Senin, 14 Februari 2011

Guru Bau Kencur (Part 2)

Ah…., gila. Dunia pendidikan yang sangat kucintai ini, kini hampir 180 derajat berubah menjadi dunia yang kubenci.
“Aku mau jadi seorang guru” kataku tegas pada saat salah seorang teman kuliahku yang bertanya dalam sebuah acara perpisahan angkatan kami dulu.
Ia tersenyum “ Kau tahu tidak, diurutan mana korupsi menempatkan dunia pendidikan”
Aku hanya mengagguk, pura-pura tahu data secara faktual.
“Jadi kamu serius mau jadi guru?”
“Iya”, jawabku. “Bukannya Indonesia perlu guru yang bervisi macam aku, heh?” Ia tersenyum, mungkin yakin akan tekadku.
“Pa Ganjar, ko bengong aja” suara seorang wanita membuyarkan lamunanku.
“ Ayo udah mau bel masuk. Nanti Pa Ganjar terlambat ngajar, lo”
“Oh…, iya bu Irma” kataku sambil mengikuti langkah kakinya menuju ruang guru, kantorku. Ah…, benarkah orang-orang yang kuhormati seperti Bu Irna, Pa Hambali, Pa Yoga, Pa Harits, Bu Septi, Pa Alan dan yang lainnya juga menerima kondisi ini tanpa beban. Kenapa mereka bisa seperti itu?? Aku tak habis pikir. Sejauh mana nurani meraka? Atau jika mereka menolak sejauh mana keberanian mereka?
“Gimana Pa Ganjar, udah berfikir” Pa Bagus tiba-tiba ada di depan meja kerjaku sambil tersenyum menyeringai. Di mataku wakil kepala sekolah itu kini berubah menjadi makhluk berwajah merah, bertaring panjang dan bertanduk. Persis yang digambarkan film-film setan zaman sekarang.
“Belum”, jawabku tegas dan langsung mengalihkan pandangan, pura-pura merapihkan buku-buku di atas mejaku.
“Sebaiknya secepatnya, bukankah tidak sulit??” katanya sambil tertawa kecil, ia kemudian berbalik pergi dan sebelum ia membalik badannya masih kulihat senyum sinisnya yang menyebalkan.
Ingin sekali kucekik lehernya dari belakang. Tapi itu cuma ada dalam imajinasi. Tentu saja aku masih waras, masih bisa berfikir jernih.
Tiba-tiba kepalaku pening, pandanganku kabur, kepalaku berat dan perutku rasanya dipelintir. Ah…, mungkin ini karena aku tidak bisa makan dari kemarin, Istriku sudah memperingatkan darah rendahku. Aku juga tidak bisa tidur semalaman hanya karena memikirkan persoalan kecil ini. Persoalan kecil untuk mereka, namun sangat besar hingga menindih dadaku yang makin sesak.
Ah…, aku terhuyung dan menjatuhkan kepala dan sebagian besar berat badanku ke atas meja. Nihil, itu tidak membuatku lebih baik. Kucoba mengambil teh manis yang selalu disuguhkan Mas Sholeh tiap pagi di meja-meja para guru. Namun pandanganku semakin kabur dan tak tahu kemana kuarahkan tanganku,
“Prang…”, tanganku malah mendorong gelas hingga jatuh ke lantai.
“Pa Ganjar?”
Suara Pa Harits, guru Ekonomi sayup-sayup kudengar.
“Bapak sakit yah? Kenapa masuk sekolah kalau sakit, biar saya antar pulang ya pa. Kebetulan saya baru masuk jam ke 3 nanti. “
Aku tidak mengiyakannya, yang pasti aku sudah tidak punya tenaga, untuk menolak tangan-tangan yang memapahku memasuki sebuah mobil kijang kotak tua. Mobilnya pa Harits.
Apa yang terjadi dengan diriku, selemah inikah diriku. Atau karena aku memang masih hijau seperti yang dikatakan pak Hambali. Lalu apakah aku akan berubah menjadi matang dan membusuk karena mengikuti gaya mereka. tidak, tidak. Aku adalah guru yang hebat. Aku sudah membayangkannya dari saat aku kecil. Aku adalah guru yang sangat cerdas, dan berkompeten di bidangku. Aku adalah guru bervisi, bermoral, yang tak hanya akan mengajarkan anak-anak  didikku masalah hukum-hukum kimia, tapi juga mengajarkan mereka arti hidup di dunia, untuk apa hidup, dan bagaimana seharusnya hidup. Aku tak akan membiarkan diriku menghina diri sendiri seperti yang mereka inginkan. Seketika mataku terbuka.
“Pa Harits, maukah anda mengantar saya kembali ke sekolah, ada yang tertinggal. Kataku setengah berbisik.
“O…, ya pa, bisa-bisa, kita belum jauh ko, apa yang ketinggalan Pa?  tasnya sudah saya bawakan tuh!”
“Ada yang tertinggal di ruangan Pa Bagus.”  jawabku. Pa Harits membalik arah mobilnya yang kira-kara baru berjarak satu kilo dari sekolah, kembali menuju sekolah.
“Sudah sampai, Pa” Perlu bantuan untuk turun? “
“Tidak usah, terima kasih”, jawabku pelan. Dengan lunglai kulangkahkan kaki ke ruang wakil kepala sekolah. Langkah demi langkah kakiku makin kuat dan yakin. Ku ketuk pintu dengan pelan, namun kasar, begitu  tak sabar.
”Masuk”, kata sang pemilik ruangan tegas.
Kubuka pintu dengan tak kalah kasar dan berusaha berdiri tegak di depan mejanya.
“Saya menolak mentah-mentah tawaran anda, Pak” . Aku bicara kencang dan cepat-cepat seperti ingin menghemat waktu berada diruangan ini. Walaupun ber-AC, rasanya aura panas sangat terasa disini.
“Oh…, saya kira anda butuh waktu berpikir karena tak bisa menolak tawaran hebat saya mentah-mentah” , katanya sambil tersenyum sinis. Tapi dia tak berhasil menyembunyikan kekagetannya.
“Proyek itu 99% hampir gol, saya yang berusaha keras untuk mendapatkannya. Dana proyek itu murni untuk pembangunan dan pengadaan peralatan laboratorium”
“Kau kira kita tak perlu dana operasional”, katanya setengah berteriak.
“O…, dana operasional tidak akan menghabiskan lebih dari separuh dana yang akan di dapatkan sekolah ini”
“Pak Ganjar sebentar, saya penanggung jawab proyek ini. Tolong anda  jangan terlalu naïf ya !” Pak Bagus bangkit dari kursi empuknya. Berpose menantang, semakin memamerkan buncit perutnya.
”Sepertinya anda tidak tahu tradisi di sekolah ini, ya??”
“Tradisi macam apa? Mengambil uang yang bukan hak anda. Apakah anda masih terlalu miskin hingga dana yang harusnya dipakai untuk kepentingan pendidikan anak-anak anda lahap juga”
“Tutup mulutmu, aku sudah berbaik hati, menawarkan bagian baik-baik padamu dan pada orang-orang yang ikut berkepentingan dalam proyek ini”
“Saya ingatkan, Pa. Saya ketua proyek, saya yang berhak mengatur mau seperti apa proyek ini”
“Hah…, kau berani juga ya, kau tahu aku bisa dengan mudah memindahkanmu ke sekolah lain yang jauh dan kumuh. Kau sudah kujadikan kepala laboratorium, kau tak mau berbalas budi, heh?”. Matanya melotot, gigi nya gemeretak. Kurasakan dia benar-benar marah ditantang anak kecil seperti aku.
“Maaf, Pa. saya memang baru 2 tahun lewat disini, namun  saya kira saya cukup kompeten untuk menjadi kepala lab di SMU favorit ini. Bukan karena kekuasaan anda. Ok, saya kira sudah jelas semuanya”. Aku berbalik ke pintu.
“Hei…, tunggu, apa yang bisa kau lakukan anak bau kencur, melapor kepada kepala sekolah? Ia sudah tua dan sakit-sakitan tahu, dan aku adalah orang kepercayaannya. Kau tak punya teman yang berpengaruh disini!”, katanya mengingatkan kelemahanku.
“Maaf, dengan sangat menyesal, saya tidak bisa membocorkan stategi menangkap maling pada maling, Pa.”  jawabku puas tanpa membalik badan.
“Hei.., apa kau minta bagian lebih?”
Over my dead body, old men !” gerutuku sambil membanting pintu. Seketika kurasakan udara segar menyeruak menyambut paru-paruku.
Pa Harits masih berdiri menungguku di depan mobilnya.
“Pa Ganjar…” . Tiba-tiba sebuah tangan kasar memegangku lembut.
Aku berbalik.
“Hei, pak Hambali.” Jawabku ringan.
“Pa Ganjar, kau yakin dengan keputusanmu, ini perang namanya. Sampai saat ini belum pernah ada yang bisa mengalahkannya. “
“O.., begitu, kita lihat saja, Pak. Saya masih sangat muda, masih menang tenaga untuk berperang”.
“Hah, kau ini keras kepala, ya sudah saya  mendo’akan keselamatanmu.”
Aku tersenyum kecut, aku tak butuh tukang do’a yang munafik, pikirku.
 “Saya juga sudah bosan menerima uang tutup mulut hanya karena saya tahu transaksi-transaksi kotor itu. Tapi demi Allah, Nak, Bapak tidak pernah memakan uang haram itu, uang itu biasanya Bapak sumbangkan ke pengurus Mesjid”
Langkahku terhenti dan berbalik menatap matanya. Ada kejujuran dibalik mata beningnya yang mulai keruh.
“Bapak hanya ga mau kehilangan patner seperti kamu, anak muda yang bercita-cita mulia menjadi sebenar-benarnya pahlawan tanpa tanda jasa.” Aku tersenyum lalu meneruskan langkahku.
Sejenak aku terhenti, dan kembali berbalik, “Pa.., kata bapak semua orang terlibat?”
Ia terkekeh, “He…, maksud saya semua tikus terlibat, Nak. tenanglah masih banyak guru-guru yang tulus”
Ah aku bernafas panjang … lega rasanya mendengarnya.
“Pulanglah, istirahat, kumpulkan kekuatannmu”
Aku mengangguk, lalu berbalik menuju pak Harits yang setia menungguku dengan cemas.
“Mana yang ketinggalan??”
Katanya bingung karena aku tidak membawa apapun.
Aku tersenyum padanya, menyadari bahwa pak Harits termasuk guru yang begitu tulus, dan tak tahu permainan-permainan kotor yang ada di stuktur sekolah. Ia guru yang lugu, tak tahu apa-apa meski usianya di sekolah ini jauh lebih tua dariku. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar