Jumat, 09 September 2011

Di Ujung Cinta

Suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita tidur saling memunggungi
tapi jiwa berpeluk-peluk
senyum mendekap senyum

suatu saat alam sejarah cinta kita
raga tak lagi saling membutuhkan
hanya jiwa kita sudah melekat dan menyatukan
rindu mengelus rindu

suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita hanya mengisi waktu dengan cerita
mengenang dan hanya itu
yang kita punya

suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita mengenang masa depan kebersamaan
kemana cinta akan berakhir
disaat tak ada akhir.

Itu kata Anis Matta, dalam karyanya Akhir Sejarah Cinta Kita. Sangat, sangat mewakili apa yang kata orang bilang, “Ketika sudah lama menikah bukan lagi cinta yang kita punya, tinggal ada kasih sayang yang tak kurang hebatnya menyatukan dua jiwa. Bukan hilang mungkin, namun kadarnya berkurang digantikan sang kasih sayang. Ya, aku menyadarinya. Aku dan suamiku!
Kami sering berbincang tentang ‘kefanaan, tidak kekalnya cinta’. Kami sering berbincang bagaimana jika suatu saat, ia menduakanku dengan perempuan lain. Kami juga pernah berbincang bagaimana jika suatu saat, aku mampu berpaling ke lain hati. Kami sering berbincang bagaimana kami saling mengungkapkan kasih sayang jika kulit telah keriput. Dan kami sering berbincang bagaimana jika nanti kami terpisah. Aku pergi lebih dulu menghadap ‘Kekasihku’ yang lebih aku cintai, atau dia meninggalkanku dipanggil ‘Kekasihnya’ yang lebih ia cintai.

Bukan, bukan karena kami tak saling cinta. Bukan pula karena kami hanya memelihara setitik cinta. Insya Allah, cinta kami melimpah ruah saat ini. Namun kami bukanlah malaikat yang bertabiat selalu setia, jiwa kami terbagi dua antara akhirat dan dunia. Karenanya kami memahami betul bahwa hati selalu ‘berbolak-balik’. Sebentar senang sebentar lagi sedih. Sebentar cinta sebentar lagi benci. Karena itu banyak orang bilang benci dan cinta jaraknya begitu tipis.

Memadu dua jiwa tak hanya cukup dibekali cinta. Harus ada sebuah visi yang lebih jauh, lebih hakiki. Aku kadang-kadang bingung sendiri jika ditanya apa alasanku mencintainya. Padahal ia membeberkanku segala kurang dan jeleknya. Akhir kesimpulan setelah lama kucari-cari, adalah karena ‘ia suamiku’. Ya, betul ia adalah suamiku, karena itu aku mencintainya. Jika ia bukan suamiku, jika pun aku mencintainya, maka tak layak kusimpan cinta yang membara seperti yang kurasa. Aku akan melupakannya. Suami  punya hak untuk dicintai dan disayangi istrinya, begitu pun sebaliknya. Karena itu aku tak malu-malu mengakui, jika suamiku bukan dia, maka insya Allah aku akan mencintai suamiku ‘yang bukan dia’ itu seperti ini juga.

Aku kadang menjadi seorang istri yang melankolis, kadang mendramatisir besarnya cinta. Namun sungguh di atas itu semua, aku faham bahwa tak ada yang langgeng kecuali Dia. Aku mau menggombal, namun gombalan yang realistis dan tak begitu memuja kerlip dunia. Gombalan yang mampu menghangatkan cinta yang kadang membeku karena ‘lupa’. Karena itu, aku memohon pada Sang Pemilik Cinta Abadi untuk terus menjaga cinta dan kasih sayang kami berdua agar semakin kokoh. Tak tergoncang oleh riak-riak kecil, tak roboh oleh rintang-rintang besar. Aku tahu, kelak gairah cinta kami akan memudar, namun masih ada kasih sayang dan ketenangan yang menggantikan.

suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita mengenang masa depan kebersamaan
kemana cinta akan berakhir
disaat tak ada akhir.

Kami telah punya jawabannya. Di mana cinta akan berakhir. Di saat tak ada akhir. Kami ingin berjumpa sebagai keluarga di serambi surga-Nya. Tentu jika Ia berkehendak melimpahkan pengampunan atas dosa-dosa kami yang hina. Insya Allah


 09 September 2011, 8:39 am
(Setelah mencuci baju, mungpung anankku main sama tetehnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar