Rabu, 07 September 2011

Aku dan Buku (Part 2)

Ribuan buku yang di pajang di rak-rak toko buku itu dengan congkak berkacak pinggang. Mereka mencibirku, “Halah kamu, De. Paling kesini cuma lihat-lihat saja,kan? Raba kantongmu itu! Mana ada uang buat memboyong kami pulang.” Aku menunduk lesu. Batinku mengiyakan. Sebagai seorang mahasiswa dengan uang saku pas-pasan aku memang pelit berbelanja buku.

Aku bukan orang kaya yang berada, aku juga bukan orang miskin yang tak punya. Saat aku kuliah, ayahku sudah tak lagi menjabat sebagai kepala desa yang selama tiga periode berturut-turut didudukinya. Ibuku seorang ibu rumah tangga biasa. Pemasukan mereka andalkan dari hasil panen enam bulan sekali yang kadang habis sebelum tiga bulan. Dulu, saat pabrik penggilingan padi kami masih bekerja, setiap harinya ibuku mendapat pemasukan lumayan untuk hidup sehari-hari. Namun setelah sang pengolah pabrik kepercayaan meninggal dunia, pabrik sepi. Kurang dikelola secara baik dan tentunya kalah bersaing dengan pabrik lain yang memberikan pelayanan ekstra.

Ayahku yang kini menikmati waktu tua merawat kolam dan kebun, kadang kala dapat pemasukan dari hasil penjualan ikan, buah atau pun pepohonan di kebun kami. Sebenarnya ayahku memiliki banyak tanah yang untuk ukuranku jika diolah dengan baik akan menjadi sumber penghasilan yang ‘subhanallah’, lebih dari cukup untuk menutup semua pengeluaran hidup. Namun sayang, tanah tersebut tidak dikelola dengan baik. Menurutku malah, ongkos yang dikeluarkan untuk merawat tanah (kolam dan kebun) tidak sebanding dengan penghasilan yang di dapat.

 Walaupun sudah tak punya penghasilan tetap, namun tekad mereka untuk mengkuliahkan aku dan kakak-kakakku tetap bulat. Untungnya kakakku yang lain sudah lumayan sukses dan mandiri dan tentu saja menyokong kebutuhan kuliahku dan kakakku yang ke-6. Saat itu memang tinggal kami berdua yang kuliah. Kakakku kuliah di Yogya, dan aku kuliah di Purwokerto. Sebagai seorang adik yang pemalu dan ga enakan, aku tak pernah meminta uang secara langsung pada kakak-kakakku. Praktis, aku meminta biaya hidup hanya pada ibuku. Walaupun begitu, ibuku yang seringkali dompetnya tak berpenghuni meminta kakakku mentransfer uang untuk biaya hidupku.

Tahu secara persis bagaimana kondisi keuangan orang tuaku, maka aku tak pernah berbelanja semaunya dengan uang kiriman itu. Aku tahu, bagaimana ibuku dengan pusing memutar otak. Walaupun dengan  colek sana, colek sini, ia selalu menyediakan uang jika aku pinta. Makanya aku tak meminta uang sebelum aku tak memegang uang sama sekali di kantongku. Aku bahkan bisa mengingat bahwa selama empat setengah tahun kuliah, aku hanya membeli sebuah rok coklat, sebuah kaos panjang putih, tiga buah kerudung hitam dan dua buah tas berwarna coklat. Barang-barang lain yang kupakai adalah hasil warisan atau hadiah dari kakak-kakak dan saudaraku. Untunglah aku adalah orang yang cuek masalah penampilan.

Buku, buku adalah satu-satunya yang ingin aku dapatkan, jika aku punya kelebihan uang. Namun tahukah kamu, buku yang kudapatkan pastilah buku-buku tipis saja, sesuai dengan harga kantongku tentunya. Ingin sekali rasanya, aku meminta uang untuk sekedar membeli buku-buku tebal yang seringkali banyak disarankan orang. Namun aku adalah orang yang sangat sensitif, tak tega pada ibuku. Aku ingat ibuku pernah memarahiku karena aku ketahuan berpuasa daud di awal semester satu dan dua saat kuliah. Bukan karena tidak boleh, ibuku khawatir itu adalah caraku untuk menghemat pengeluaran. “Kalau bekal kurang, bilang sama Mimih,” katanya. Namun bukan itu tentu saja alasan aku berpuasa. Dan tidak semudah itu tentunya menyimpan telapak tangan dibawah untuk meminta tambahan uang. Sungguh, aku tak tega! Aku sempat iri pada kakakku yang mampu mengkoleksi banyak buku. Aih, dari mana ia bisa menyisihkan banyak uang seperti itu? Apa karena ia tinggal di Yogya, banyak toko buku sangat murah? Apa karena ia dekat dengan kakak keduaku di Klaten dan dapat tambahan uang? Padahal aku tahu, aku lebih mengirit membelanjakan uang dari pada dia. Tapi aku menepuk diri, mungkin akulah yang tak pandai menyisihkan uang lebih.

Untunglah, untung. Di Purwokerto aku memiliki teman-teman yang punya banyak koleksi buku. Aku juga lumayan rajin mencari artikel, jurnal di internet yang sedikit mampu mengatasi kehausanku akan membaca buku. Aku juga sadari, karena irama hidupku yang sibuk berorganisasi waktu itu membuatku sedikit melupakan buku. Kalau mau disebutkan, tentu di atas semua keterbatasan masih banyak yang bisa kumanfaatkan. Perpustakaan universitas misalnya. Walaupun agak tidak berselera melihat buku-buku kucel agak berdebu, namun bukankah pada dasarnya mereka tetap mutiara ilmu. Dasar, sungguh dasar! Akulah yang terlalu. Aku memang pernah merasa tenggelam di lorong-lorong antara rak buku di perpustakaan itu. Membayangkan betapa maboknya aku jika semua ilmu yang ada di buku itu aku santap.  Tapi aku akui, saat kuliah aku sangat jarang sekali ke perpus sana. Aku lebih asyik berdiskusi dalam rapat dan meminjam buku teman seadanya.

Namun di hati hati kecilku tetap saja. Membeli buku saat itu, seperti keinginan orang-orang yang memperhatikan penampilan, ingin membeli baju baru yang modis, tapi tak punya uang. Kasihan sungguh kasihan.

Aku meraba kantongku dan menunduk lesu di depan toko buku. Batinku berikrar, suatu hari, aku akan memboyong mereka, satu demi satu. Memindahkan mereka ke rak buku di rumahku.

07 September 2011
(Menunggu anakku bangun pagi, tak biasanya siang begini... ^_^)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar