Rabu, 09 Februari 2011

Guru Bau Kencur (Part 1)

Aku tak pernah menyangka bahwa profesiku sebagai guru bisa menjadi profesi yang berresiko. Maksudku guru yang jujur dan sedikit bandel. Aku memilih guru sebagai cita-cita hidupku dari kecil dengan menafikan semua komentar orang-orang terdekat yang menginginkanku menjadi orang yang lebih bergengsi. Tentu untuk mereka menjadi guru hanya profesi standar, ga punya nilai prestise sama sekali. Teman-temanku mengaanggap keinginan untuk menjadi guru adalah keinginan tak bermutu, kuno dan tak menjanjikan. Sebagai seorang sarjana pure science harusnya aku bisa jadi peneliti. Mereka yakin dengan otakku yang lumayan encer dan gerakanku yang lincah dalam mencari informasi dan relasi, gelar magister, doktor atau profesor akan  mudah kudapatkan.
“Bagaimana pak Ganjar?” mau menerima tawaran tersebut”
Kata laki-laki setengah baya itu sambil menatapku begitu serius. Dahinya terlipat, dengan tegang menunggu jawabanku.
Aku menghela nafas. Kenapa di dunia ini tidak ada tempat yang benar-benar bersih. Selalu saja ada tikus pembawa penyakit. Menggerogoti apapun yang bisa digerogoti.
“E…, boleh saya berfikir dulu pak, sehari atau dua hari?”
Aku menjawabnya dengan hati-hati menyangkal luapan emosi yang cukup membuatku kepanasan dibalik baju batik yang biasanya sejuk. Bagaimanapun sebelum ini aku menaruh respek yang sangat tinggi pada pak Hambali. Namun ia sendiri yang menghancurkan rasa hormatku ini hanya dalam hitungan kurang dari 10 menit. Sebenarnya aku sudah mempunyai jawaban yang pasti, sangat pasti. Hanya saja aku bingung menggungkapkannya. Jika saja yang berbicara padaku itu adalah yang lain, pasti sudah kumaki-maki dan kusumpahi dia. Kau pikir aku ini apa? Anjing yang bisa disuap dengan sopotong tulang??? Pa Bagus memang pintar memilih pak Hambali sebagai mediator. Ia tahu aku akan luluh di depan pak guru pujaanku itu.
Ia menarik nafas panjang dan berat, membangunkan kembali kesadarannku.
“Baiklah…, saya tahu ini hal yang baru buatmu, nak”
Ia memanggilku dengan sebutan ‘nak’, sedikit terdengar meremehkan namun membuatku bersiap-siap mendengar kata-kata bijak dari mulutnya seperti biasa. “Saya juga dulu adalah orang yang anti sama yang begini-an. Harus bagaimana lagi…, semua orang terlibat. Saya tidak bisa menjadi seorang ustadz di tengah-tengah preman yang sedang haus menjarah.“
Ia berhenti menelan ludah, memeperbaiki posisi duduknya.
“Saya tidak bisa mengeluarkan ayat-ayat Al-Qur’an atau Hadits-hadits untuk membendung mereka, bisa-bisa saya mati dikeroyok. Yang bisa saya lakukan hanya diam … ”
“… dan menerima tawaran mereka???” potongku tiba-tiba.
Pak Hambali menatapku nanar.
“Ya…, kalau tidak kau terancam dimusuhi di sini, bahkan bisa saja keluar dari sekolah ini, nak…. Pikirkanlah….!”
Katanya sambil bangkit dari tempat duduknya.
“Saya akan bilang ke Pak Bagus kalau kau perlu waktu memikirkannya”, katanya sambil menepuk pundakku. Lalu ia berlalu dengan langkah berat.
Ah…, beginikah….??? Aku memandangi halaman sekolah yang sangat hijau, asri dan sejuk. Tapi tak seperti biasa, semuanya seakan manjadi ruangan sempit hingga aku sangat sulit bernafas. Akhirnya aku bangkit dan melangkahkan kaki gontai, menuju motor kreditanku yang belum lunas. Pulang…., mungkin lebih baik..
 ***
“Kopi, Mas….” Arin istriku datang dengan senyum yang manis seperti biasa.
Aku tersenyum dan mengagguk. Lalu kembali diam termenung.
“Dari sepulang sekolah, Mas Ganjar, ngelamun terus. Ada yang mau dibagi ga?”, katanya sambil duduk disebelahku dan meletakakkan tangannya di pahaku.
“ngak…, ngak apa-apa. Cuma capek dengan tugas sekolah aja, De.”
“Oh…, begitu. Ya sudah, Arin tidur duluan yah, dede bayinya sudah lelah, nih”. Katanya sambil mengelus perutnya yang buncit.
“Sini…!”, aku mengulurkan tanganku, memintanya kembali duduk setelah beberapa langkah ia menjauh dariku. Ia tersenyum. Kuelus perutnya dengan lembut, seperti biasa mengumpulkan kekuatan darinya. Akupun  memeluknya, lama.
“Rin…, “
“Hm…”
“Mengapa kau mendukungku menjadi seorang guru”
Ia tertawa kecil. “Rasanya mas sudah tanya itu berkali-kali”
“o ya…? kataku, berlagak lupa.
“Ada apa, mas??? Mas tidak menyesal kan lebih memilih jadi Guru daripada tawaran analis dari perusaahaan bersar itu. Atau…, mas Ganjar goyah?”, katanya hati-hati.
“ Ga tahu, Rin, ternyata jadi guru ga semudah yang mas bayangkan.”
“Oh…, apa pekerjaan lain lebih mudah, mas???”
Pertanyaannya begitu cerdas dan retoris. Aku tersenyum sinis.
“Aku ga tahu, Rin. Mungkin.” Jawabku sekenanya, sambil memandang kosong pekarangan rumah kontrakan kecilku.
 ***
Hari ini tak seperti biasa, langkahku menuju sekolah sangat tidak bersemangat. Seperti yang dikatakan orang tentang kebanyakan guru. Guru itu ya sama saja, guru itu hanya profesi, cari uang. Kalau ga menghasilkan uang, ya ga ada yang mau ngajar, atau setidaknya pastilah para guru itu males mengajar. Tapi tentu aku tidak membenarkan godaan setan itu. Kemalasanku bukan karena aku terancam tak digaji bulan ini. Jika mau, dengan kata ‘ya’ pada Pak Bagus, uang dikantongku akan tiba-tiba cukup untuk keperluan hidup setidaknya mungkin untuk  satu tahun.  Aku tersenyum sinis mentertawakan pikiran licik itu. Seseorang yang memproklamirkan diri sebagai seorang guru bervisi dalam pendidikan. Seorang guru idealis yang tak akan kalah perang karena disuapi kertas bernilai ketidakjujuran.
Tiba-tiba aku ingin muntah saat melihat gerbang sekolah yang megah. Sepertinya gerbang yang indah itu berubah menjadi sel penjara yang pengap dan bau. Aku melihat lalu lalang guru-guru yang baru datang di tempat parkir. Aku semakin muak, jijik. Senyum mereka untuk murid mereka, nasihat-nasihat mereka, ah… benarkah semuanya omong kosong?
“Selamat pagi, pa…”. Serombongan anak berpakaian putih abu menyapaku, kompak.
Aku hanya mengangguk. Ah… Tulang punggung bangsa yang tertipu. Aku tidak akan menyalahkan kalian lagi kalau mendapati kalian bolos sekolah, atau minggat, atau merokok di sekolah, atau berpakaian amburadul dan tak pantas, atau sok jagoan dengan tauran. Tidak, tidak, mungkin kenakalan kalian itu karena kalian tertular  gelombang-gelombang iblis keserakahan para pendidik. 
......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar