Sabtu, 15 Oktober 2011

Laa Yahtasib

October 30th, 2007

Beliau memelukku erat, lalu mencium pipiku berulang-ulang.
“Duh… pinter, bageur, ko bisa sampai ke rumah ibu…”
***
Aku masih ingat saat beliau memarahi kami karena hapalan Qur’an Hadits yang jelek, atau saat beliau menyindir teman-temanku yang memakai baju ketat-ketat, atau saat dengan penuh syahdu beliau memberi pelajaran hidup. Beliau guruku, ibuku, orang tuaku …
***
Beliau memarahiku karena a’idul fitri kemarin aku tak kesempatan bersilaturahim ke rumahnya. Masih dengan mata yang basah, seperti biasa beliau menceritakan kisahnya kali ini. Tentang sekolah kami yang kini bermurid makin ‘nakal’, tentang dunia kerjanya yang penuh intrik dan persaingan, dan tentang keluarganya.

Beliau baru kehilangan rumahnya, bukan kena gusur atau kebakaran, namun mengalah untuk sebuah kata “perdamaian” dalam warisan. Ada rasa sakit yang meradang, bukan karena kehilangan rumah, namun sakit melihat dunia yang makin tamak. Aku dibawanya ke gaya bahasa yang dulu pernah akrab di telingaku. Obrolan yang renyah tentang arti hidup di campur dengan irisan ayat-ayat Al-Qur’an yang kudus penuh pemaknaan.

“Derita itu tak berlangsung lama, anakku… tidak lama!” beliau kembali berkisah dan memegang tanganku erat.

“Anak-anak ibu semua pulang dari perantauan. Begitu datang mereka segera memeluk ibu dan berbisik di tengah kerapuhan hati ibu , ”Laa yukalifullahu illa wus’ahaa’, Ma….”

Subhanallah…, apa lagi yang lebih indah daripada memiliki anak-anak sholeh yang mampu menguatkan kita…,” ujarnya lirih.

Segera mereka mencarikan rumah baru buat sang ibu… Tinggalah kini beliau di rumah barunya. Tak kalah bagus dengan rumahnya yang dulu. Tak satupun ada barang dan hiasan di rumah itu kecuali dibeli dan di tata anak-anaknya tercinta. Malam-malan selanjutnya beliau bersaksi betapa besarnya kenikmatan melihat anak-anaknya yang dulu beliau bangunkan untuk sholat malam kini berlomba-lomba membangunkannya untuk sholat malam.

Beliau sujud bersyukur bahagia, betapa beliau makin menyadari kedalaman makna “Inna ma’al usri yusro…”  kedalaman makna “lain syakartum la ajidanakum….”

Hari-hari yang kini dilaluinya adalah hari-hari penuh kesyukuran. Betapa beliau terus menerus menunjukan pada kami rasa sayang Allah yang melimpah, yang memberikan rizki “laa yahtasib…, laa yahtasib…!!”


 (Ditulis ulang 15-10-2011, Setelah bersapa dengan beliau lewat telepon)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar