Rabu, 23 Februari 2011

Jika negeri ini...

Jika negeri ini punya orang baru,
Akan tergantikan semua bosan
Jika negeri ini punya visi baru,
Akan tergantikan semua stategi
Jika negeri ini punya ruh baru,
Akan tergantikan semua peradaban
Jika hanya ‘jika’..
Tak kan trgantikan apapun juga !

Jumat, 18 Februari 2011

Qona'ah

Kita telah lupa nikmatnya duka
Karena dimanjakan suka
Resah itu ada,
karena keinginan untuk positif jika negatif
Lalu,
ditambahkan padanya nikmat
Namun tak cukup walau luka telah tertutup
Ia menginginkan dua jika satu, tiga jika dua
seribu jika seratus !
Ya Rabb…,
Cukupkanlah pada kami duka jika kami dibuatnya tawadhu
Cukupkan kami nol dengan qona'ah padamu
Karena berjuta nikmat tak cukup tanpa berkahmu... 

Kamis, 17 Februari 2011

Membaca Nada

Sebagian kecil orang dilahirkan sangat sentitif. Bagi mereka memperhatikan hal-hal yang kecil bukanlah suatu keisengan bukan pula merupakan kewajiban yang harus ditunaikan. Bagi mereka memperhatikan hal-hal kecil adalah sesuatu yang naluriah, alami dilakukan.
Aku kadang-kadang merasa menjadi salah satu dari mereka. Ini aku simpulkan setelah memperhatikan gerak-gerik kecilku saat ‘memperhatikan’ sesuatu. Aku dengan otomatis sering menghitung berapa pasang baju yang kucuci, sehingga aku juga tahu berapa gantungan baju yang harus aku sediakan untuk menjemur. Aku bisa tahu siapa yang membuka pintu walaupun mereka datang tanpa sepatah katapun. Aku bisa tahu motor atau mobil siapa yang datang, tanpa harus membuka tirai rumahku. Begitupun aku bisa mengetahui dan membedakan siapa yang memukul mangkuk untuk memanggil para pembeli, apakah itu tukang bakso, tukang siomay, tukang bubur kacang atau tukang bubur ayam.
***
Treng… terng… treng… treng…treng…treng…treng… treng...…
“Mi, bubur” kata Gaza sambil menarik-narik ujung bajuku.
Aku tersenyum dan berkata, “Bukan yang itu sayang. Itu bubur kacang. Dede kan makan bubur ayam”
Bagaimana aku bisa yakin bahwa yang berada di depan rumahku adalah tukang bubur kacang? Begini ceritanya…
Sebenarnya mang bubur kacang itu pernah lama menjadi langgananku. Seingatku saja, saat aku TK ia telah menjadi tukang bubur, dan aku adalah salah satu pelanggan setianya. Hampir setiap hari aku menyiapkan mangkuk dan meminta uang pada ibuku untuk membeli bubur kacang kesukaanku itu. Namun seiring perkembangan ‘zaman’, aku pun mulai bosan. Menginjak SD tidak setiap hari lagi aku mengkonsumsi bubur. Kadang-kadang bubur, kadang-kadang nasi goreng, atau kalau kebetulan ibuku sudah beres memasak, diberilah aku nasi putih yang masih mengepul. Frekuensi makan bubur kacangpun semakin berkurang sampai akhirnya aku betul-betul meninggalkan mang bubur kacang itu saat aku kuliah.
Setelah selesai kuliah dan mempunyai anak, konsumsi bubur kacang pun terganti dengan bubur ayam. Selain anakku memang biasa makan bubur ayam pagi-pagi, ia juga tidak begitu suka makanan yang manis. Jadilah bubur kacang tak pernah kulirik lagi. Namun sebagai insan beriman tentu aku masih ‘melirik’ mang buburnya, untuk setidaknya tersenyum jika berpapasan dengannya.
Banyak orang mengira pasti aku tahu bagaimana cara mang bubur kacang memukul mangkuknya karena begitu lama dan seringnya ia lewat depan rumahku. Namun menurut penyelidikan yang kulakukan, hipotesis seperti itu kurang tepat. Walaupun ada korelasinya pastilah dengan r=0,01 saja (orang statistik pasti ngerti maksudnya, he..,).
Aku melihat suatu hal yang berubah dari mang bubur kacang dari waktu ke waktu. Umurnya mungkin kira-kira sudah menginjak 50 lewat. Dan dengan pasrah ia rela menjadi tukang bubur dan menjalani hidup yang sama selama kurang lebih 20 tahun. Keriputnya mulai terukir jelas, pipinya sudah menggelambir, matanya sudah mulai keruh, dan pastinya tenaganya sudah tak sekuat yang dulu lagi. Hal ini berbanding terbalik dengan konsumennya yang makin hari makin meninggalkannya seperti aku ini. Lagi pula tidak seperti dulu, saat ini banyak sekali saingan tukang bubur kacang yang berlalu lalang. Dulu seingatku, ia bisa pulang sekitar jam 10-an. Namun sekarang sering kusaksikan ba’da dzuhur gerobak tuanya (walaupun sudah dicat) masih nongkrong di depan sekolah tempatku kini mengajar.
Menurut pengamatan pribadiku, mengapa aku sampai bisa membedakan cara mereka memanggil pembeli adalah karena caranya memukul mangkuk dengan nada kurang sabar, ada sedikit nada permohonan, ‘ayo beli, kumohon, cepatlah...’, dan ada sedikit nada prustasi. Nada yang ia buat adalah nada yang kencang dan agak kasar dan ia memukul mangkuk sangat lama. Beda misalnya dengan tukung bubur ayam yang memukul mangkuknya dengan nada santai dan hanya beberapa kali saja, yang kurang lebih nadanya berkata begini ‘aku sudah di depan rumah, mau beli ga, hari ini?’
Caraku seperti ini aku sebut dengan membaca suasana hati dengan nada. Aku sendiri percaya nada-nada yang dibuat seseorang lewat pukulan tangannya, langkah kakinya, caranya membuka pintu, caranya mengemudikan mobil/motor, membunyikan klakson, dan lain sebaginya bisa dipakai untuk dapat membaca kondisi bahkan karakter seseorang (wekh… so tahu banget ya…?!!)
Percaya atau tidak memang itulah yang membuatku bisa mengenali mereka. Wallahu’alam…

Rabu, 16 Februari 2011

Di Ujung Senja

Aku merasa muda
Seperti sesaat saat mentari baru dilahirkan di timur bumi
Merasa masih berjarak sangat dengan senja
yang menenggelamkan mentari dibarat bumi
Tak merasa akan terasa mati
Hidup senang dengan cicip mencicipi
Memanjakan diri,
Bernyanyi menari-nari,
Pamerkan lugu yang tak layak lagi
Aku merasa tetap, tak ubah
Hingga tanggalkan dewasa
Layak selalu jenaka tanpa beban nestapa uban dunia

Oh…, betapa dunia merias kewajiban
Membungkusnya hanya untuk irisan hidup di ufuk senja
Betapa dunia menipu,
Menimangku menjadi manusia yang selalu muda

Senin, 14 Februari 2011

Guru Bau Kencur (Part 2)

Ah…., gila. Dunia pendidikan yang sangat kucintai ini, kini hampir 180 derajat berubah menjadi dunia yang kubenci.
“Aku mau jadi seorang guru” kataku tegas pada saat salah seorang teman kuliahku yang bertanya dalam sebuah acara perpisahan angkatan kami dulu.
Ia tersenyum “ Kau tahu tidak, diurutan mana korupsi menempatkan dunia pendidikan”
Aku hanya mengagguk, pura-pura tahu data secara faktual.
“Jadi kamu serius mau jadi guru?”
“Iya”, jawabku. “Bukannya Indonesia perlu guru yang bervisi macam aku, heh?” Ia tersenyum, mungkin yakin akan tekadku.
“Pa Ganjar, ko bengong aja” suara seorang wanita membuyarkan lamunanku.
“ Ayo udah mau bel masuk. Nanti Pa Ganjar terlambat ngajar, lo”
“Oh…, iya bu Irma” kataku sambil mengikuti langkah kakinya menuju ruang guru, kantorku. Ah…, benarkah orang-orang yang kuhormati seperti Bu Irna, Pa Hambali, Pa Yoga, Pa Harits, Bu Septi, Pa Alan dan yang lainnya juga menerima kondisi ini tanpa beban. Kenapa mereka bisa seperti itu?? Aku tak habis pikir. Sejauh mana nurani meraka? Atau jika mereka menolak sejauh mana keberanian mereka?
“Gimana Pa Ganjar, udah berfikir” Pa Bagus tiba-tiba ada di depan meja kerjaku sambil tersenyum menyeringai. Di mataku wakil kepala sekolah itu kini berubah menjadi makhluk berwajah merah, bertaring panjang dan bertanduk. Persis yang digambarkan film-film setan zaman sekarang.
“Belum”, jawabku tegas dan langsung mengalihkan pandangan, pura-pura merapihkan buku-buku di atas mejaku.
“Sebaiknya secepatnya, bukankah tidak sulit??” katanya sambil tertawa kecil, ia kemudian berbalik pergi dan sebelum ia membalik badannya masih kulihat senyum sinisnya yang menyebalkan.
Ingin sekali kucekik lehernya dari belakang. Tapi itu cuma ada dalam imajinasi. Tentu saja aku masih waras, masih bisa berfikir jernih.
Tiba-tiba kepalaku pening, pandanganku kabur, kepalaku berat dan perutku rasanya dipelintir. Ah…, mungkin ini karena aku tidak bisa makan dari kemarin, Istriku sudah memperingatkan darah rendahku. Aku juga tidak bisa tidur semalaman hanya karena memikirkan persoalan kecil ini. Persoalan kecil untuk mereka, namun sangat besar hingga menindih dadaku yang makin sesak.
Ah…, aku terhuyung dan menjatuhkan kepala dan sebagian besar berat badanku ke atas meja. Nihil, itu tidak membuatku lebih baik. Kucoba mengambil teh manis yang selalu disuguhkan Mas Sholeh tiap pagi di meja-meja para guru. Namun pandanganku semakin kabur dan tak tahu kemana kuarahkan tanganku,
“Prang…”, tanganku malah mendorong gelas hingga jatuh ke lantai.
“Pa Ganjar?”
Suara Pa Harits, guru Ekonomi sayup-sayup kudengar.
“Bapak sakit yah? Kenapa masuk sekolah kalau sakit, biar saya antar pulang ya pa. Kebetulan saya baru masuk jam ke 3 nanti. “
Aku tidak mengiyakannya, yang pasti aku sudah tidak punya tenaga, untuk menolak tangan-tangan yang memapahku memasuki sebuah mobil kijang kotak tua. Mobilnya pa Harits.
Apa yang terjadi dengan diriku, selemah inikah diriku. Atau karena aku memang masih hijau seperti yang dikatakan pak Hambali. Lalu apakah aku akan berubah menjadi matang dan membusuk karena mengikuti gaya mereka. tidak, tidak. Aku adalah guru yang hebat. Aku sudah membayangkannya dari saat aku kecil. Aku adalah guru yang sangat cerdas, dan berkompeten di bidangku. Aku adalah guru bervisi, bermoral, yang tak hanya akan mengajarkan anak-anak  didikku masalah hukum-hukum kimia, tapi juga mengajarkan mereka arti hidup di dunia, untuk apa hidup, dan bagaimana seharusnya hidup. Aku tak akan membiarkan diriku menghina diri sendiri seperti yang mereka inginkan. Seketika mataku terbuka.
“Pa Harits, maukah anda mengantar saya kembali ke sekolah, ada yang tertinggal. Kataku setengah berbisik.
“O…, ya pa, bisa-bisa, kita belum jauh ko, apa yang ketinggalan Pa?  tasnya sudah saya bawakan tuh!”
“Ada yang tertinggal di ruangan Pa Bagus.”  jawabku. Pa Harits membalik arah mobilnya yang kira-kara baru berjarak satu kilo dari sekolah, kembali menuju sekolah.
“Sudah sampai, Pa” Perlu bantuan untuk turun? “
“Tidak usah, terima kasih”, jawabku pelan. Dengan lunglai kulangkahkan kaki ke ruang wakil kepala sekolah. Langkah demi langkah kakiku makin kuat dan yakin. Ku ketuk pintu dengan pelan, namun kasar, begitu  tak sabar.
”Masuk”, kata sang pemilik ruangan tegas.
Kubuka pintu dengan tak kalah kasar dan berusaha berdiri tegak di depan mejanya.
“Saya menolak mentah-mentah tawaran anda, Pak” . Aku bicara kencang dan cepat-cepat seperti ingin menghemat waktu berada diruangan ini. Walaupun ber-AC, rasanya aura panas sangat terasa disini.
“Oh…, saya kira anda butuh waktu berpikir karena tak bisa menolak tawaran hebat saya mentah-mentah” , katanya sambil tersenyum sinis. Tapi dia tak berhasil menyembunyikan kekagetannya.
“Proyek itu 99% hampir gol, saya yang berusaha keras untuk mendapatkannya. Dana proyek itu murni untuk pembangunan dan pengadaan peralatan laboratorium”
“Kau kira kita tak perlu dana operasional”, katanya setengah berteriak.
“O…, dana operasional tidak akan menghabiskan lebih dari separuh dana yang akan di dapatkan sekolah ini”
“Pak Ganjar sebentar, saya penanggung jawab proyek ini. Tolong anda  jangan terlalu naïf ya !” Pak Bagus bangkit dari kursi empuknya. Berpose menantang, semakin memamerkan buncit perutnya.
”Sepertinya anda tidak tahu tradisi di sekolah ini, ya??”
“Tradisi macam apa? Mengambil uang yang bukan hak anda. Apakah anda masih terlalu miskin hingga dana yang harusnya dipakai untuk kepentingan pendidikan anak-anak anda lahap juga”
“Tutup mulutmu, aku sudah berbaik hati, menawarkan bagian baik-baik padamu dan pada orang-orang yang ikut berkepentingan dalam proyek ini”
“Saya ingatkan, Pa. Saya ketua proyek, saya yang berhak mengatur mau seperti apa proyek ini”
“Hah…, kau berani juga ya, kau tahu aku bisa dengan mudah memindahkanmu ke sekolah lain yang jauh dan kumuh. Kau sudah kujadikan kepala laboratorium, kau tak mau berbalas budi, heh?”. Matanya melotot, gigi nya gemeretak. Kurasakan dia benar-benar marah ditantang anak kecil seperti aku.
“Maaf, Pa. saya memang baru 2 tahun lewat disini, namun  saya kira saya cukup kompeten untuk menjadi kepala lab di SMU favorit ini. Bukan karena kekuasaan anda. Ok, saya kira sudah jelas semuanya”. Aku berbalik ke pintu.
“Hei…, tunggu, apa yang bisa kau lakukan anak bau kencur, melapor kepada kepala sekolah? Ia sudah tua dan sakit-sakitan tahu, dan aku adalah orang kepercayaannya. Kau tak punya teman yang berpengaruh disini!”, katanya mengingatkan kelemahanku.
“Maaf, dengan sangat menyesal, saya tidak bisa membocorkan stategi menangkap maling pada maling, Pa.”  jawabku puas tanpa membalik badan.
“Hei.., apa kau minta bagian lebih?”
Over my dead body, old men !” gerutuku sambil membanting pintu. Seketika kurasakan udara segar menyeruak menyambut paru-paruku.
Pa Harits masih berdiri menungguku di depan mobilnya.
“Pa Ganjar…” . Tiba-tiba sebuah tangan kasar memegangku lembut.
Aku berbalik.
“Hei, pak Hambali.” Jawabku ringan.
“Pa Ganjar, kau yakin dengan keputusanmu, ini perang namanya. Sampai saat ini belum pernah ada yang bisa mengalahkannya. “
“O.., begitu, kita lihat saja, Pak. Saya masih sangat muda, masih menang tenaga untuk berperang”.
“Hah, kau ini keras kepala, ya sudah saya  mendo’akan keselamatanmu.”
Aku tersenyum kecut, aku tak butuh tukang do’a yang munafik, pikirku.
 “Saya juga sudah bosan menerima uang tutup mulut hanya karena saya tahu transaksi-transaksi kotor itu. Tapi demi Allah, Nak, Bapak tidak pernah memakan uang haram itu, uang itu biasanya Bapak sumbangkan ke pengurus Mesjid”
Langkahku terhenti dan berbalik menatap matanya. Ada kejujuran dibalik mata beningnya yang mulai keruh.
“Bapak hanya ga mau kehilangan patner seperti kamu, anak muda yang bercita-cita mulia menjadi sebenar-benarnya pahlawan tanpa tanda jasa.” Aku tersenyum lalu meneruskan langkahku.
Sejenak aku terhenti, dan kembali berbalik, “Pa.., kata bapak semua orang terlibat?”
Ia terkekeh, “He…, maksud saya semua tikus terlibat, Nak. tenanglah masih banyak guru-guru yang tulus”
Ah aku bernafas panjang … lega rasanya mendengarnya.
“Pulanglah, istirahat, kumpulkan kekuatannmu”
Aku mengangguk, lalu berbalik menuju pak Harits yang setia menungguku dengan cemas.
“Mana yang ketinggalan??”
Katanya bingung karena aku tidak membawa apapun.
Aku tersenyum padanya, menyadari bahwa pak Harits termasuk guru yang begitu tulus, dan tak tahu permainan-permainan kotor yang ada di stuktur sekolah. Ia guru yang lugu, tak tahu apa-apa meski usianya di sekolah ini jauh lebih tua dariku. ***

Sabtu, 12 Februari 2011

Inspirasi Hari Ini..

Ibarat mendapatkan angin sepoi-sepoi saat udara panas mendera, begitulah saat aku menyaksikan anak-anak berprestasi ditengah kekisruhan multidimensi yang ada di negeri ini. Anak-anak ini membuatku bahagia, bangga, sekaligus malu. Bahagia karena mengetahui masih banyak titik-titik cahaya yang melahirkan optimisme menuju masa depan bangsa yang lebih baik. Bangga karena mereka asli anak bangsa dari orang-orang tua yang religius. Sekaligus malu, mereka anak-anak kecil itu telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi masyarakat, sedangkan aku yang usianya berkali lipat, apa yang telah aku berikan yah..?

(image:detik.com)
Jum’at, 11 Februari 2011, kelima anak hebat itu mempresentasikan karya mereka di depan publik. Mereka adalah pelajar, mahasiswa, para pakar IT, dosen, guru, rektor, pakar digital forensik, pejabat dan orang-orang penting lainnya di Aula Timur Kampus ITB Bandung. Kelima anak tersebut adalah  Arrival Dwi Sentosa dan Taufik Aditya Utama (pencipta antivirus Artav), Fahma Waluya Rosmansyah dan Hania Pracika Rosmansyah (pencipta game edukatif), serta Muhammad Yahya Harlan (pencipta jejaring sosial SalingSapa.com). Hasil  karya kelima anak Indonesia ini mendapat sambutan yang luar biasa dari para audiens. Diantaranya adalah sambutan dari Menkumham Patrialis Akbar menjanjikan akan mematenkan karya mereka secara gratis. Sedangkan Menko perekonomian Hatta Rajasa yang juga ketua Ikatan Alumni ITB ini menjanjikan beasiswa.

Arrival dan Taufik merupakan putra dari Herman Suherma dan Yeni Soffia. Saat ini, Arrival duduk si bangku kelas 1 SMP. Sedangkan kakanya Taufik adalah pelajar kelas 2 SMA. Kakak Beradik ini menciptakan anti virus Artav (singkatan nama Arivval dan Taufik Anti Virus) selama setahun. Arivval-lah yang banyak berperan dalam pembuatan anti virus ini. Taufik lebih berperan dalam masalah desainnya.Untuk mengembangkan keahliannya, Ibu Arivval bercerita bahwa Arivval meminta dibelikan buku-buku tentang Visual Basic agar ia bisa membuat program penangkal virus setelah mempelajari bagaimana cara kerja virus di internet. Agar tidak memberatkan orang tuanya, ia rela uang untuk membeli buku tersebut dipotong dari uang jajannya. Sebuah keputusan yang bijak dan dewasa yang diambil anak seusianya, pikirku.

Harlan adalah seorang anak pemalu pengidap penyakit asma yang duduk di kelas 1 SMP. Putra dari Yan Harlan dan Fidriana ini membuat situs jejaring sosial salingsapa.com (SS) yang memuat konten-konten islami. Motivasinya juga sangat-sangat mulia agar orang-orang bisa saling bersilaturahim, saling mengingatkan pada kebaikan sesuai ajaran islam.  Diantara fitur SS adalah Al-Quran (cara membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar), khazanah (berisi tentang dakwah islami), dan fitur radio saling sapa (radio siaran islami).

Tim terakhir, Fahma dan Hania merupakan kakak beradik dari pasangan Yusep Rosmansyah dan Yusi Elsiano. Fahma adalah pelajar kelas 1 SMP. Sedangkan Hania adalah anak imut yang masih duduk di kelas 1 SD. Karya Fahma yang sering dibantu adiknya Hania merupakan kumpulan program game edukatif. Program-program tersebut yaitu BAHANA (Belajar Huruf Angka dan Warna), My Mom’s Mobile Phone As My Sister’s Tutor” (Ponsel Ibuku untuk Belajar Adikku), ENRICH (English for Children), MANTAP (Matematika Untuk Anak Pintar), Doa Anak Muslim, Asmaul Husna dan DUIT. Fahma dan Hania juga berhasil mendapat juara di ajang APICTA (Asia Pacific ICT Alliance Award) tahun 2010 pada kategori Secondary Student Project.  Di akhir presentasinya Fahma mengungkapkan sebuah statement yang inspiratif : “ Menjadi juara memang menyenangkan, tetapi menciptakan juara jauh lebih menyenangkan”, katanya dengan gaya bahasa seusianya.

Ah, subhanallah.. Saat menyaksikan mereka di sebuah siaran tv sore tadi, bukan hanya wajahku yang cerah ceria, hatikupun bergetar hebat. Mereka membuatku makin termotivasi untuk mendidik anakku menjadi seorang anak yang berarti, bermanfaat untuk orang lain. ‘khoirunnas anfauhum linnas..’
Semoga saja…, Amien…!!!


Kamis, 10 Februari 2011

Anakku

Anakku..,
Tolong aku,
Jika aku mati nanti
dengan do’a tulusmu
Karena kerja keras hidupku,
kadang tak tahu malu melupakanku
Anakku..,
Tolong do’akan aku !

Rabu, 09 Februari 2011

Guru Bau Kencur (Part 1)

Aku tak pernah menyangka bahwa profesiku sebagai guru bisa menjadi profesi yang berresiko. Maksudku guru yang jujur dan sedikit bandel. Aku memilih guru sebagai cita-cita hidupku dari kecil dengan menafikan semua komentar orang-orang terdekat yang menginginkanku menjadi orang yang lebih bergengsi. Tentu untuk mereka menjadi guru hanya profesi standar, ga punya nilai prestise sama sekali. Teman-temanku mengaanggap keinginan untuk menjadi guru adalah keinginan tak bermutu, kuno dan tak menjanjikan. Sebagai seorang sarjana pure science harusnya aku bisa jadi peneliti. Mereka yakin dengan otakku yang lumayan encer dan gerakanku yang lincah dalam mencari informasi dan relasi, gelar magister, doktor atau profesor akan  mudah kudapatkan.
“Bagaimana pak Ganjar?” mau menerima tawaran tersebut”
Kata laki-laki setengah baya itu sambil menatapku begitu serius. Dahinya terlipat, dengan tegang menunggu jawabanku.
Aku menghela nafas. Kenapa di dunia ini tidak ada tempat yang benar-benar bersih. Selalu saja ada tikus pembawa penyakit. Menggerogoti apapun yang bisa digerogoti.
“E…, boleh saya berfikir dulu pak, sehari atau dua hari?”
Aku menjawabnya dengan hati-hati menyangkal luapan emosi yang cukup membuatku kepanasan dibalik baju batik yang biasanya sejuk. Bagaimanapun sebelum ini aku menaruh respek yang sangat tinggi pada pak Hambali. Namun ia sendiri yang menghancurkan rasa hormatku ini hanya dalam hitungan kurang dari 10 menit. Sebenarnya aku sudah mempunyai jawaban yang pasti, sangat pasti. Hanya saja aku bingung menggungkapkannya. Jika saja yang berbicara padaku itu adalah yang lain, pasti sudah kumaki-maki dan kusumpahi dia. Kau pikir aku ini apa? Anjing yang bisa disuap dengan sopotong tulang??? Pa Bagus memang pintar memilih pak Hambali sebagai mediator. Ia tahu aku akan luluh di depan pak guru pujaanku itu.
Ia menarik nafas panjang dan berat, membangunkan kembali kesadarannku.
“Baiklah…, saya tahu ini hal yang baru buatmu, nak”
Ia memanggilku dengan sebutan ‘nak’, sedikit terdengar meremehkan namun membuatku bersiap-siap mendengar kata-kata bijak dari mulutnya seperti biasa. “Saya juga dulu adalah orang yang anti sama yang begini-an. Harus bagaimana lagi…, semua orang terlibat. Saya tidak bisa menjadi seorang ustadz di tengah-tengah preman yang sedang haus menjarah.“
Ia berhenti menelan ludah, memeperbaiki posisi duduknya.
“Saya tidak bisa mengeluarkan ayat-ayat Al-Qur’an atau Hadits-hadits untuk membendung mereka, bisa-bisa saya mati dikeroyok. Yang bisa saya lakukan hanya diam … ”
“… dan menerima tawaran mereka???” potongku tiba-tiba.
Pak Hambali menatapku nanar.
“Ya…, kalau tidak kau terancam dimusuhi di sini, bahkan bisa saja keluar dari sekolah ini, nak…. Pikirkanlah….!”
Katanya sambil bangkit dari tempat duduknya.
“Saya akan bilang ke Pak Bagus kalau kau perlu waktu memikirkannya”, katanya sambil menepuk pundakku. Lalu ia berlalu dengan langkah berat.
Ah…, beginikah….??? Aku memandangi halaman sekolah yang sangat hijau, asri dan sejuk. Tapi tak seperti biasa, semuanya seakan manjadi ruangan sempit hingga aku sangat sulit bernafas. Akhirnya aku bangkit dan melangkahkan kaki gontai, menuju motor kreditanku yang belum lunas. Pulang…., mungkin lebih baik..
 ***
“Kopi, Mas….” Arin istriku datang dengan senyum yang manis seperti biasa.
Aku tersenyum dan mengagguk. Lalu kembali diam termenung.
“Dari sepulang sekolah, Mas Ganjar, ngelamun terus. Ada yang mau dibagi ga?”, katanya sambil duduk disebelahku dan meletakakkan tangannya di pahaku.
“ngak…, ngak apa-apa. Cuma capek dengan tugas sekolah aja, De.”
“Oh…, begitu. Ya sudah, Arin tidur duluan yah, dede bayinya sudah lelah, nih”. Katanya sambil mengelus perutnya yang buncit.
“Sini…!”, aku mengulurkan tanganku, memintanya kembali duduk setelah beberapa langkah ia menjauh dariku. Ia tersenyum. Kuelus perutnya dengan lembut, seperti biasa mengumpulkan kekuatan darinya. Akupun  memeluknya, lama.
“Rin…, “
“Hm…”
“Mengapa kau mendukungku menjadi seorang guru”
Ia tertawa kecil. “Rasanya mas sudah tanya itu berkali-kali”
“o ya…? kataku, berlagak lupa.
“Ada apa, mas??? Mas tidak menyesal kan lebih memilih jadi Guru daripada tawaran analis dari perusaahaan bersar itu. Atau…, mas Ganjar goyah?”, katanya hati-hati.
“ Ga tahu, Rin, ternyata jadi guru ga semudah yang mas bayangkan.”
“Oh…, apa pekerjaan lain lebih mudah, mas???”
Pertanyaannya begitu cerdas dan retoris. Aku tersenyum sinis.
“Aku ga tahu, Rin. Mungkin.” Jawabku sekenanya, sambil memandang kosong pekarangan rumah kontrakan kecilku.
 ***
Hari ini tak seperti biasa, langkahku menuju sekolah sangat tidak bersemangat. Seperti yang dikatakan orang tentang kebanyakan guru. Guru itu ya sama saja, guru itu hanya profesi, cari uang. Kalau ga menghasilkan uang, ya ga ada yang mau ngajar, atau setidaknya pastilah para guru itu males mengajar. Tapi tentu aku tidak membenarkan godaan setan itu. Kemalasanku bukan karena aku terancam tak digaji bulan ini. Jika mau, dengan kata ‘ya’ pada Pak Bagus, uang dikantongku akan tiba-tiba cukup untuk keperluan hidup setidaknya mungkin untuk  satu tahun.  Aku tersenyum sinis mentertawakan pikiran licik itu. Seseorang yang memproklamirkan diri sebagai seorang guru bervisi dalam pendidikan. Seorang guru idealis yang tak akan kalah perang karena disuapi kertas bernilai ketidakjujuran.
Tiba-tiba aku ingin muntah saat melihat gerbang sekolah yang megah. Sepertinya gerbang yang indah itu berubah menjadi sel penjara yang pengap dan bau. Aku melihat lalu lalang guru-guru yang baru datang di tempat parkir. Aku semakin muak, jijik. Senyum mereka untuk murid mereka, nasihat-nasihat mereka, ah… benarkah semuanya omong kosong?
“Selamat pagi, pa…”. Serombongan anak berpakaian putih abu menyapaku, kompak.
Aku hanya mengangguk. Ah… Tulang punggung bangsa yang tertipu. Aku tidak akan menyalahkan kalian lagi kalau mendapati kalian bolos sekolah, atau minggat, atau merokok di sekolah, atau berpakaian amburadul dan tak pantas, atau sok jagoan dengan tauran. Tidak, tidak, mungkin kenakalan kalian itu karena kalian tertular  gelombang-gelombang iblis keserakahan para pendidik. 
......

Selasa, 08 Februari 2011

Bukan Cinta Biasa

Bismillahirrahmaanirrahiim..

Tema tentang cinta dan pernikahan merupakan topik yang tak pernah bosan untuk dibicarakan sepanjang zaman. Sebagian besar orang memandang cinta dalam kacamata syahwat semata. Sebagian yang lain masih bingung mencari-cari jati diri cinta yang sesungguhnya. Karena cara pandang kebanyakan orang yang keliru atau bahkan masih kebingungan tentang cinta, maraklah saat ini hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sangat menyimpang jauh dari norma adat, sosial bahkan agama. Bagi sebagian yang telah menikah kekeliruan pola pandang ini juga membuat kehidupan keluarga yang tidak tentram dan harmonis, bahkan banyak yang berujung perceraian.

Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan dan diatur. Islam mengerti tentang tuntutan naluri manusia yang asasi tentang cinta. Islam berbicara banyak dari mulai bagaimana memaknai cinta yang sesungguhnya, bagaimana menentukan dan mencari kriteria bakal calon pendamping hidup, bagaimana pola interaksi dengan lawan jenis, hingga bagaimana memperlakukannya ketika resmi menjadi suami atau istri.

Islam secara bijak menyebut perihal cinta dan percintaan kepada lawan jenis sebagai sesuatu yang lumrah tetapi diposisikan menurut orientasi akhirat. Sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Quran, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yakni wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, serta sawah-ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)” (Q.S. Ali Imran: 14). Islam memandang pernikahan dan pembentukan keluarga yang bervisi sebagai sarana efektif untuk menjaga martabat manusia yang luhur dari perbuatan kotor atas nama cinta serta melindungi masyarakat dari kekacauan.

Walaupun sudah dipahami bahwa cinta diarahkan sebagai bagian dari ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, namun manifestasinya pada tataran praktis tidaklah sederhana. Persoalannya kembali pada bagaimana konsep ini diwujudkan pada dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini akan mengalami kontradiksi karena kita dihadapkan pada fakta bahwa kita hidup di lingkungan yang tidak menjadikan ajaran Islam sebagai panduan, bahkan kondusif untuk dilakukannya berbagai pelanggaran terhadap ajaran islam.

note ; Sekedar latar belakang ... :)

Minggu, 06 Februari 2011

Kamu Mars Aku Venus

Mengingat  20 April 2008..

Saat mereka beranjak pulang, adiknya yang cantik menghampiriku dan memberiku sebuah kantong berisi buku, “dari kaka” katanya. Aku tersenyum dan berterimakasih. Selanjutnya dengan hati yang berbunga-bunga aku relakan mobil berisi satu keluarga itu meninggalkan rumahku.
Sebuah buku berwarna biru, warna kesukaanku (dan ternyata warna kesukaannya juga) karya Dr. John Gray.  Covernya lucu,gambar kartun berupa kepala laki-laki dan wanita, dua buah UFO dan beberapa bintang. Dari judulnya “ Men are from Mars, Women are from Venus” , siapapun sudah dapat menebak isi buku tersebut yaitu tentang betapa ada perbedaan mutlak antara makhluk bernama “Men” dan makhluk  bernama “Women”.  John Gray memang banyak menulis buku seri Mars-Venus, buku-buku yang mampu membuka pikiran bagaimana pola interaksi antara laki-laki dan perempuan agar mampu menciptakan sebuah hubungan yang harmonis. Sebuah gift yang cerdas, pikirku untuk memulai sebuah hubungan serius untuk menikah.

Setelah di baca, banyak hal baru yang kuketahui tentang karakter laki-laki dan karakter wanita yang baru kusadari secara global benar adanya. Dunia laki-laki di mars adalah dunia kekuasaan, efisiensi dan prestasi.  Jauh berbeda dengan wanita di venus.Mereka lebih menghargai cinta, komunikasi dan hubungan. Karena itulah muncul perbedaan signifikan yang dikemukakan John Gray yang kurang lebih kusimpulkan sebagai berikut.
Ihwal
Laki-laki
Perempuan
Menghadapi masalah pasangan
Menawarkan solusi tanpa memperdulikan perasaan. Perempuan akan merasa laki-laki tidak mengerti dirinya.
Memberi nasihat tanpa diminta. Hal ini akan membuat laki-laki merasa dianggap tidak mampu mengatasi masalahnya.
Menghadapi ketegangan jiwa
Menarik diri untuk memikirkan persoalan.
Membicarakan persoalan yang merisaukan
Merasa termotivasi
Merasa dibutuhkan
Merasa dihargai
Menyampaikan sesuatu
Bahasa yang singkat, jelas.
Bahasa hiperbol, metamor dan general.
Interval keintiman
Mendekat  dan menjauh seperti karet gelang. Laki-laki kadang membutuhkan kedekatan tapi juga membutuhkan kemandirian.
Naik turun seperti gelombang. Saat merasa senang perempuan berlimpahan cinta untuk orang lain. Namun saat sedih, ia sangat ingin dicintai orang.
Jenis cinta yang dibutuhkan
Kepercayaan, penghargaan, penerimaan
Perhatian, pemahaman dan rasa hormat
Menilai sebuah pemberian
Kualitatif
Kuantitatif

Ini baru perbedaannya saja, di buku tersebut diberi pula stategi-stategi komunikasi yang jitu agar laki-laki dan perempuan yang secara fitrah berbeda itu dapat disatukan karena mereka satu sama lain mengerti perbedaan tersebut dan mampu menghargai satu sama lain. Semoga saja riak-riak pertengkaran antara kita dan pasangan mampu membuat kita belajar memahami satu sama lain.

nb : bukan promosi buku, :)  

Jumat, 04 Februari 2011

'Zaitun'-ku

Saat engkau terlelap, seperti ayahmu yang lelap,
Sesaat..
Aku menikmati ingatan
Saat manjamu, senyummu, tawamu, ceriamu,
Aku nikmati rengek tangismu,
Dan
Tatap keherananmu itu…
Menakjubkan bagiku, itu kamu!

Engkau keajaiban harapan
Pelipur lara yang tak kunjung nyata
Penghias datar hambarnya hidup manusia
Engkau cinta, pembangun mimpi
Engkau itu…

Engkau tak terkira kasihku
Engkau tak terbendung sayangku
Engkau tak terputus do’aku
Engkau tak hilang asaku
Engkau tak henti bahagiaku
Engkau adalah tak terhinggaku,
Hingga Sang Maha Tak Hingga membatasiku…

Cinta, penggenap cinta
Cepatlah tumbuh menjadi zaitun,
Bukan alang-alang…

Rabu, 02 Februari 2011

Nulis Lagi

Bismillahirrahmanirrahiin...

Istiqomah dalam hal yang baik itu memang sulit. Seperti membiasakan menuangkan ide dalam tulisan. Sudah lama rasanya saya tidak menulis lagi. Terlalu banyak apology.