Kamis, 17 Februari 2011

Membaca Nada

Sebagian kecil orang dilahirkan sangat sentitif. Bagi mereka memperhatikan hal-hal yang kecil bukanlah suatu keisengan bukan pula merupakan kewajiban yang harus ditunaikan. Bagi mereka memperhatikan hal-hal kecil adalah sesuatu yang naluriah, alami dilakukan.
Aku kadang-kadang merasa menjadi salah satu dari mereka. Ini aku simpulkan setelah memperhatikan gerak-gerik kecilku saat ‘memperhatikan’ sesuatu. Aku dengan otomatis sering menghitung berapa pasang baju yang kucuci, sehingga aku juga tahu berapa gantungan baju yang harus aku sediakan untuk menjemur. Aku bisa tahu siapa yang membuka pintu walaupun mereka datang tanpa sepatah katapun. Aku bisa tahu motor atau mobil siapa yang datang, tanpa harus membuka tirai rumahku. Begitupun aku bisa mengetahui dan membedakan siapa yang memukul mangkuk untuk memanggil para pembeli, apakah itu tukang bakso, tukang siomay, tukang bubur kacang atau tukang bubur ayam.
***
Treng… terng… treng… treng…treng…treng…treng… treng...…
“Mi, bubur” kata Gaza sambil menarik-narik ujung bajuku.
Aku tersenyum dan berkata, “Bukan yang itu sayang. Itu bubur kacang. Dede kan makan bubur ayam”
Bagaimana aku bisa yakin bahwa yang berada di depan rumahku adalah tukang bubur kacang? Begini ceritanya…
Sebenarnya mang bubur kacang itu pernah lama menjadi langgananku. Seingatku saja, saat aku TK ia telah menjadi tukang bubur, dan aku adalah salah satu pelanggan setianya. Hampir setiap hari aku menyiapkan mangkuk dan meminta uang pada ibuku untuk membeli bubur kacang kesukaanku itu. Namun seiring perkembangan ‘zaman’, aku pun mulai bosan. Menginjak SD tidak setiap hari lagi aku mengkonsumsi bubur. Kadang-kadang bubur, kadang-kadang nasi goreng, atau kalau kebetulan ibuku sudah beres memasak, diberilah aku nasi putih yang masih mengepul. Frekuensi makan bubur kacangpun semakin berkurang sampai akhirnya aku betul-betul meninggalkan mang bubur kacang itu saat aku kuliah.
Setelah selesai kuliah dan mempunyai anak, konsumsi bubur kacang pun terganti dengan bubur ayam. Selain anakku memang biasa makan bubur ayam pagi-pagi, ia juga tidak begitu suka makanan yang manis. Jadilah bubur kacang tak pernah kulirik lagi. Namun sebagai insan beriman tentu aku masih ‘melirik’ mang buburnya, untuk setidaknya tersenyum jika berpapasan dengannya.
Banyak orang mengira pasti aku tahu bagaimana cara mang bubur kacang memukul mangkuknya karena begitu lama dan seringnya ia lewat depan rumahku. Namun menurut penyelidikan yang kulakukan, hipotesis seperti itu kurang tepat. Walaupun ada korelasinya pastilah dengan r=0,01 saja (orang statistik pasti ngerti maksudnya, he..,).
Aku melihat suatu hal yang berubah dari mang bubur kacang dari waktu ke waktu. Umurnya mungkin kira-kira sudah menginjak 50 lewat. Dan dengan pasrah ia rela menjadi tukang bubur dan menjalani hidup yang sama selama kurang lebih 20 tahun. Keriputnya mulai terukir jelas, pipinya sudah menggelambir, matanya sudah mulai keruh, dan pastinya tenaganya sudah tak sekuat yang dulu lagi. Hal ini berbanding terbalik dengan konsumennya yang makin hari makin meninggalkannya seperti aku ini. Lagi pula tidak seperti dulu, saat ini banyak sekali saingan tukang bubur kacang yang berlalu lalang. Dulu seingatku, ia bisa pulang sekitar jam 10-an. Namun sekarang sering kusaksikan ba’da dzuhur gerobak tuanya (walaupun sudah dicat) masih nongkrong di depan sekolah tempatku kini mengajar.
Menurut pengamatan pribadiku, mengapa aku sampai bisa membedakan cara mereka memanggil pembeli adalah karena caranya memukul mangkuk dengan nada kurang sabar, ada sedikit nada permohonan, ‘ayo beli, kumohon, cepatlah...’, dan ada sedikit nada prustasi. Nada yang ia buat adalah nada yang kencang dan agak kasar dan ia memukul mangkuk sangat lama. Beda misalnya dengan tukung bubur ayam yang memukul mangkuknya dengan nada santai dan hanya beberapa kali saja, yang kurang lebih nadanya berkata begini ‘aku sudah di depan rumah, mau beli ga, hari ini?’
Caraku seperti ini aku sebut dengan membaca suasana hati dengan nada. Aku sendiri percaya nada-nada yang dibuat seseorang lewat pukulan tangannya, langkah kakinya, caranya membuka pintu, caranya mengemudikan mobil/motor, membunyikan klakson, dan lain sebaginya bisa dipakai untuk dapat membaca kondisi bahkan karakter seseorang (wekh… so tahu banget ya…?!!)
Percaya atau tidak memang itulah yang membuatku bisa mengenali mereka. Wallahu’alam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar