sungguh membuat seorang wanita begitu berarti. Itulah yang kurasakan. Setidaknya ketika aku begitu bahagia dengan hal-hal kecil namun menarik mengenai anakku. Hal-hal biasa yang menjadi sebuah keajaiban.

Dan hari ini aku mendapat tiga keajaiban itu…

Keajaiban 1
Ketika tadi sore kami akan pergi, kuambilkan sepatunya lalu kuberikan padanya. Aku meninggalkannya sesaat untuk mencari sandalku. Ketika kembali, betapa takjubnya aku melihat dia telah memakai sepatu dengan sempurna.
Subhanallah, dede pake sepatu sendiri yah? Dede pinter ih…!” pujiku padanya.
“Iya, dede pinteran…,” katanya sambil nyengir kegirangan.
Keajaiban: Ini kali pertama ia memakai sepatu dengan sempurna di usianya yang ke-27 bulan. ^_^

Keajaiban 2
Saat aku sedang duduk-duduk sambil menemaninya bermain, Ia mendendangkan kata-kata yang tak kumengerti.
“Ya Tobah…, ya tobah…” katanya terus menerus ia lantunkan sambil berputar-putar.
Aku berpikir, berusaha mengenali kata-katanya. Ketika aku memutar lagu di hp-ku, dan ia mengikutinya persis seperti yang ia dendangkan itu, baru aku mengerti bahwa ia sedang bernyanyi lagunya Sulis, ‘Ya Toyibah’
Keajaiban berulang : Aku sering kecolongan akan perbendaharaan lagunya. Ternyata ia demikian cepat memamah lirik dan nada.  ^_^

Keajaiban 3
Saat kami tidur-tiduran selepas maghrib, tiba-tiba ia melafalkan lafadz yang membuatku memandangnya berbinar-binar.
Alif Laammiim.. Dzalikal kitabu laa roiba fiih…”
Sadar aku memandangnya takjub. Ia berhenti dan tersenyum-senyum.
“Apa, De? Coba ulangi!”
Tapi ia malah tertawa-tawa, melihat reaksiku yang kegirangan mendengarnya melafalkan ayat pembuka surat Al-Baqoroh itu.
Keajaiban : Ia menghafal apa yang aku hafal. Semoga ketika sudah besar, kau mampu menghafal Al-Qur’an jauh lebih baik dari ummi, sayang … ^_^

Oh, sungguh banyak sekali hal-hal kecil yang membahagiakan seorang ibu. Semoga sampai ajalku datang, kau tetap selalu membahagiakanku, Gaza, anakku… ^_^

Laa Yahtasib

October 30th, 2007

Beliau memelukku erat, lalu mencium pipiku berulang-ulang.
“Duh… pinter, bageur, ko bisa sampai ke rumah ibu…”
***
Aku masih ingat saat beliau memarahi kami karena hapalan Qur’an Hadits yang jelek, atau saat beliau menyindir teman-temanku yang memakai baju ketat-ketat, atau saat dengan penuh syahdu beliau memberi pelajaran hidup. Beliau guruku, ibuku, orang tuaku …
***
Beliau memarahiku karena a’idul fitri kemarin aku tak kesempatan bersilaturahim ke rumahnya. Masih dengan mata yang basah, seperti biasa beliau menceritakan kisahnya kali ini. Tentang sekolah kami yang kini bermurid makin ‘nakal’, tentang dunia kerjanya yang penuh intrik dan persaingan, dan tentang keluarganya.

Beliau baru kehilangan rumahnya, bukan kena gusur atau kebakaran, namun mengalah untuk sebuah kata “perdamaian” dalam warisan. Ada rasa sakit yang meradang, bukan karena kehilangan rumah, namun sakit melihat dunia yang makin tamak. Aku dibawanya ke gaya bahasa yang dulu pernah akrab di telingaku. Obrolan yang renyah tentang arti hidup di campur dengan irisan ayat-ayat Al-Qur’an yang kudus penuh pemaknaan.

“Derita itu tak berlangsung lama, anakku… tidak lama!” beliau kembali berkisah dan memegang tanganku erat.

“Anak-anak ibu semua pulang dari perantauan. Begitu datang mereka segera memeluk ibu dan berbisik di tengah kerapuhan hati ibu , ”Laa yukalifullahu illa wus’ahaa’, Ma….”

Subhanallah…, apa lagi yang lebih indah daripada memiliki anak-anak sholeh yang mampu menguatkan kita…,” ujarnya lirih.

Segera mereka mencarikan rumah baru buat sang ibu… Tinggalah kini beliau di rumah barunya. Tak kalah bagus dengan rumahnya yang dulu. Tak satupun ada barang dan hiasan di rumah itu kecuali dibeli dan di tata anak-anaknya tercinta. Malam-malan selanjutnya beliau bersaksi betapa besarnya kenikmatan melihat anak-anaknya yang dulu beliau bangunkan untuk sholat malam kini berlomba-lomba membangunkannya untuk sholat malam.

Beliau sujud bersyukur bahagia, betapa beliau makin menyadari kedalaman makna “Inna ma’al usri yusro…”  kedalaman makna “lain syakartum la ajidanakum….”

Hari-hari yang kini dilaluinya adalah hari-hari penuh kesyukuran. Betapa beliau terus menerus menunjukan pada kami rasa sayang Allah yang melimpah, yang memberikan rizki “laa yahtasib…, laa yahtasib…!!”


 (Ditulis ulang 15-10-2011, Setelah bersapa dengan beliau lewat telepon)

Jumat, 14 Oktober 2011

Senyum Tulus Pengampunan

Malam mulai larut. Gaza baru saja tertidur setelah lelah menggambar dan kuputarkan video-vidio lagu anak favoritnya. Selalu saja, aku menemukan damai yang meneduhkan saat melihatnya terlelap. Sebelumnya, aku kewalahan karena terus-terusan dimintai menggambar. Kali itu, tema gambarnya dalah mobil box dan mobil truk. Lelah duduk di depan laptop, aku beralih menggambar di kertas.

“Ih…, ummi pinteran,” kata Gaza dengan penuh antusias memujiku.
Aku tersenyum. Oh, aku tersanjung anakku.
“Sini, dede yang gambar mobil”
Ia cepat-cepat mengambil balpoint dari tanganku. Aku membiarkannya mencoret-coret kertas. Coretan tangannya sudah tegas, walaupun belum berbentuk. Hanya garis-garis yang menjalin benang kusut dan lingkaran-lingkaran yang tak sempurna. Jika yang ia buat menyerupai bentuk yang ia inginkan, dengan antusias ia menunjukannya padaku.
“Ummi liat, dede pinteran kan?” katanya sambil mengangguk-angguk.
“O.., iya. Dede pinteran” Aku mengamininya.
Namun lama kelamaan ia kesal karena belum mampu membuat bentuk mobil yang dia inginkan.
“Ummi…., gimana sih caranya?”
Aku menoleh ke arahnya penuh takjub. Subhanallah, ini kalimat pertamanya bertanya tentang ‘cara’. Lalu aku menuntun tangannya membentuk mobil-mobilan. Tak terkira wajahnya makin cerah ceria karena senang.

“Ummi…” Gaza memangilku.
Aku menoleh dan menjawabnya. Aku kira ia terbangun. Namun ternyata hanya mengigau. Aku menatapnya membayangkan apa yang tengah dia mimpikan. Aku bersyukur, namaku dibawa dalam mimpinya. Mudah-mudahan ia tak mengingat hal-hal jelek yang aku berikan padanya. Mudah-mudahan hanya hal baik yang dibawa  mengelilingi alam bawah sadarnya.

Aku teringat saat kemarin aku ‘ngambek’ dan cemberut atau pura-pura menangis karena tingkahnya. Suatu saat aku pernah sangat kesal sampai mencubit pipinya. Hal yang segera aku sesali beberapa detik kemudian. Lalu ia pun minta maaf dan menghulurkan tangannya padaku.
“Ummi, dede minta maaf,” katanya sambil menangis memegangi pipi.
Subhanallah, ia meminta maaf duluan. Padahal aku juga sudah mencubit pipinya. Aku masih cemberut. Namun ia tak berhenti merajuk.
“Dede cium…” katanya sambil mencim pipiku dengan hidungnya.
Aku masih cemberut saja, namun dia terus berusaha merayuku.
“Dede sayang..” katanya sambil membelai kepalaku.
Aku masih cemberut, sedang ia masih memnggil-manggilku, menunggu permintaan maafnya diterima diiringi isak tangisnya.
“Ummi…,”  katanya dengan nada mendayu.
Akhirnya hatiku luluh. Aku merasa keterlaluan jika tidak melumerkan hati dan memberikan senyum tulusku padanya. Aku telah berhasil mengajarkannya meminta maaf, kini saatnya aku mengajarkannya memberi maaf. Bukankah hal yang satu ini sering menjadi sesuatu yang sulit dilakukan. Sebaiknya aku menberinya contoh dari sekarang.
"Ummi juga minta maaf ya,sayang..."
Aku memeluknya penuh cinta dan penyesalan.

Akhirnya itu sering terjadi antara kami. Jika salah satu di antara kami ‘ngambek’, maka hal tersebut takkan berlangsung lama. Akan segera terganti oleh huluran permintaan maaf dan senyum tulus pengampunan. Semoga senyumkulah yang diingat  dalam alam bawah sadarnya, bukan cubitanku.

Semoga engkau kan menjadi anak yang lembut hati, anakku tersayang. Tidurlah, kasih ummi memelukmu selalu.


{14 Oktober 2011, setelah dede tertidur}