Selasa, 06 September 2011

Aku dan Buku (Part 1)

Sudut kamarku itu memancing perhatian. Beberapa buku di atas lemari melambai-lambai menagih haknya untuk dibaca. Kadang-kadang mereka juga menjulurkan lidah, mencibir dan mencemoohku, “Dasar payah kamu, De. Kapan kamu santap kami? Gimana mau nambah referensi kalau kamu payah gitu dalam membaca.”  Fuih… Betul-betul malu aku malu pada diriku sendiri. Aku boleh banyak beralasan ini dan itu. Namun dengan mendaftar alasan-alasanku, aku malah makin terpojokan bahwa tak ada alasan untuk menyia-nyiakan hidangan selezat bacaan-bacaan itu. Aku tergugu. Tunggulah tunggu, aku hanya menunggu waktu tak mungkin aku mencampakanmu.

Tahukah kamu, dulu…, dulu saat aku masih SD, aku suka buku. Buku-buku pelajaran tentunya, karena di tempat seperti desaku tak ada referensi lain selain buku-buku cetak yang didapatkan di sekolah. Aku senang membaca buku-buku  yang banyak gambarnya itu. Sampai sekarang aku bahkan masih teringat sebuah buku pendidikan agama islam yang menerangkan tentang masalah pembatal sahnya sholat. Dalam bab itu, materi tersebut diilustrasikan dengan gambar beberapa orang yang tengah sholat. Yang pertama seorang wanita yang tengah sholat namun tangannya kelihatan sampai lengan atas, yang kedua sholat, namun tampak sedang mengobrol dengan teman disampingnya dan yang ketiga seorang laki-laki berkopiah yang sholat sambil mengulum es krim di mulutnya. Ck...ck..., sungguh gambar yang kocak jika aku mengingatnya sekarang. Namun dulu, itu adalah materi yang menarik untukku, sungguh menarik hati.

Aku suka membaca dan menulis. Setelah buku itu kubaca, kadang-kadang buku-buku cetak itu aku ringkas di buku catatanku. Ini kebiasaan yang ternyata aku bawa sampai Aliyah, yang ternyata juga mampu mengirit pengeluaranku untuk membeli buku. Tak hanya sampai menulis catatan punyaku, akupun senang, benar-benar senang dan dengan senang hati dan tanpa beban jika teman-temanku memintaku merangkumkan sebuah materi di buku catatan mereka. Aku bersyukur telah dimanfaatkan. Mungkin karena kebiasaanku ini juga, aku lebih mudah menangkap dan mengingat pelajaran sekolah.

Masih ketika SD, satu-satunya variasi bacaan yang pernah kukenal adalah perpustakan mini –bahkan sangat mni- milik sekolahku dulu. Begitu lekat dalam ingatanku saat aku membaca buku tentang tata surya. Buku itu tentu sangat menyedot perhatianku karena dari dulu aku begitu suka dengan yang namanya ‘bintang’. Saat itulah aku tahu, dan sampai saat ini pengetahuanku tak pernah luput dari ingatanku, bahwa semua bintang seperti makhluk hidup yang lain. Mereka lahir, tumbuh berkembang dan suatu hari akan mati. Matahari contohnya adalah bintang yang masih terus berkembang. Ia akan terus membesar bahkan akan menelan orbit bumi. Waw…, tentu bumi akan tamat saat matahari membesar seperti itu. Makin lama, setelah matahari makin besar, ia akan kehabisan energinya dan akhirnya menciut menjadi bintang mati. Yang tersisa adalah masanya yang berat dan kelak akan menyedot banyak benda di luar angkasasana. Aku bahkan mengira bahwa yang orang namakan sebagai ‘black hole’ atau lubang hitam di ruang angkasa adalah bintang mati.  Itulah pengetahuan yang aku dapatkan di kelas 3 SD. Begitu melekat dalam ingatanku. Aku tak habis pkir, jika saja ada perpustakaan yang lebih besar, mungkin lebih banyak kenangan masa kecilku dengan buku-buku itu.

Beranjak ke Madrasah Tsanawiyah, makin banyak koleksi buku yang kubaca, karena perpustakaan di sekolahku itu lumayan lengkap. Namun karena kaget dengan sistem belajar yang berbeda dari SD yang rasanya cuma ‘main-main’ saja dengan di Tsanawiyah yang lumayan serius, maka aku lebih fokus dengan buku-buku pelajaran sekolah. Selain itu, aku lebih menyibukan diri dengan kegiatan-kegiatan ekstra yang lumayan menyedot waktu dan perhatian. Satu-satunya bacaan di luar buku pelajaran yang aku santap saat itu adalah majalah remaja ‘An-Nida’ milik kakakku yang kala itu sudah sekolah di sebuah SMA di kota Majalengka. Otomatiis aksesnya mendapatkan buku lebih mudah. Ketika pulang ke rumah, ia selalu membawa majalah-majalah tersebut. Dan aku menikmati majalah gratis tersebut dengan senang hati.

Beranjak Aliyah, ritme bacaanku tak jauh beda dengan saat Tsanawiyah. Namun kini aku mulai membuka diri dengan bacaan-bacaan yang lumayan serius. Misalnya aku kadang mengintip bacaan bapakku, majalah Risalah, Bina Dakwah dan beberapa majalah komunitas Persatuan Islam yang lain. Lalu aku pun mulai agak bosan dengan majalah remaja dan mulai memilih majalah Sabili yang terkenal dengan isu-isu radikalnya. Kebetulan waktu itu ada agen yang menawariku berlangganan majalah. Waktu ditawari majalah An-Nida yang sebenarnya masih cocok untuk anak seusiaku, aku menolak dan meminta majalah Sabili saja. Saat itu aku menyisihkan uang jajanku untuk membelinya. Maklumlah maklum, aku tak pernah mempunyai uang lebih untuk anggaran yang lain kecuali kebutuhan sekolah dan jajan seadanya.

Suatu ketika, saat aku tahu bahwa seorang saudara (yang kelak ternyata jadi kakak iparku) mempunyai koleksi buku yang sangat banyak, akupun sangat girang dan bersemangat meminjam buku-buku yang sesuai dengan inters-ku. Apalagi adiknya adalah teman ngaji dan adik kelasku di Aliyah, jadi meminjam buku padanya amatlah mudah. Satu lagi, sumber pinjaman bukuku berasal dari seorang guru ngaji yang ternyata hanya tinggal beberapa tahun saja di tempatku dengan berbagai alasan. Dari sanalah aku berkenalah dengan buku-buku agak tebal dan berbobot. Saat itu pula permulaanku mengenal gerakan-gerakan islam, salah satunya adalah ‘Ikhwanul Muslimin’. Buku-buku memoar Hasan Al-Bana misalnya banyak menginspirasiku. Walau aku tak tahu persis apa yang paling kuingat dari buku itu seperti aku mengingat tentang tata surya di SD dulu. Yang lebih penting dari buku itu, adalah spirit perbaikan dalam diriku. Spirit untuk terus menjadi lebih baik.

Sudut kamarku itu memancing perhatian lagi. Beberapa buku di atas lemari melambai-lambai menagih haknya untuk dibaca. Mereka makin parah mencibir dan mencemoohku, “Dasar payah kamu, De. Kapan kau santap kami.“ Fuih… Betul-betul malu aku malu pada diriku sendiri. Aku tergugu. Tunggulah tunggu, aku hanya menunnggu waktu tak mungkin aku mencampakanmu.

6 September 2011, 01.05 p.m.
(Ditulis dadakan saat anakku tidur siang dan aku belum cukup lelah untuk menamaninya tidur)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar