Kamis, 08 September 2011

Aku dan Buku (Part 3)

Aku memandangi tumpukan buku di kardus dekat rak kecil itu. Buku-buku lama setengah lusuh seperti merajuk merayuku agar kembali mengambil manfaat dari mereka. Sudah, sungguh sudah kubaca. Namun tunggu dulu! Apa, apa yang aku ingat? Apa  saja yang pernah mereka katakan padaku? Oh, sungguh payah ingatanku ini. Payah pula pertemananku denga buku. Jarang sekali aku bertegur sapa lagi dengan mereka semenjak terakhir kubaca. Kebanyakan hanya kusuruh berjejer di rak buku kecil layaknya barang sekali pakai. Bukankah buku-buku itu ibarat guru? Guru yang akan memberi ilmu terus menerus jika dibaca berulang-ulang. Tak ada ampas dari buku bekas, pun dibaca ribuan kali. Mereka terus merayuku, merajuk tak malu-malu. Mereka cemburu pada buku-buku baruku. Aih, ternyata kamu cemburu… ^_^

Aku bersyukur saat ini dapat menyisihkan uang untuk membeli buku. Sudah hampir setengah tahun semenjak keuangan kami mulai stabil, suamiku dengan senang hati mengirimku oleh-oleh buku jika pulang ke pangkuanku. Aku tak menginginkan oleh-oleh lain darinya. Aku pun diizinkannya membeli buku yang kumau dari uang yang ia berikannya padaku tiap bulan. Aku bahagia sungguh bahagia. Di tengah, upaya kami menabung untuk membangun ekonomi keluarga, aku masih diberi kesempatan untuk mendapatkan kenikmatan membeli buku yang kusuka.

Awal menikah, aku baru tahu keuangan suamiku tak begitu baik. Namun ia punya satu modal yang dengannya aku tak menghawatirkan kehidupan kami. Ia mempunyai tanggung jawab dan mampu bekerja keras (ups, tepatnya bekerja cerdas!). Apalagi ia mempunyai keahlian yang tak banyak orang memilikinya.  Ia seorang programmer yang bisa dibilang handal. Suamiku orang yang anti melamar kerja jadi PNS. Karakternya yang kreatif, ‘kurang sistematis’ dan ‘kurang suka’ diatur membuatnya benar-benar tak cocok jadi seorang karyawan dengan waktu, gaji dan tantangan kerja yang ‘gitu-gitu aja’. Awalnya ia berkonsentrasi pada bisnis warnet dan website. Namun setelah bertemu dengan patner yang tepat dalam membangun usaha, ia akhirnya membuat sebuah core banking untuk perbankan micro (semacam BPR). Dalam dua tahun setengah ini perusahaan yang mereka jalankan sudah berkembang signifikan.

Suamiku sangat senang ketika aku makin suka memamah buku. Ia ingin istrinya terus meng-upgrade pengetahuannya. Suamiku juga senang dan mendukung minatku yang makin besar ke dunia tulis menulis. Ia memfasilitasiku, meninggalkan laptopnya yang dulu untukku, membekaliku modem untuk kemudahanku online dan berhubungan dengan dunia luar. Ia mengizinkanku ikut aktif di lingkar pena dan tentu saja tak ketinggalan, ia memberiku izin membelanjakan uangnya untuk buku. Ketika ia sedang di toko buku, ia sering meneleponku untuk bertanya tentang pesanan bukuku atau maukah aku dibelikannya buku yang ia pilih.

Buku-buku bacaanku kali ini agak berbeda dengan konsumsiku sewaktu kuliah. Dulu, aku lebih suka membeli buku-buku keagamaan dan sosial politik. Kini, pilihan bacaanku lebih banyak novel, terutama novel yang berbau sejarah dan budaya. Mungkin ini karena pengaruh kebutuhan dan lingkungan. Kebutuhanku dulu seputar pengetahuanku sebagai seorang mahasiswa yang lumayan aktif dalam salah satu pergerakan mahasiswa islam dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) kampus. Kini sebagai seorang ibu, bacaanku lebih ringan dan menyenangkan.

Menulis. Menjadi seorang penulis buku adalah keinginku selanjutnya. Tahukah kamu, sebenarnya kebiasaanku menulis dimulai sejak SD. Sudah pernah kuceritakan bahwa aku suka menyalin dan merangkum materi di buku cetak ke buku catatan. Tapi yang ini belum kuceritakan. Kisahku bahwa dari mulai kelas empat SD aku sudah mulai gombal-gombalan berkirim surat cinta dengan ‘cinta monyetku’. Hemmm…, setiap hari bertemu tapi sering berkirim surat, lucu sekali aku (masih inget ga ya, dia, hehe…).  Namun sayang, setelah surat-surat cintaku itu ketahuan kakakku, aku malu luar biasa. Kubakar sudah koleksi surat cintaku itu. Dulu, aku juga punya sahabat pena yang kini tak tahu dimana rimbanya. Kesenanganku dalam berkirim surat tulisan tangan  masih kubawa sampai awal-awal kuliah.

Ada lagi kebiasaanku menulis diari yang sudah kumulai saat Tsanawiyah. Namun sayang pula, diariku selalu berakhir tragis. Kadang kusobek, kadang kubakar. Entah kenapa, aku selalu tak nyaman ketika membaca ulang kisah hidupku begitu nyata. Saat aku menyukai sesuatu atau saat aku membenci sesuatu. Aku merasa canggung menyebut sebuah nama dalam diariku. Terasa terlalu vulgar bagiku. Ada juga rasa khawatir jika diariku itu dibaca orang dan aku menjadi malu seperti ketika kakakku mendapatkan surat-surat cintaku. Akhirnya saat kuliah, aku menulis curahan hatiku dengan gaya lain. Aku menulis semacam prosa atau puisi. Curhatku berupa simbol-simbol kata yang tak mudah dimengerti kebanyakan orang. Saat aku marah, saat aku senang, saat aku melakukan sesuatu yang kubenci, saat aku rindu atau mengharapkan seseorang, atau saat semangatku membara untuk memberi. Kuungkapkan semuanya dalam bahasa kiasan yang sepertinya hanya aku yang mengerti.

Aku mulai menulis untuk publik saat bersama teman-teman menggagas sebuah buletin untuk unit kerohanian islam di kampus kami. Amani namanya, masih lekat rasanya di hati. Buletin ini masih ada sampai aku lulus, masih terus diwariskan. Entah sekarang, bagai mana kabarnya. Selanjutnya aku dan teman-temanku juga menggagas buletin untuk BEM di kampus kami. Pijar, namanya. Tapi Pijar tak seawet Amani. Sayang dokumentasiku tak begitu baik. Hanya beberapa yang tersisa dari Amani dan Pijar yang kini masih bisa kubaca ulang. Di luar itu, aku menulis hanya sesuai moment dan kebutuhan. Menulis artikel untuk kegiatan, lomba atau sekedar tugas. Aku memang pernah memenangkan lomba essai di lembaga keislaman tingkat kampus dan pernah juga menang karya tulis Aktuaria (padahal aktuariaku dapet C. He…) Namun saat itu aku belum berfikir menjadi seorang penulis. Menulis hanya sebuah kebutuhan insidental.

Semangat menulisku memang baru menggebu saat aku ikut aktif di FLP Majalengka. Walaupun baru dan belum menghasilkan banyak karya, namun kami yang ada di dalamnya sudah ber-azzam kuat untuk terus produktif menghasilkan karya. Kami saling menyemangati dan saling mendukung. Meski begitu, aku tak mau terburu-buru. Let I do it slowly but surely. Aku masih harus mengurus beberapa urusan rumah. Aku masih harus banyak bermain dengan anakku yang ada sedang dalam golden age-nya. Aku juga masih ingin memberikan yang terbaik untuk murid-muridku dalam bidang studi matematika. Ya, aku tak mau ada yang dikorbankan karena hobi dan impianku ini. Aku ingin semuanya lengkap walau tak mungkin sempurna.

Aku ingin menuangkan semua yang ada di dalam benakku. Aku ingin memberi manfaat dari apa yang kutulis dan aku ingin anak cucuku nanti dapat membaca karyaku nanti.  Namun tentu sebelum membuat buku aku harus banyak melahap buku. Kata seseorang yang menjadi salah satu inspirasiku, “Hanya orang gila yang berfikir ia akan mampu membuat buku tanpa banyak membaca buku”.

Memang koleksi bukuku kini masih sangat sedikit. Namun aku sangat senang bisa menambah ilmu, bisa menabung ilmu, bisa membagi ilmu dan bisa mewariskan ilmu  lewat buku. Suatu hari nanti di rak bukuku akan ada karyaku sendiri. Dan aku bisa tersenyum memandangnya.

08 Seotember 2011, 5:17 Pm
(Mungpung anakku bermain sama abahnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar