Jumat, 04 Maret 2011

Purwokerto-Cikijing = Rp.2.500,-

Aku menatap kondektur gugup, mencoba membaca roman mukanya yang kelihatan kesal. “Dimana hilangnya?” katanya datar. Aku tertunduk dan tak terasa mengalirkan air mata. Perasaan campur aduk antara malu, kesal dan khawatir. Malu pada kondektur, sopir dan para penumpang yang “menonton”. Kesal pada diri sendiri, bertanya-tanya di mana dompet berada kini dan khawatir sang sopir tega menurunkanku di jalan begitu saja. Apalagi hari sudah mulai petang dan perjalananku dari Purwokerto ke Cikijing masih sangat panjang. Kondektur berlalu begitu saja dan aku berdo’a sepanjang jalan. Alhamdulillah, sang kondektur dan sopir berbaik hati, mereka tidak menagih ongkos sampai aku turun dari bus di terminal Ciamis.
Sampai di terminal, aku termenung. Tidak mungkin meneruskan perjalanan ke rumah dengan uang hanya beberapa ribu di saku. Akhirnya kuputuskan menelepon rumah di sebuah wartel. Namun malang, tak ada keluarga yang bisa menjemput ke Ciamis. Mereka menyarankan agar aku naik bus jurusan Ciamis-Cikijing, dan kakakku akan menunggu di sana sembari memegang uang untuk membayar ongkos.
Aku setuju dengan rencana tersebut, walaupun tidak terlalu yakin akan bertemu dengan kakak di Cikijing dengan segera. Bus takkan mungkin mau berhenti lama hanya untuk menunggu kakakku membayar ongkos. Aku tidak yakin sang sopir akan membawa penumpang yang tidak punya uang. 
Bukan hanya itu saja masalahnya, uangku habis dipakai menelepon, tak  bersisa lagi untuk naik ojeg dari terminal ke pangkalan bus. Maklum, di Ciamis, pada sore hari bus tidak masuk terminal. Namun Allah mengasihaniku dengan membimbing seorang bapak tukang ojek mendengar obrolanku sewaktu menelepon. Tanpa basa-basi bapak yang sudah lumayan berumur itu menolong dengan mengantar ke pangkalan bus, ia bahkan mengantarkanku sampai ke pintu bus. Aku berterima kasih padanya dan hanya bisa membalas kebaikannya dengan do'a.
Aku pun masuk bus dan langsung meminta ijin sekaligus memohon maaf pada sopir dan kondektur. “Pa, maaf, dompet saya hilang, saya minta numpang ke Cikijing, ongkosnya belakangan kalau nanti turun. Insya Allah kakak menunggu disana”. Kataku ragu-ragu. Namun sebaliknya, tanpa ragu mereka dengan simpati mengijinkan. Aku jadi menyesal sempat  berburuk sangka pada mereka. 
Aku pun duduk di dekat seorang bapak. Dengan tiba-tiba ia menyodorkan uang untuk mengongkosiku. Rupanya ia mendengar perkataanku pada kondektur tadi. Aku sangat terharu dan mataku berkaca-kaca. "Tak apa, de. Sesama manusia kan harus tolong menolong. Mumpung saya lagi ada. Kalau ga ada, saya juga kan ga bisa nolong", ucapnya sambil tersenyum. Aku membalas senyumannya dan berterima kasih padanya. Lalu sepanjang jalan, kami berbincang ringan. Ah..., sekali lagi batin ini berucap Alhamdulillah, Subhanallah… 
Sesampainya di Cikijing, betul saja dugaanku. Kakak tak ada saat aku turun dari bus. Aku menunggunya beberapa waktu sampai dia datang membawa motor. Aku makin bersyukur untunglah tadi ada yang mengongkosi.
Atas ijin Allah sampailah aku di rumah, perasaan haru menyeruak di dada. Aku pun bersyukur pada Allah. Berapa kali pertolongan-Nya dikirimkan lewat hamba-hamba yang baik hati. Aku makin yakin akan kekuasaan-Nya, bahwa Allah akan selalu menolong hamba-Nya, apalagi pada hamba yang berniat baik. Ya…, niat baikku yang sederhana ; pulang saat liburan kuliah dengan membawa oleh-oleh tak seberapa yang kujinjing di sebuah kardus : ‘ Dua pot bunga krisan untuk ibuku’.
Akhirnya dengan ajaib aku bisa melakukan perjalanan dari Purwokerto ke Cikijing dengan ongkos hanya dua ribu lima ratus rupiah (ongkos dari kosan sampai terminal Purwokerto)... ^_^ 
Subhanallah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar