Senin, 26 September 2011

Wanita Tak Boleh Poliandri, Pria Silahkan Poligami

Aku berangkat dari rumah dengan hati yang datar. Sedikit bad mood  dengan beberapa hal  kurang baik yang melandaku tadi pagi. Tapi alhamdulillah, hal itu tak cukup membuatku menangis atau marah. Aku hanya sedikit sensitif saja. Kalau menuruti kehandak hati, mungkin diri ini ingin terus tiduran atau terus-terusan ngemil dan makan. Itu kebiasaan buruk yang biasa kulakukan jika sedang tak enak hati. Tapi tentu, aku tak sampai hati membolos mengajar demi kemalasan. Itu H.A.R.A.M. ! ^_^

Datang ke sekolah, aku melihat murid-murid kelas X yang minggu kemarin nilai ulangannya di bawah rata-rata. Rasanya ingin aku mengomeli mereka. Tapi tidak-tidak. Aku saja mungkin yang terlalu tinggi berekspektasi terhadap mereka. Aku pun menuju kantor dan melihat beberapa ustadz. Tak ada seorangpun ustadzah yang bisa asyik kuajak ngobrol. Hah, bengong yang hanya sebentar  menunggu giliran ngajar menjadi terasa lama sekali. Alhamdulillah, jam ketiga pun datang. Waktunya aku masuk kelas. Seperti janjiku, kuberikan soal-soal ulangan di kelas Y. Ulangan harian Bab Relasi dan Fungsi.

Setelah selesai, aku langsung memeriksa hasil ulangan di kantor. Hups…, sedikit kecewa dengan jawaban-jawaban mereka. Rasanya pas latihan mereka pada mengerti apa yang kuterangkan. Soal-soal juga bisa mereka kerjakan. Tapi kenapa ketika ulangan harian mereka tak menunjukan “kemampuan” mereka seperti kemarin. Aku lalu melanjutkan menyusuri jawaban mereka satu persatu.

Tiba-tiba sebaris jawaban yang ditulis seorang muridku dalam kertas ulangannya membuat hatiku melonjak-lonjak. Bibirku perlahan melebar tersenyum. Tak terbendung, tawaku pun pecah. Biarkan, biarkan aku tertawa sepuas hati kali ini. Wajahku pun memanas.
“Bukan fungsi karena domainnya poliandri”, begitu bunyi tulisannya yang kuceklis tanda betul.

***

Anak-anakku... ^_^
“Nah, anak-anak. Perhatiakan bahwa relasi bisa menjadi fungsi dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi”.
Aku pun menggambar beberapa diagram panah sebagai ilustrasi.
“Coba, kemarin kalian sudah mencatat. Apa saja syarat-syarat relasi bisa disebut fungsi”
“Jika setiap anggota himpunan asal mempunyai tepat satu kawan di anggota himpunan yang lain”.
Beberapa anak menimpali sambil membaca catatan.
“Nah…, di sana ada dua kata yang ibu garis bawahi. Pertama kata ‘setiap’ dan keduan kata ‘tepat satu kawan’. Artinya relasi bisa jadi fungsi kalau anggota pada daerah asalnya semuanya harus punya kawan dan kawannya itu harus satu saja”.
Aku mencermati roman mereka. Rupanya masih banyak murid-muridku yang melipat kening tanda belum mengerti.
“Oke, perhatikan diagram yang sudah ibu buat. Diagram pertama anggota himpunan asalnya semuanya punya kawan?”
“Punya….”, mereka menjawab bersamaan.
“Kawannya satu-satu tidak.”
“Tidak itu ada yang dua, Bu…”
“Bagus. Kalau kawannya dua. Berarti dia …..?”
“Bukan fungsi…”
“Iya, pinter…”
“Kalau diagram kedua?”
“Fungsi, Bu…?”
“Kenapa?” aku bertanya.
“Karena semua anggota  himpunan asal punya kawan dan kawannya cuma satu”
“Iya, pinter”
“Kalau yang ketiga?
“Bukan…”
“Kenapa?
“Karena ada anggota himpunan asal yang tak punya kawan, Bu”
“Iya, pinter, Bageur…”.

Anak-anak sahut menyahut dengan antusias menjawab pertanyaan-pertanyaanku.Aku pun makin antusias menerangkan.
“Kalau yang terakhir?
“Fungsi…”, sebagian murid menjawab namun sebagian lain menjawab sebaliknya, “Bukan, Bu…”
Sesaat kelas menjadi agak ramai dengan perdebatan mereka. Aku tersenyum.
“Oke, yang bilang ini fungsi alasannya kenapa?”
“Karena semua anggota himpunan asal punya kawan dan kawannya satu, Bu” Jawab beberapa murid.
“Lalu yang bilang bukan fungsi kenapa?”
“Karena itu, Bu… Daerah kawannya punya banyak teman”, jawab sebagian murid yang lain.
“Oke..., jawaban  yang tepat adalah diagram ini menggambarkan sebuah fungsi yah…!”
“Hore…,” sebagian anak yang merasa betul dengan jawabannya bersorak-sorai.
“Karena anak-anak... yang disyaratkan punya satu kawan saja kan domainnya bukan kodomainnya. Jadi domainnya hanya boleh punya satu pasangan tetapi kodomainnya boleh punya lebih dari satu pasangan.”
Aku mengedarkan pandangan. Beberapa murid masih ada yang terlihat belum faham. Maka aku ulangi penjelasan dengan sedikit contoh.
“Kalau ibu boleh ilustrasikan. Domain itu seperti perempuan. Kita, perempuan hanya boleh menikah dengan satu laki-laki. Kita tidak boleh poliandri”
Anak-anak terkekeh.
“Dan kodomain itu seperti laki-laki, mereka boleh punya pasangan lebih dari satu,” kataku sambil tersenyum.
Kelas menjadi sedikit riuh dengan tawa renyah. Sampai di akhir Bab ketika latihan, kata poligami dan poliandri masih sering kami pakai untuk menyatakan argumen tentang fungsi.

Maka, saatulangan harian mereka aku sodori beberapa diagram panah, kutanyakan apakah itu fungsi atau bukan dan kutanyakan argumennya, aku pun hanya bisa tertawa, dan membenarkan jawaban mereka. Ternyata ilustrasi seperti itu lumayan ampuh dan membekas di ingatan mereka. Lumayan lah... Itung-itung hiburan. Bad mood-ku seketika hilang terobati. Hah…, jadi guru memang bisa membuat kita jadi awet muda.
Kuambil lagi jawaban ulangan muridku yang lain, masih tersenyum lebar dan tertawa ringan kuberi tanda benar pada jawaban yang satu ini,
Bukan fungsi karena titik di A ada yang selingkuh”.

{Terima kasih ya Allah, masih menganugrahiku nikmat senyum … ^_^ }

Sabtu, 24 September 2011

Kuserahkan Tangis

Aku menangisi kebahagiaan
Di atas pengorbanan

Aku menangisi kerinduan
Di atas ketakutan

Jika, tak ada lagi untukku, cinta...!
Dan aku hidup hanya karena tanggungan kewajiban,
indah-indahnya kenangan

Sungguh tak ada damai
Jika tak ada serah

Aku menangisi kerinduan
Yang timbul tenggelam…

Rabu, 21 September 2011

Isyarat Allah dalam Proses Belajar Mengajar

Jika kita perhatikan wahyu-wahyu awal yang turun pada Rosullulah, yaitu surat Al-Alaq ayat 1-5,  surat Al Muddatstsir ayat 1-7 dan surat Ash-shu’aro ayat 214-215, ternyata ketiganya berkaitan dengan dunia pendidikan.

Pertama surat Al-alaq.

{}اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
{}خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ
{}اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
 {} الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
{}عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Artinya :
[96.1] Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,
[96.2] Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
[96.3] Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia,
[96.4] Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena.
[96.5] Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Dalam surat Al-alaq ini, kita semua diperintahkan untuk belajar. Kata ‘Iqro mengindikasikan perintah belajar. Bagaimana cara belajar? Perhatikan bahwa dalam surah ini kata ‘iqro-nya diulang. Iqro bismiroobika ladzi kholaq, …., iqro warrobukal akrom. Pengulangan kata ini memberi makna bahwa cara belajar itu harus diulang alias mesti sering. Ini mengandung arti apabila kita membaca sering, maka yang dibaca akan sulit untuk dilupakan. Jika diterapkan pada murid,  maknanya adalah murid harus sering belajar. Murid harus sering atau rajin datang ke sekolah mencari ilmu.

Pada wahyu itu pun Allah mengisyaratkan adanya proses mengajar. Di sana ada kalimat aladzi ‘alama, (yang mengajarkan). Bagaimana cara mengajar menurut wahyu ini? Harus sering! Karena di sana kata ‘alama diulang juga.  Aladzi ‘alama bilqolam, ‘alamal insana maa lam ya’lam.

Ikror (pengulangan)  kata qiroah (membaca) memberi isyarat jika kita menjadi guru, kita harus memberikan motivasi kepada murid agar rajin datang, rajin belajar. Ikror kata ta’lim (mengajar) memberi isyarat jika kita menjadi guru, kita harus rajin datang untuk mengajar.

Itulah proses belajar mengajar islami. Diulang-ulang, harus rajin. Murid rajin, guru rajin! Kalau murid rajin guru kedul (malas) maka proses tidak akan efektif. Begitu pula jika guru rajin murid tidak ada, juga tidak akan efektif. Dua-duanya harus rajin. Itu petunjuk Allah agar proses belajar mengajar  berhasil.

Lalu apa yang mesti dikuasai murid? Jika kita menjadi seorang guru, apa yang mesti lebih awal diupayakan agar dimiiki oleh murid?

Yang harus lebih awal dikuasai oleh murid adalah maharatul qiro’ah (keterampilan membaca). Membaca itu modal dasar untuk membuka ilmu. Jadikanlah murid kita pandai membaca, suka membaca. Setelah pandai membaca, murid juga harus memiliki  maharotul kitabah (keterampilan menulis). Urutan ini diisyaratkan oleh Allah dalam surat Al-alaq yang diawali dengan kata ‘iqro (bacalah) lalu diiringi dengan kalimat bil qolam (dengan pena). Artinya, keterampilan awal adalah membaca lalu keterampilan berikutnya adalah menulis. Orang yang bisa menulis itu pasti bisa membaca. Tetapi orang yang bisa membaca, belum tentu bisa menulis. Ini karena keterampian menulis lebih sulit dari pada keterampilan membaca. Dorong murid kita untuk rajin dalam menulis.

Demikian juga guru harus rajin menulis. Guru yang rajin menulis pastilah panjang umurnya. Tapi guru jarang menulis, pasti pendek umurnya. A.Hasan  itu telah wafat. Namun ketika ada masalah orang masih bisa bertanya pada A.Hasan lewat tulisannya. Artinya beliau panjang umurnya!  Tapi orang yang hanya pandai mengatakan dengan kata-kata, dengan lisan, tanpa ada tulisan, jika dia wafat, maka hilang pula ilmunya. Karena itu dorong, dorong diri kita sebagai guru untuk menulis.

Menulis itu memang bukan sesuatu yang bisa sim salabim. Perlu waktu dan ketekunan. Bagi guru, awalilah  belajar menulis itu minimal dari  bahan yang akan kita sampaikan. Tulislah rangkumannya.  Apabila bahan satu kali mengajar tersebut ditulis, bahan  berikutnya ditulis, bahan berikutnya ditulis lagi,  bayangkanlah dalam satu tahun, berapa banyak tulisan yang telah kita buat? Tiap tahun tulisan itu kita perbaiki lagi, lalu  karya kita itu disimpan di lemari agar dibaca orang. Siapapun nanti bisa mengganti kita sebagai guru mata pelajaran jika kita tidak ada, karena ilmu kita tetap ada. Apa yang kita tulis juga  bisa diteruskan oleh orang lain.

Insya Allah jka dua mahaaroh ini dimiliki, mahaarotul qiro’ah dan maharotul kitabah ilmu apapun yang tidak kita ketahui (maa lam ya’lam) akan dibuka oleh kedua kunci tersebut. Kita membaca, dari  hasil baca kita nukil, lalu kita pindahkan pengetahuan dalam bentuk tulisan, maka  menjelmalah ia menjadi  sebuah ilmu yang bermanfaat bagi orang lain. Nah, itulah isyarat-isyarat  wahyu pertama yang Allah perintahkan kepada ummat dari segi kaca mata tarbiyah pendidikan.

Terus terang diakui, bahwa di lingkungan jam’iyah Persatuan Islam, nampaknya keterampilan menulis itu tidak sebaik keterampilan menulis pada organisasi lain. Kita tahu, bahwa Kamus Al-Munawir begitu tebal, ditulis oleh pesantren Krampyak, NU. Padahal  sebenarnya potensi menulis  kita juga tinggi. Selama ini kita memang lebih banyak terjun dalam bidang dakwah  billisan. Namun, dakwah bil kitabah juga nampanknya perlu ditingkatkan. Karena itu saat ini dalam dunia pendidikan, guru didorong untuk membuat RPP. Minimal itu dapat kita pakai untuk latihan menulis.

Wahyu kedua surat  Al Muddatstsir ayat 1-7.

 {} يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ
{} قُمْ فَأَنذِرْ
{} وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ
{}  وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
{} وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ  
{} وَلَا تَمْنُن تَسْتَكْثِرُ
{}وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ
Artinya :
[74.1]   Hai orang yang berselimut,
[74.2]   bangunlah, lalu berilah peringatan!
[74.3]   dan Tuhanmu agungkanlah,
[74.4]   dan pakaianmu bersihkanlah,
[74.5]   dan perbuatan dosa, tinggalkanlah,
[74.6]   dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.
[74.7]   Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.

Wahyu kedua ini, kalau kita perhatikan berkaitan dengan perintah memberi peringatan. Orang menyebutnya dakwah, kalau dilihat dari sudut dakwah. Tapi kalau dilihat dari sudut kita sebagai guru, ini merupakan perintah untuk memberi pengajaran kepada orang lain.

Yaa ayyuhal muddatstsir,  wahai orang yang berselimut. Yang berselimut itu gambaran orang diam. Kum (bangunlah), fa’andzir (berikanlah orang lain pelajaran). Ini menunjukan perintah, “Jadilah kamu mundzir, jadilah kamu pemberi pelajaran”. Mundzir dalam bahasa pendidikan ya mudaris, mualim, murrobi, berarti jadilah guru!
Begitu hebat ayat Al-Quran. Wahyu pertama turun banyak menekankan perintah belajar. Setelah ilmu didapatkan, pada wahyu kedua kita diperintahlah jadilah guru.

Bagaimana  etika guru? Ini disebutkan dalam ayat selanjutnya.
Warrobaka fakabir. Agungkan Allah, besarkan. Guru harus bertauhid, tidak boleh sombong. Jangan ada guru sombong, takabur. Bagaimana contoh guru sombong? Salah satu indikasinya ia selalu menilai murid dengan standar kepintaran dirinya. Misal yang dites murid anak tsanawiyah tapi ia mengukur dengan pengetahuan dia sebagai sarjana. Jadilah merah terus nilainya. Itu contoh guru yang sombong, tidak memberi modal untuk murid untuk berkembang.  Jadilah guru yang yang membertikan motivasi dan dorongan. Kita tidak boleh hanya menilai murid dari satu domain saja. Jangan hanya dari segi  ma’arifi (kecerdasan) saja. Perhatikan pula segi iti’al (afektif) dan haroki (perilaku). Hal ini  karena kecerdasan hanya proses awal untuk melahirkan sisi-sisi afektif dan prilaku murid. Nah, karena itu, jadilah guru yang tidak sombong, lembut, ramah, pengasih dan pemaaf.

Etika selanjutnya adalah watsiyaabaka fa thohhir . Allah memberikan isyarat bahwa yang memberi peringatan harus membersihkan pakaiannya. Artinya, bagi seorang guru, haruslah berpakaian bersih dan rapi, memberi contoh etika penampilan yang baik untuk muridnya.

Etika berikutnya, warrujza fahjur , hindari perbuatan keji. Perbuatan buruk yang dilakukan guru, aibnya lebih besar dari yang lain. Ini karena guru adalah model panutan yang harus memberi suri teladan perilaku baik bagi murid juga lingkungan di sekitarnya.

Selanjutnya, walaa tamnun tastaktsir, jangan memberi dengan mengharap balasan yang lebih banyak. Sebagai guru kita tidak boleh meminta banyak balsan, misalnya masalah honor. Kalau kita mengharap jadi guru karena honor, terutama kita (di pesantren) maka kita rugi. Rugi, karena honor  tidak besar, pahala kosong. Pendidikan dalam konsep islam adalah investasi akhirat. Niat kita jadi guru haruslah niat ibadah. Jika ada honor kita terima, namun  niat pokok ibadah jangan hilang. Jika niat ibadah hilang nilai amal jariyah kita hilang.  Karena itu konsep islam berbeda dengan konsep barat. Dalam konsep islam, para guru yang bekerja itu istilahnya ‘mewakafkan diri’.

Etika guru terakhir dari surat ini adalah walirobika fashbir, harus bersabar. Jelas menjadi guru harus memiliki sifat sabar. Sabar dalam menghadapi anak-anak, dalam pengembangan ilmu dan dalam mengendalikan mutu. Jika tidak sabar maka sekolah pasti bubar.

Wahyu berikutnya, surat Ash-shu’aro ayat 214-215

{} وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
{} وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya:
[26.214] Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,
[26.215] dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.

Waandzir asirotakaal akrobin, memerintahkan kita untuk memperbaiki lingkungan terdekat terlebih dahulu. Lalu wahfidz janaahaka limanittaba’aka, rendahkan dirimu pada orang yang mengikutimu. Dalam dunia pendidikan siapa yang mengikuti dan diikuti jelas. Pada wahyu ini berarti guru diperintahkan merendah  diri pada muridnya. Kalau  diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, guru harus lebih awal dalam memberi salam, menyapa, memaafkan. Dengan begini akan lahir At-tarbiyah biqudwah atau pendidikan dengan tauladan. Bukankah Rasulullah memberikan contoh dengan lebih awal mengucapkan salam. Dalam berjabat tangan, tidak pernah beliau melepas tangannya sebelum orang lain yang melepasnya.

Kalau kita perhatikan tiga wahyu beriringan dalam Al-Qur’an tadi, kita dapat lihat bahwa  ketiganya berkaitan erat dengan pendidikan. Ini menunjukan bahwa islam adalah agama pendidikan. Rasullullah menyebarkan islam lewat pendidikan. Islam pun berkembang lewat pendidikan. 13 tahun pertama Rasullullah pun menjadikan rumah,darul arqom sebagai lembaga pendidikan.

(Potongan tausiyah secara lisan Ust. Dedeng Rasyidin, Pengurus PP PERSIS, saat pelantikan mudirul ‘am  PPI 138 Cikijing. Ditulis kembali dari rekaman audionya sebagai tadzkiroh, khususnya bagi saya pribadi. Semoga bermanfaat)

Sabtu, 10 September 2011

Never Ending Patient

Katakanlah :"wahai hamba-hamba yang beriman, bertakwalah pada Tuhanmu". Orang-orang yang berbuat baik di dunia akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. {Q.S. Az-Zumar,39:10}


Kesabaran bukanlah nama sebuah kejadian.
Ia adalah evolusi keberadaan sebuah kesadaran yang menyertai setiap tindakan.
Kesabaran bukanlah hal yang ada jika diungkapkan.
Ia akan hadir jika disembunyikan dibalik keikhlasan tertinggi seorang hamba.
Kesabaran bukan hanya menerima suatu keadaan.
Ia pun harus mammpu memberi dengan dihisai mulianya ketulusan.
Begitu luhurnya sebuah kesabaran hingga para nabi pun tak selalu berjubahkan kesabaran.
Betapa kudusnya kesabaran hingga malaikat pun tak selalu mampu menjadikannya sayap-sayap kuat,
dalam setiap kepakan dzikirnya.
Lalu bagaimanakah ia akan mnyentuh hamba-hamba yang dho’if…?
Yang selalu berharap kesabaran membalut dalamnya dosa dan keputusasaan,
timbul tenggelam dalam keputusan, abu-abu dan penuh teka-teki.
Wahai kesabaran…
Seberapa sucikah engkau?
Apakah sang legam tak mampu membaur bersama putihmu dalam pengharapan?
Wahai keasabaran…
Temani aku dalam penghambaan.
Dalam detak-detak jantungku yang dikejar-kejar ketakutan,
dibayangi kerinduan atau bahkan fananya kebahagiaan.
Wahai kesabaran…
Engkau bukanlah burung yang harus ku kejar untuk kumilili,
namun warna yang harus kulukis dalam kanvas hidupku jika aku menghendaki.
Wahai jiwa… Lukislah keasabaran terindah untukku.

***


Seiring perjalanan saat bertemu dengan kerasnya perjalanan hidup, ada realita yang membatasi dengan harapan, ada rintangan yang kadang membuat terjatuh dan kesakitan, ada musibah yang kadang menusuk begitu dalam. Dalam perjalanan itulah saya belajar memaknai kesabaran. Kembali merenungkan makna keberuntungan seorang muslim dalam setiap kondisi. "Bila mendapat kebaikan ia bersyukur, bila mendapat keburukan , ia bersabar". Lalu kondisi seperti apalagi yang dapat membuat seorang muslim terpuruk dalam suatu keadaan ???

Berbicara kesabaran sebenarnya bukan hanya saat kita ditimpa musibah saja. Kasabaran juga dapat diimplmentasikan secara umum dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Kadang kala kesabaran kita diuji dalam hal ibadah, ukhuwah, penunaian amanah dan proses-proses dakwah. Kadang kala juga dunia begitu menggoda dengan menarik-narik kita untuk ikut berpesta pora menjalankan kemaksiatan padaNya. Disinilah kesabaran kita diuji. Dari sini pula diketahui bahwa kesabaran ternyata berbanding lurus dengan komitmen kita terhadap Islam.

Saat dada begitu berat terasa mengahadapi pahitnya keadaan yang menimpa, biasanya kepala dingin alias akal sehat tak lagi berbicara. Sebenarnya jika dipikir-pikir, kalau musibah akan datang maka sabar atau tak sabar, musibah tetap saja akan datang. Kita hanya tinggal memilih sikap untuk menghadapi kenyataan, mau sabar atau tidak! Kesabaran adalah indikator kekuatan atau ketahanan mental seseorang. Dengan tetap bersabar seseorang akan menganggap dirinya beruntung. Hal ini berimplikasi jiwanya mendapatkan energi positif untuk meneruskan hidupnya lebih baik lagi. Jadi kesabaran seperti ini tidak mengajarkan kita menyerah dengan keadaan. Namun mengajarkan kita bagaimana bertahan dalam goncangan badai, bukan menyerah untuk tenggelam. Setelah itu membenahi diri untuk kembali berjuang !!!
Barulah kita akan merasakan, betapa indahnya kesabaran.

Kalau bukan karena kesabaran tidak mungkin tata surya begitu rapi beredar… Buat diri yang lagi diujung tanduk kesabaran. Never ending patient.


August 29th, 2007
(Ditulis ulang, Sept 10th 2011, menempa kesabaran kami yang sedang diuji)

Jumat, 09 September 2011

Di Ujung Cinta

Suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita tidur saling memunggungi
tapi jiwa berpeluk-peluk
senyum mendekap senyum

suatu saat alam sejarah cinta kita
raga tak lagi saling membutuhkan
hanya jiwa kita sudah melekat dan menyatukan
rindu mengelus rindu

suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita hanya mengisi waktu dengan cerita
mengenang dan hanya itu
yang kita punya

suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita mengenang masa depan kebersamaan
kemana cinta akan berakhir
disaat tak ada akhir.

Itu kata Anis Matta, dalam karyanya Akhir Sejarah Cinta Kita. Sangat, sangat mewakili apa yang kata orang bilang, “Ketika sudah lama menikah bukan lagi cinta yang kita punya, tinggal ada kasih sayang yang tak kurang hebatnya menyatukan dua jiwa. Bukan hilang mungkin, namun kadarnya berkurang digantikan sang kasih sayang. Ya, aku menyadarinya. Aku dan suamiku!
Kami sering berbincang tentang ‘kefanaan, tidak kekalnya cinta’. Kami sering berbincang bagaimana jika suatu saat, ia menduakanku dengan perempuan lain. Kami juga pernah berbincang bagaimana jika suatu saat, aku mampu berpaling ke lain hati. Kami sering berbincang bagaimana kami saling mengungkapkan kasih sayang jika kulit telah keriput. Dan kami sering berbincang bagaimana jika nanti kami terpisah. Aku pergi lebih dulu menghadap ‘Kekasihku’ yang lebih aku cintai, atau dia meninggalkanku dipanggil ‘Kekasihnya’ yang lebih ia cintai.

Bukan, bukan karena kami tak saling cinta. Bukan pula karena kami hanya memelihara setitik cinta. Insya Allah, cinta kami melimpah ruah saat ini. Namun kami bukanlah malaikat yang bertabiat selalu setia, jiwa kami terbagi dua antara akhirat dan dunia. Karenanya kami memahami betul bahwa hati selalu ‘berbolak-balik’. Sebentar senang sebentar lagi sedih. Sebentar cinta sebentar lagi benci. Karena itu banyak orang bilang benci dan cinta jaraknya begitu tipis.

Memadu dua jiwa tak hanya cukup dibekali cinta. Harus ada sebuah visi yang lebih jauh, lebih hakiki. Aku kadang-kadang bingung sendiri jika ditanya apa alasanku mencintainya. Padahal ia membeberkanku segala kurang dan jeleknya. Akhir kesimpulan setelah lama kucari-cari, adalah karena ‘ia suamiku’. Ya, betul ia adalah suamiku, karena itu aku mencintainya. Jika ia bukan suamiku, jika pun aku mencintainya, maka tak layak kusimpan cinta yang membara seperti yang kurasa. Aku akan melupakannya. Suami  punya hak untuk dicintai dan disayangi istrinya, begitu pun sebaliknya. Karena itu aku tak malu-malu mengakui, jika suamiku bukan dia, maka insya Allah aku akan mencintai suamiku ‘yang bukan dia’ itu seperti ini juga.

Aku kadang menjadi seorang istri yang melankolis, kadang mendramatisir besarnya cinta. Namun sungguh di atas itu semua, aku faham bahwa tak ada yang langgeng kecuali Dia. Aku mau menggombal, namun gombalan yang realistis dan tak begitu memuja kerlip dunia. Gombalan yang mampu menghangatkan cinta yang kadang membeku karena ‘lupa’. Karena itu, aku memohon pada Sang Pemilik Cinta Abadi untuk terus menjaga cinta dan kasih sayang kami berdua agar semakin kokoh. Tak tergoncang oleh riak-riak kecil, tak roboh oleh rintang-rintang besar. Aku tahu, kelak gairah cinta kami akan memudar, namun masih ada kasih sayang dan ketenangan yang menggantikan.

suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita mengenang masa depan kebersamaan
kemana cinta akan berakhir
disaat tak ada akhir.

Kami telah punya jawabannya. Di mana cinta akan berakhir. Di saat tak ada akhir. Kami ingin berjumpa sebagai keluarga di serambi surga-Nya. Tentu jika Ia berkehendak melimpahkan pengampunan atas dosa-dosa kami yang hina. Insya Allah


 09 September 2011, 8:39 am
(Setelah mencuci baju, mungpung anankku main sama tetehnya)

Kamis, 08 September 2011

Aku dan Buku (Part 3)

Aku memandangi tumpukan buku di kardus dekat rak kecil itu. Buku-buku lama setengah lusuh seperti merajuk merayuku agar kembali mengambil manfaat dari mereka. Sudah, sungguh sudah kubaca. Namun tunggu dulu! Apa, apa yang aku ingat? Apa  saja yang pernah mereka katakan padaku? Oh, sungguh payah ingatanku ini. Payah pula pertemananku denga buku. Jarang sekali aku bertegur sapa lagi dengan mereka semenjak terakhir kubaca. Kebanyakan hanya kusuruh berjejer di rak buku kecil layaknya barang sekali pakai. Bukankah buku-buku itu ibarat guru? Guru yang akan memberi ilmu terus menerus jika dibaca berulang-ulang. Tak ada ampas dari buku bekas, pun dibaca ribuan kali. Mereka terus merayuku, merajuk tak malu-malu. Mereka cemburu pada buku-buku baruku. Aih, ternyata kamu cemburu… ^_^

Aku bersyukur saat ini dapat menyisihkan uang untuk membeli buku. Sudah hampir setengah tahun semenjak keuangan kami mulai stabil, suamiku dengan senang hati mengirimku oleh-oleh buku jika pulang ke pangkuanku. Aku tak menginginkan oleh-oleh lain darinya. Aku pun diizinkannya membeli buku yang kumau dari uang yang ia berikannya padaku tiap bulan. Aku bahagia sungguh bahagia. Di tengah, upaya kami menabung untuk membangun ekonomi keluarga, aku masih diberi kesempatan untuk mendapatkan kenikmatan membeli buku yang kusuka.

Awal menikah, aku baru tahu keuangan suamiku tak begitu baik. Namun ia punya satu modal yang dengannya aku tak menghawatirkan kehidupan kami. Ia mempunyai tanggung jawab dan mampu bekerja keras (ups, tepatnya bekerja cerdas!). Apalagi ia mempunyai keahlian yang tak banyak orang memilikinya.  Ia seorang programmer yang bisa dibilang handal. Suamiku orang yang anti melamar kerja jadi PNS. Karakternya yang kreatif, ‘kurang sistematis’ dan ‘kurang suka’ diatur membuatnya benar-benar tak cocok jadi seorang karyawan dengan waktu, gaji dan tantangan kerja yang ‘gitu-gitu aja’. Awalnya ia berkonsentrasi pada bisnis warnet dan website. Namun setelah bertemu dengan patner yang tepat dalam membangun usaha, ia akhirnya membuat sebuah core banking untuk perbankan micro (semacam BPR). Dalam dua tahun setengah ini perusahaan yang mereka jalankan sudah berkembang signifikan.

Suamiku sangat senang ketika aku makin suka memamah buku. Ia ingin istrinya terus meng-upgrade pengetahuannya. Suamiku juga senang dan mendukung minatku yang makin besar ke dunia tulis menulis. Ia memfasilitasiku, meninggalkan laptopnya yang dulu untukku, membekaliku modem untuk kemudahanku online dan berhubungan dengan dunia luar. Ia mengizinkanku ikut aktif di lingkar pena dan tentu saja tak ketinggalan, ia memberiku izin membelanjakan uangnya untuk buku. Ketika ia sedang di toko buku, ia sering meneleponku untuk bertanya tentang pesanan bukuku atau maukah aku dibelikannya buku yang ia pilih.

Buku-buku bacaanku kali ini agak berbeda dengan konsumsiku sewaktu kuliah. Dulu, aku lebih suka membeli buku-buku keagamaan dan sosial politik. Kini, pilihan bacaanku lebih banyak novel, terutama novel yang berbau sejarah dan budaya. Mungkin ini karena pengaruh kebutuhan dan lingkungan. Kebutuhanku dulu seputar pengetahuanku sebagai seorang mahasiswa yang lumayan aktif dalam salah satu pergerakan mahasiswa islam dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) kampus. Kini sebagai seorang ibu, bacaanku lebih ringan dan menyenangkan.

Menulis. Menjadi seorang penulis buku adalah keinginku selanjutnya. Tahukah kamu, sebenarnya kebiasaanku menulis dimulai sejak SD. Sudah pernah kuceritakan bahwa aku suka menyalin dan merangkum materi di buku cetak ke buku catatan. Tapi yang ini belum kuceritakan. Kisahku bahwa dari mulai kelas empat SD aku sudah mulai gombal-gombalan berkirim surat cinta dengan ‘cinta monyetku’. Hemmm…, setiap hari bertemu tapi sering berkirim surat, lucu sekali aku (masih inget ga ya, dia, hehe…).  Namun sayang, setelah surat-surat cintaku itu ketahuan kakakku, aku malu luar biasa. Kubakar sudah koleksi surat cintaku itu. Dulu, aku juga punya sahabat pena yang kini tak tahu dimana rimbanya. Kesenanganku dalam berkirim surat tulisan tangan  masih kubawa sampai awal-awal kuliah.

Ada lagi kebiasaanku menulis diari yang sudah kumulai saat Tsanawiyah. Namun sayang pula, diariku selalu berakhir tragis. Kadang kusobek, kadang kubakar. Entah kenapa, aku selalu tak nyaman ketika membaca ulang kisah hidupku begitu nyata. Saat aku menyukai sesuatu atau saat aku membenci sesuatu. Aku merasa canggung menyebut sebuah nama dalam diariku. Terasa terlalu vulgar bagiku. Ada juga rasa khawatir jika diariku itu dibaca orang dan aku menjadi malu seperti ketika kakakku mendapatkan surat-surat cintaku. Akhirnya saat kuliah, aku menulis curahan hatiku dengan gaya lain. Aku menulis semacam prosa atau puisi. Curhatku berupa simbol-simbol kata yang tak mudah dimengerti kebanyakan orang. Saat aku marah, saat aku senang, saat aku melakukan sesuatu yang kubenci, saat aku rindu atau mengharapkan seseorang, atau saat semangatku membara untuk memberi. Kuungkapkan semuanya dalam bahasa kiasan yang sepertinya hanya aku yang mengerti.

Aku mulai menulis untuk publik saat bersama teman-teman menggagas sebuah buletin untuk unit kerohanian islam di kampus kami. Amani namanya, masih lekat rasanya di hati. Buletin ini masih ada sampai aku lulus, masih terus diwariskan. Entah sekarang, bagai mana kabarnya. Selanjutnya aku dan teman-temanku juga menggagas buletin untuk BEM di kampus kami. Pijar, namanya. Tapi Pijar tak seawet Amani. Sayang dokumentasiku tak begitu baik. Hanya beberapa yang tersisa dari Amani dan Pijar yang kini masih bisa kubaca ulang. Di luar itu, aku menulis hanya sesuai moment dan kebutuhan. Menulis artikel untuk kegiatan, lomba atau sekedar tugas. Aku memang pernah memenangkan lomba essai di lembaga keislaman tingkat kampus dan pernah juga menang karya tulis Aktuaria (padahal aktuariaku dapet C. He…) Namun saat itu aku belum berfikir menjadi seorang penulis. Menulis hanya sebuah kebutuhan insidental.

Semangat menulisku memang baru menggebu saat aku ikut aktif di FLP Majalengka. Walaupun baru dan belum menghasilkan banyak karya, namun kami yang ada di dalamnya sudah ber-azzam kuat untuk terus produktif menghasilkan karya. Kami saling menyemangati dan saling mendukung. Meski begitu, aku tak mau terburu-buru. Let I do it slowly but surely. Aku masih harus mengurus beberapa urusan rumah. Aku masih harus banyak bermain dengan anakku yang ada sedang dalam golden age-nya. Aku juga masih ingin memberikan yang terbaik untuk murid-muridku dalam bidang studi matematika. Ya, aku tak mau ada yang dikorbankan karena hobi dan impianku ini. Aku ingin semuanya lengkap walau tak mungkin sempurna.

Aku ingin menuangkan semua yang ada di dalam benakku. Aku ingin memberi manfaat dari apa yang kutulis dan aku ingin anak cucuku nanti dapat membaca karyaku nanti.  Namun tentu sebelum membuat buku aku harus banyak melahap buku. Kata seseorang yang menjadi salah satu inspirasiku, “Hanya orang gila yang berfikir ia akan mampu membuat buku tanpa banyak membaca buku”.

Memang koleksi bukuku kini masih sangat sedikit. Namun aku sangat senang bisa menambah ilmu, bisa menabung ilmu, bisa membagi ilmu dan bisa mewariskan ilmu  lewat buku. Suatu hari nanti di rak bukuku akan ada karyaku sendiri. Dan aku bisa tersenyum memandangnya.

08 Seotember 2011, 5:17 Pm
(Mungpung anakku bermain sama abahnya)

Rabu, 07 September 2011

Aku dan Buku (Part 2)

Ribuan buku yang di pajang di rak-rak toko buku itu dengan congkak berkacak pinggang. Mereka mencibirku, “Halah kamu, De. Paling kesini cuma lihat-lihat saja,kan? Raba kantongmu itu! Mana ada uang buat memboyong kami pulang.” Aku menunduk lesu. Batinku mengiyakan. Sebagai seorang mahasiswa dengan uang saku pas-pasan aku memang pelit berbelanja buku.

Aku bukan orang kaya yang berada, aku juga bukan orang miskin yang tak punya. Saat aku kuliah, ayahku sudah tak lagi menjabat sebagai kepala desa yang selama tiga periode berturut-turut didudukinya. Ibuku seorang ibu rumah tangga biasa. Pemasukan mereka andalkan dari hasil panen enam bulan sekali yang kadang habis sebelum tiga bulan. Dulu, saat pabrik penggilingan padi kami masih bekerja, setiap harinya ibuku mendapat pemasukan lumayan untuk hidup sehari-hari. Namun setelah sang pengolah pabrik kepercayaan meninggal dunia, pabrik sepi. Kurang dikelola secara baik dan tentunya kalah bersaing dengan pabrik lain yang memberikan pelayanan ekstra.

Ayahku yang kini menikmati waktu tua merawat kolam dan kebun, kadang kala dapat pemasukan dari hasil penjualan ikan, buah atau pun pepohonan di kebun kami. Sebenarnya ayahku memiliki banyak tanah yang untuk ukuranku jika diolah dengan baik akan menjadi sumber penghasilan yang ‘subhanallah’, lebih dari cukup untuk menutup semua pengeluaran hidup. Namun sayang, tanah tersebut tidak dikelola dengan baik. Menurutku malah, ongkos yang dikeluarkan untuk merawat tanah (kolam dan kebun) tidak sebanding dengan penghasilan yang di dapat.

 Walaupun sudah tak punya penghasilan tetap, namun tekad mereka untuk mengkuliahkan aku dan kakak-kakakku tetap bulat. Untungnya kakakku yang lain sudah lumayan sukses dan mandiri dan tentu saja menyokong kebutuhan kuliahku dan kakakku yang ke-6. Saat itu memang tinggal kami berdua yang kuliah. Kakakku kuliah di Yogya, dan aku kuliah di Purwokerto. Sebagai seorang adik yang pemalu dan ga enakan, aku tak pernah meminta uang secara langsung pada kakak-kakakku. Praktis, aku meminta biaya hidup hanya pada ibuku. Walaupun begitu, ibuku yang seringkali dompetnya tak berpenghuni meminta kakakku mentransfer uang untuk biaya hidupku.

Tahu secara persis bagaimana kondisi keuangan orang tuaku, maka aku tak pernah berbelanja semaunya dengan uang kiriman itu. Aku tahu, bagaimana ibuku dengan pusing memutar otak. Walaupun dengan  colek sana, colek sini, ia selalu menyediakan uang jika aku pinta. Makanya aku tak meminta uang sebelum aku tak memegang uang sama sekali di kantongku. Aku bahkan bisa mengingat bahwa selama empat setengah tahun kuliah, aku hanya membeli sebuah rok coklat, sebuah kaos panjang putih, tiga buah kerudung hitam dan dua buah tas berwarna coklat. Barang-barang lain yang kupakai adalah hasil warisan atau hadiah dari kakak-kakak dan saudaraku. Untunglah aku adalah orang yang cuek masalah penampilan.

Buku, buku adalah satu-satunya yang ingin aku dapatkan, jika aku punya kelebihan uang. Namun tahukah kamu, buku yang kudapatkan pastilah buku-buku tipis saja, sesuai dengan harga kantongku tentunya. Ingin sekali rasanya, aku meminta uang untuk sekedar membeli buku-buku tebal yang seringkali banyak disarankan orang. Namun aku adalah orang yang sangat sensitif, tak tega pada ibuku. Aku ingat ibuku pernah memarahiku karena aku ketahuan berpuasa daud di awal semester satu dan dua saat kuliah. Bukan karena tidak boleh, ibuku khawatir itu adalah caraku untuk menghemat pengeluaran. “Kalau bekal kurang, bilang sama Mimih,” katanya. Namun bukan itu tentu saja alasan aku berpuasa. Dan tidak semudah itu tentunya menyimpan telapak tangan dibawah untuk meminta tambahan uang. Sungguh, aku tak tega! Aku sempat iri pada kakakku yang mampu mengkoleksi banyak buku. Aih, dari mana ia bisa menyisihkan banyak uang seperti itu? Apa karena ia tinggal di Yogya, banyak toko buku sangat murah? Apa karena ia dekat dengan kakak keduaku di Klaten dan dapat tambahan uang? Padahal aku tahu, aku lebih mengirit membelanjakan uang dari pada dia. Tapi aku menepuk diri, mungkin akulah yang tak pandai menyisihkan uang lebih.

Untunglah, untung. Di Purwokerto aku memiliki teman-teman yang punya banyak koleksi buku. Aku juga lumayan rajin mencari artikel, jurnal di internet yang sedikit mampu mengatasi kehausanku akan membaca buku. Aku juga sadari, karena irama hidupku yang sibuk berorganisasi waktu itu membuatku sedikit melupakan buku. Kalau mau disebutkan, tentu di atas semua keterbatasan masih banyak yang bisa kumanfaatkan. Perpustakaan universitas misalnya. Walaupun agak tidak berselera melihat buku-buku kucel agak berdebu, namun bukankah pada dasarnya mereka tetap mutiara ilmu. Dasar, sungguh dasar! Akulah yang terlalu. Aku memang pernah merasa tenggelam di lorong-lorong antara rak buku di perpustakaan itu. Membayangkan betapa maboknya aku jika semua ilmu yang ada di buku itu aku santap.  Tapi aku akui, saat kuliah aku sangat jarang sekali ke perpus sana. Aku lebih asyik berdiskusi dalam rapat dan meminjam buku teman seadanya.

Namun di hati hati kecilku tetap saja. Membeli buku saat itu, seperti keinginan orang-orang yang memperhatikan penampilan, ingin membeli baju baru yang modis, tapi tak punya uang. Kasihan sungguh kasihan.

Aku meraba kantongku dan menunduk lesu di depan toko buku. Batinku berikrar, suatu hari, aku akan memboyong mereka, satu demi satu. Memindahkan mereka ke rak buku di rumahku.

07 September 2011
(Menunggu anakku bangun pagi, tak biasanya siang begini... ^_^)

Selasa, 06 September 2011

Aku dan Buku (Part 1)

Sudut kamarku itu memancing perhatian. Beberapa buku di atas lemari melambai-lambai menagih haknya untuk dibaca. Kadang-kadang mereka juga menjulurkan lidah, mencibir dan mencemoohku, “Dasar payah kamu, De. Kapan kamu santap kami? Gimana mau nambah referensi kalau kamu payah gitu dalam membaca.”  Fuih… Betul-betul malu aku malu pada diriku sendiri. Aku boleh banyak beralasan ini dan itu. Namun dengan mendaftar alasan-alasanku, aku malah makin terpojokan bahwa tak ada alasan untuk menyia-nyiakan hidangan selezat bacaan-bacaan itu. Aku tergugu. Tunggulah tunggu, aku hanya menunggu waktu tak mungkin aku mencampakanmu.

Tahukah kamu, dulu…, dulu saat aku masih SD, aku suka buku. Buku-buku pelajaran tentunya, karena di tempat seperti desaku tak ada referensi lain selain buku-buku cetak yang didapatkan di sekolah. Aku senang membaca buku-buku  yang banyak gambarnya itu. Sampai sekarang aku bahkan masih teringat sebuah buku pendidikan agama islam yang menerangkan tentang masalah pembatal sahnya sholat. Dalam bab itu, materi tersebut diilustrasikan dengan gambar beberapa orang yang tengah sholat. Yang pertama seorang wanita yang tengah sholat namun tangannya kelihatan sampai lengan atas, yang kedua sholat, namun tampak sedang mengobrol dengan teman disampingnya dan yang ketiga seorang laki-laki berkopiah yang sholat sambil mengulum es krim di mulutnya. Ck...ck..., sungguh gambar yang kocak jika aku mengingatnya sekarang. Namun dulu, itu adalah materi yang menarik untukku, sungguh menarik hati.

Aku suka membaca dan menulis. Setelah buku itu kubaca, kadang-kadang buku-buku cetak itu aku ringkas di buku catatanku. Ini kebiasaan yang ternyata aku bawa sampai Aliyah, yang ternyata juga mampu mengirit pengeluaranku untuk membeli buku. Tak hanya sampai menulis catatan punyaku, akupun senang, benar-benar senang dan dengan senang hati dan tanpa beban jika teman-temanku memintaku merangkumkan sebuah materi di buku catatan mereka. Aku bersyukur telah dimanfaatkan. Mungkin karena kebiasaanku ini juga, aku lebih mudah menangkap dan mengingat pelajaran sekolah.

Masih ketika SD, satu-satunya variasi bacaan yang pernah kukenal adalah perpustakan mini –bahkan sangat mni- milik sekolahku dulu. Begitu lekat dalam ingatanku saat aku membaca buku tentang tata surya. Buku itu tentu sangat menyedot perhatianku karena dari dulu aku begitu suka dengan yang namanya ‘bintang’. Saat itulah aku tahu, dan sampai saat ini pengetahuanku tak pernah luput dari ingatanku, bahwa semua bintang seperti makhluk hidup yang lain. Mereka lahir, tumbuh berkembang dan suatu hari akan mati. Matahari contohnya adalah bintang yang masih terus berkembang. Ia akan terus membesar bahkan akan menelan orbit bumi. Waw…, tentu bumi akan tamat saat matahari membesar seperti itu. Makin lama, setelah matahari makin besar, ia akan kehabisan energinya dan akhirnya menciut menjadi bintang mati. Yang tersisa adalah masanya yang berat dan kelak akan menyedot banyak benda di luar angkasasana. Aku bahkan mengira bahwa yang orang namakan sebagai ‘black hole’ atau lubang hitam di ruang angkasa adalah bintang mati.  Itulah pengetahuan yang aku dapatkan di kelas 3 SD. Begitu melekat dalam ingatanku. Aku tak habis pkir, jika saja ada perpustakaan yang lebih besar, mungkin lebih banyak kenangan masa kecilku dengan buku-buku itu.

Beranjak ke Madrasah Tsanawiyah, makin banyak koleksi buku yang kubaca, karena perpustakaan di sekolahku itu lumayan lengkap. Namun karena kaget dengan sistem belajar yang berbeda dari SD yang rasanya cuma ‘main-main’ saja dengan di Tsanawiyah yang lumayan serius, maka aku lebih fokus dengan buku-buku pelajaran sekolah. Selain itu, aku lebih menyibukan diri dengan kegiatan-kegiatan ekstra yang lumayan menyedot waktu dan perhatian. Satu-satunya bacaan di luar buku pelajaran yang aku santap saat itu adalah majalah remaja ‘An-Nida’ milik kakakku yang kala itu sudah sekolah di sebuah SMA di kota Majalengka. Otomatiis aksesnya mendapatkan buku lebih mudah. Ketika pulang ke rumah, ia selalu membawa majalah-majalah tersebut. Dan aku menikmati majalah gratis tersebut dengan senang hati.

Beranjak Aliyah, ritme bacaanku tak jauh beda dengan saat Tsanawiyah. Namun kini aku mulai membuka diri dengan bacaan-bacaan yang lumayan serius. Misalnya aku kadang mengintip bacaan bapakku, majalah Risalah, Bina Dakwah dan beberapa majalah komunitas Persatuan Islam yang lain. Lalu aku pun mulai agak bosan dengan majalah remaja dan mulai memilih majalah Sabili yang terkenal dengan isu-isu radikalnya. Kebetulan waktu itu ada agen yang menawariku berlangganan majalah. Waktu ditawari majalah An-Nida yang sebenarnya masih cocok untuk anak seusiaku, aku menolak dan meminta majalah Sabili saja. Saat itu aku menyisihkan uang jajanku untuk membelinya. Maklumlah maklum, aku tak pernah mempunyai uang lebih untuk anggaran yang lain kecuali kebutuhan sekolah dan jajan seadanya.

Suatu ketika, saat aku tahu bahwa seorang saudara (yang kelak ternyata jadi kakak iparku) mempunyai koleksi buku yang sangat banyak, akupun sangat girang dan bersemangat meminjam buku-buku yang sesuai dengan inters-ku. Apalagi adiknya adalah teman ngaji dan adik kelasku di Aliyah, jadi meminjam buku padanya amatlah mudah. Satu lagi, sumber pinjaman bukuku berasal dari seorang guru ngaji yang ternyata hanya tinggal beberapa tahun saja di tempatku dengan berbagai alasan. Dari sanalah aku berkenalah dengan buku-buku agak tebal dan berbobot. Saat itu pula permulaanku mengenal gerakan-gerakan islam, salah satunya adalah ‘Ikhwanul Muslimin’. Buku-buku memoar Hasan Al-Bana misalnya banyak menginspirasiku. Walau aku tak tahu persis apa yang paling kuingat dari buku itu seperti aku mengingat tentang tata surya di SD dulu. Yang lebih penting dari buku itu, adalah spirit perbaikan dalam diriku. Spirit untuk terus menjadi lebih baik.

Sudut kamarku itu memancing perhatian lagi. Beberapa buku di atas lemari melambai-lambai menagih haknya untuk dibaca. Mereka makin parah mencibir dan mencemoohku, “Dasar payah kamu, De. Kapan kau santap kami.“ Fuih… Betul-betul malu aku malu pada diriku sendiri. Aku tergugu. Tunggulah tunggu, aku hanya menunnggu waktu tak mungkin aku mencampakanmu.

6 September 2011, 01.05 p.m.
(Ditulis dadakan saat anakku tidur siang dan aku belum cukup lelah untuk menamaninya tidur)